Psikosomatis

70 30 8
                                    

☆Bismillahirrahmanirrahim☆

Rasa yang tak seharusnya hadir, Malu akan diriku sendiri. Berteman dengan waktu serta bersahabat dengan jarak. Ini berakhir.

Ketika hati berbicara namun takdirlah yang menentukan. Bukan berarti yang selalu bersama kan berjodoh, begitu pula untuk yang berjauhan mungkin Allah takdirkan untuk berjodoh. Tidak usah khawatir perihal jodoh, karena Allah telah menyiapkan seseorang yang terbaik untuk menjadi pendamping kita. Dan Allah tak akan salah dalam menentukan.

🍁🍁🍁🍁🍁

Menyusuri setiap koridor, merasakan atmosfer berbeda. Entahlah mungkin hanya aku yang merasakannya. Berbeda dengan sahabat di sebelahku, dia sibuk dengan rasa gelisahnya. Maaf karena aku telah membuatmu gelisah. Tak banyak yang bisa kulakukan selain diam untuk menutupi semua kesedihan.

"Sa?" panggil Nazma dengan menatap gelisah.

"Ya?" balasku singkat.

"Kamu yakin tidak akan jujur pada Ayla?" tanyanya masih dengan tatapan gelisah.

"Aku sangat yakin. Kamu tadi melihat sendiri bukan bagaimana senangnya Ayla?" ucapku dengan seulas senyum.

"Iya sih, tapi keputusan ini juga membuatmu sakit bukan?" balasnya dengan iba.

"Benar ini membuatku sakit. Tapi bagaimana mungkin aku harus membuat sahabatku ikut sakit juga. Kalaupun aku tidak bisa membuat Ayla bahagia, tapi setidaknya keputusan ini bisa membuatnya tak merasakan sakit," jawabku mantap, dengan begitu Nazma bisa sedikit lebih tenang.

"Tapi Sabila ini keputusan yang besar. Kamu tidak seharusnya menyembunyikan ini dari Ayla, dia juga sahabat kita," ucap Nazma yang masih gelisah. Ternyata jawaban tadi tak membuatnya tenang.

"Justru karena Ayla sahabat kita. Aku tidak mau membuatnya sakit, yang aku takutkan itu kalau dia mengetahui ini dia akan menolak kak Alif dan akan mengikhlaskannya untukku, aku tidak mau itu semua terjadi padanya. Sudah cukup untuknya merasakan sakit karena tidak jadi menikah," jawabku setenang mungkin.

"Tapi Sa, Ayla berhak tahu!" sahutnya tak terima.

"Ma, kali ini saja aku minta tolong jangan kasih tahu Ayla tentang kejadian yang sebenarnya. Aku tidak bisa melihat sahabatku sakit karena mengikhlaskan keinginannya untukku." Dengan suara pelan dan memohon, semoga saja Nazma bisa berkompromi denganku.

"Tapi Sa ...," ucapnya tergantung.

"Tidak apa-apa. Aku akan baik-baik saja. Terima kasih karena telah mengkhawatirkanku." Nazma membalasnya dengan satu pelukan hangat.

🍁

Dinginnya sepertiga malam menemani sujudku, mengucap namanya dengan penuh keikhlasan yang di balut air mata. Sebagian bahagianya telah menjadi salah satu bahagia di hidupku. Takdir berucap aku tidak bisa bersamanya, dengan doa semoga bisa menemani langkahnya. Diakhir sujud bisikan doa tersampaikan menembus tanah, namun dapat terdengar jelas oleh langit. Semoga Allah sampaikan doaku untuknya.

Selesai bermunajat, ku baringkan kembali tubuhku yang mungil ini di kasur yang empuk. Rasanya mataku perih mungkin karena akhir-akhir ini terlalu sering menangis. Malam ini terasa sangat dingin, ku tarik selimut sampai menutupi dagu. Sakit di badan pun mulai terasa ditambah dengan hembusan angin yang mencabik-cabik tulang. Pejaman mata yang tak kunjung terlelap ke alam bawah sadar membuatku risau. Ku perbanyak mengucap istighfar berharap Allah lelapkan tidurku dengan nyaman dan tentram.

"Sa? Bangun! Salat subuh!" Sayup-sayup terdengar suara umi yang membangunkanku dari tidur.

Bukannya tubuh ini lebih enak setelah ku lelapkan, namun malah semakin terasa sakit dan kaku untuk digerakkan. Rasanya untuk membuka mata saja sangat sulit.

"Sa!" Umi menggoyangkan tubuhku yang masih tak berkutik. Dengan sedikit usaha akhirnya mataku bisa terbuka. Tunggu! Aku sangat lemas walaupun hanya untuk duduk.

"Umi ... bantu aku," bisikku dengan suara lemah.

"Kamu kenapa Sabila? Sakit?" Umi pun menempelkan punggung tangannya ke jidatku. Dan alangkah terkejutnya dia.

"Ini panas sekali! Kamu harus ke dokter!" ucap umi panik dan langsung berdiri dari duduknya.

"Umi ... tunggu! Bantu Sabila untuk mengambil wudhu," rengekku pada umi.

"Kamu kuat?" tanya umi tak yakin.

"Insya Allah umi." Dengan dibantu umi akhirnya aku bisa menyelesaikan wudhu, dengan segera ku tunaikan salat subuh.

Ternyata abi, bang Ihsan, dan bang Zaki sudah menunggu di kamar. "Dek, ke dokter ya," ucap bang Zaki lembut.

"Emmm, gak usah bang. Sabila tidak apa-apa kok," jawabku bohong, padahal kepalaku terasa sangat berat sekali.

"Tidak apa-apa bagaimana? Jelas-jelas tadi umi panik banget waktu tahu suhu badanmu sangat panas!" gerutu bang Ihsan, yang membuat bang Zaki melotot ke arahnya.

Abi mendekatiku dan menggerakkan tangannya persis seperti yang tadi dilakukan umi. Reaksinya pun tak kalah panik dengan umi. "Sa, ke dokter ya!"

"Abi? Bisa gak dokternya aja yang kesini?" cicitku pelan dan memohon. Bukan karena aku tak ingin ke dokter, rasanya jika aku harus ke dokter naik mobil akan membuatku semakin pusing.

"Yaudah bi, Zaki telpon ya dokternya." Kemudian bang Zaki keluar untuk mengambil handphonenya.

Kepalaku semakin berat, dan lelahnya semakin menjadi-jadi. Ada rasa mual juga yang muncul. Perasaanku jadi risau tak menentu. Sementara bang Zaki sudah kembali ke kamarku.

"Dek, sebentar lagi dokternya sampai, sabar ya," ucapan bang Zaki sedikit membuatku tenang.

"Bang? Dokternya perempuan?" bisikku.

"Iya dek, perempuan." Alhamdulillah, batinku mengucap syukur.

Selang berapa lama, dokter pun sudah sampai. Aku ditemani mbak Aidia. Dokter itu mengatakan bahwa aku mengalami gejala psikosomatis, bisa disebut juga sakit karena terlalu banyak pikiran. Bila terlalu lama dibiarkan, ini akan semakin parah.

"Sudah, jangan lupa diminum obatnya ya, semoga lekas sembuh." Suara dokter itu mengakhiri dan meninggalkan kamar.

Bang Ihsan yang sudah mendengar penjelasan dokter dari mbak Aidia pun bergeming. "Dek, emang kamu banyak pikiran apa sih? Kok bisa sampai sakit gini?"

Bang Zaki yang baru masuk setelah mengantar dokter ke halaman segera memukul bahu bang Ihsan dari belakang. "Kamu ini! Sabila kan lagi sakit, udah gak usah ditanya dulu!"

"Yaudah maaf, lagian sakitnya tuh aneh loh karena pikiran. Seberat apa sih hidupmu dek?" tanya bang Ihsan dramatis yang dihadiahi pelototan dari bang Zaki.

"Dek, kamu istirahat ya! Gak usah masuk kampus dulu, oh iya satu lagi, jangan dengarkan omongan Ihsan takutnya akan menambah beban pikiranmu" ucap bang Zaki penuh perhatian.
Aku hanya bisa tersenyum puas ke arah bang Ihsan yang sedang kesal karena di sindir abangnya sendiri.

Benarkah aku sakit pikiran? Apa kejadian taaruf ini yang membuatku sakit seperti ini? Sebagian besar pikiran memang terfokus pada kejadian itu, aku pikir aku sudah ikhlas. Dugaanku salah, untuk ikhlas yang sebenarnya dibutuhkan usaha yang besar, dan semangat untuk bangkit dari keterpurukan. Ini sudah menjadi pelajaran yang berharga, keadaan takkan berubah jika kita tidak mampu merubahnya. Keterpurukan takkan sirna jika kita tak menggantinya dengan rasa bahagia.


*Mohon maaf kalau ceritanya kurang berkesan di hati kalian
*Penasaran dengan kelanjutan ceritanya? Nantikan update nya setiap hari Sabtu atau bisa lebih cepat jika memungkinkan.
*Jangan lupa follow, vote, comment, dan share ♡
*Saran pembaca akan membangun setiap penulis

Kekasih Halal di Bumi Cordoba (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang