Kehilangan orang yang kita cinta sangatlah berat, bukan hanya kehilangan sosoknya namun kita akan kehilangan banyak kejadian-kejadian indah lainnya. Begitupun denganku, kehilangan Alif sangatlah berat. Betapa Alif selalu menghargaiku sebagai wanita, selalu menjagaku dan menghormatiku. Tak pernah sedikit pun Alif menyakitkanku, Ia hadir dengan penuh kebahagiaan. Harusnya aku bahagia sekarang menanti pernikahan impianku dan Alif esok hari. Namun Tuhan punya cara lain, mengambil Alif sebelum semuanya terjadi.
Kepergian Alif membuatku termenung, membuatku banyak menyendiri. Luka kehilangan dan kekecewaan begitu besar. Iya, bahkan aku tidak tahu hidupku akan seperti apa kedepannya. Sedih? Bahagia? entahlah mungkin Tuhan punya cara lain untukku.
Kehilanganpun sangat menyiksa diriku, menyiksa batinku dan menyiksa keluarga karena melihatku terpuruk. Maudya yang mereka kenal kini menjadi Maudya yang lemah tak berdaya. Aku jatuh sakit, tubuhku lemah tak berdaya. Aku hanya bisa menangis dalam lemahku, tak ada banyak hal yang aku kerjakan. Aku seperti mayat hidup yang meratapi kesedihan hidupnya.
Ibu, Ayah dan Maureen siaga dalam menjagaku, menyuapiku makan dan sesekali membantuku mengganti baju. Tubuhku yang gemuk kini sudah berubah menjadi kurus dan tak berdaya, tak ada lagi Maudya yang terlihat gemuk. Tiga hari ini membuatku banyak berfikir dan termenung. Aku harus apa?
"Ka, ada Uminya Alif dibawah."
Ibu datang menghampiriku dan memberikan kabar bahwa orang tua Alif datang kerumah. Sejak pemakaman Alif, aku tidak pernah bertemu dengan keluarga Alif lagi termaksud Alina karena tidak sanggup untuk bertemu dengan banyak orang diluaran sana.
"Aku disini aja ya bu." sahutku.
Ibu membantuku untuk duduk bersandar pada kasur besar miliku. "Ada hal penting yang ingin keluarga Alif sampaikan kepadamu. Temuilah ka, tidak baik jika menolaknya."
Mau tak mau akupun beranjak dari kamar untuk menemui keluarga Alif yang datang berkunjung kerumah orang tuaku. Aku berjalan dipapah oleh ibu menunju ruang tamu walaupun kakiku sangat lemas berjalan.
"Assalamu'alaikum Umi...." sapaku berjalan mendekati Umi dan diiringi oleh dengan berjabat tangan.
"Wa'alaikum salam."
Umi memelukku dan memintaku duduk disampingnya antara Umi dan Mas Bachtiar Kaka satu-satunya dari Alif. Umi terus saja mengusap pundakku, aku hanya membalasnya dengan senyuman kesedihan hatiku.
"Silahkan Umi, sampaikan saja langsung ke Maudya." Ujar ayah meminta Umi nya Alif menyampaikan sesuatu kepadaku.
Diambilnya sebuah kotak berwarna merah berukuran sedang dari tas Umi dan memberikannya kepadaku. Aku menerima perlahan, namun aku tidak mengerti maksud dari pemberian Umi padaku.
"Ini untuk siapa Umi?" tanyaku bingung.
Umi melemparkan senyum keikhlasan padaku."Ini untuk kamu nak, barang-barang ini berhak menjadi milikmu dan kamu harus menyimpannya. Ini semua milik Alif yang akan ia berikan kepadamu, namun belum sempat ia memberikannya Maudy. Umi harap kamu dapat menerima ini."
Kotak berwarna merah berukuran sedang yang dibawa Umi sedikit berat, terlihat dari bentuknya seperti kotak perhiasan. Aku tidak bisa menerimanya begitu saja, aku bukan siapa-siapanya Alif bahkan pernikahan kami belum terlaksanakan.
"Umi maaf, tapi Maudy tidak berhak menerima ini Umi. Ini milik Umi dan keluarga Alif." Ujarku penuh kehati-hatian, aku tidak mau Umi merasa tersinggung dengan penolakanku.
Umi menggelengkan kepalanya cepat dan menarik kedua tanganku dalam pangkuannya."Ini berhak untuk kamu, Alif sudah menitipkan ini kepada Umi untuk kamu nak. Dan didalam kotak itu juga berisikan surat terakhir yang Alif tulis untuk kamu."
"Boleh aku membukanya umi?" Tanyaku yang dibalaskan anggukan oleh Umi.
Betapa kagetnya aku saat membuka kotak pemberian dari Umi. Kotak yang berisi sepasang cincin, kalung, gelang dan uang. Barang-barang itu yang menjadi mahar pernikahanku dan Alif. Aku tak kuasa menahan air mataku yang begitu cepat melolos mengalir deras dipipi pucatku. Terdapat sebuah surat dalam kotak, yang mana ada sebuah noda darah yang menempel dalam kertas putih. Aku membukanya perlahan dan membacanya dengan seksama.
Dear love : Maudya Baskoro
Maaf jika aku tidak bisa menemani kamu untuk selama-lamanya, aku begitu mencintaimu. Namun Tuhan punya cara lain sayang, aku tahu suatu saat nanti kamu akan bahagia walaupun bukan denganku.
Saat kamu membaca surat ini mungkin aku tidak ada, sudah kembali kepangkuan tuhan. Aku bahagia sayang sudah mengenalmu jauh sebelum kamu mengenalku, sudah banyak yang Alina ceritakan tentangmu kepadaku termasuk saat kekasihku terluka karena cinta masa lalunya.
Sudah 2 hari ini aku dirawat dirumah sakit sayang, jujur aku merindukanmu. Bahkan aku fikir kamupun merindukanku. Aku menutupi semuanya, aku meminta keluargaku menutupi keberadaanku darimu. Aku tidak mau kamu menangis dan kecewa sayang, aku hanya ingin melihat kamu bahagia. Aku selalu mencintai kekurangan dan kelebihanmu hingga akhir hayatku.
Terima kasih kekasih hatiku.
Jakarta, 23 Februari 2006
Alif Mahendra
KAMU SEDANG MEMBACA
Maudya (Mencari Cinta & Kebahagiaan)
RomansaAku sama seperti orang pada umumnya ingin rasanya di cintai dan mencintai seutuhnya, bukan hanya di jadikan sebagai angin lewat. Aku wanita pada umumnya ingin rasanya mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang yang mencintaiku, bukan menjadi...