Dengan langkah pelan, ia berusaha untuk tidak menimbulkan suara sekecil apa pun. Seorang gadis kecil melangkah menuruni anak tangga satu per satu. Sudah tengah malam, jadi ia tak perlu takut ibunya akan tahu apa yang akan dirinya lakukan. Masuk ke dapur, mencari-cari benda tajam yang sekiranya bisa ia pakai untuk melancarkan aksinya.
Saat sudah ketemu, ia mengamati lamat-lamat benda yang telah berada digenggamanya. Sebuah pisau tajam yang ia yakini dalam sekali gores saja mampu membunuhnya. Pandangannya mulai mengabur, terhalang genangan air mata yang siap menetes kapan saja. Hatinya terus berusaha meyakinkan diri bahwa setelah ini, kehidupan akan jadi lebih baik.
Perlahan, ia gesekkan pisau itu di pergelangan tangan, tepat di nadinya. Baru satu goresan, gadis kecil itu sudah meringis kesakitan. Ia menambahkan goresannya sekali lagi. Hilya, rasanya ingin sekali ia menjerit sekencang-kencangnya. Namun, berusaha ia tahan dengan terus menggigit bibir bawahnya. Piyama yang dikenakannya telah bersimbah darah.
Saat hendak menambah sayatannya lagi, ia justru dikejutkan dengan pekikan dari ibunya, dari arah tangga.
"Hilya! Apa yang kamu lakukan?!"
Perempuan paruh baya itu berlari menghampiri anaknya dan berusaha mencari kain yang sekiranya dapat menyumpat aliran darahnya yang terus keluar. Setelah itu, ia langsung memeluk Hilya begitu erat sambil berusaha menenangkannya.
Tadinya, ia berniat mengambil minum. Namun, ia malah disuguhkan pemandangan yang begitu menyesakkan dada. Gadis kecil yang ia beri nama Hilya itu menangis sejadi-jadinya. Meronta-ronta bak orang kesetanan. Berkali-kali menjengguti rambutnya, berharap bayangan-bayangan mengerikan itu segera menghilang dari otaknya. Tubuhnya bergetar ketakutan. Wajah itu, ia masih ingat dengan jelas. Wajah manusia berhati iblis yang telah melecehkannya.
"Aku kotor, Ibu. Aku kotor. Lebih baik aku mati!"
Gadis itu terus memberontak, mencengkram tangan ibunya begitu kuat sampai kuku-kukunya memutih dan melukai tangan sang ibu. Tatapannya penuh emosi yang tertahan.
"Aku mau mati, Ibu! Aku mau mati! Kasian Ibu. Aku enggak mau Ibu jadi omongan tetangga! Aku—"
"Cukup, Hilya!" bentak Arum. Ia tidak sanggup mendengarnya lagi.
Seketika keadaan menjadi hening. Yang terdengar hanyalah isak tangis yang begitu menyayat hati.
"Ada apa ini ribut-ribut?!"
Hilya semakin mengeratkan pelukannya pada sang ibu saat Umar—ayahnya—muncul secara tiba-tiba. Tatapannya yang nyalang terlihat begitu mengerikan. Gadis itu benar-benar tak mengerti. Mengapa ayahnya begitu benci padanya. Padahal, Hilya selalu menuruti permintaan ayahnya.
"Kalau mau mati ya mati aja. Enggak perlu bikin keributan. Anak tidak tahu diuntung!"
Arum tidak terima anaknya diperlakukan seperti itu. Ia langsung berdiri, dan menyuruh Hilya untuk tetap diam di belakangnya. "Cukup, Mas! Sadar, dia anak kamu."
"Halah! Kalian perempuan sama aja. Bisanya nyusahin. Gara-gara dia perusahanku jadi bangkrut!"
Setelah melontarkan kata-kata menyakitkan itu, Umar langsung berlalu ke kamarnya. Segala umpatan mengiringi langkah kakinya pada setiap anak tangga. Pintu kamar ia banting begitu keras sampai ibu dan anak itu berjengit kaget.
Arum berbalik ke belakang dan mendapati putrinya bergetar ketakutan. Dengan lembut, ia sapu air mata putrinya dengan ibu jarinya.
"Jangan dengarkan kata-kata Ayah, ya? Besok Ibu antar Hilya ke pesantren. Percaya sama Ibu, Hilya akan lebih aman di sana."
Assalamualaikum. Halo, semuanya.
Gimana nih sama prolognya? Udah penasaran, belum?🤭Yang biasanya baca ceritaku di akun Hanaksara, halo. Kita ketemu lagi di sini.
Hmm... author jadi penasaran. Pembaca setia dakwahwritersG_ofc asalnya dari mana aja, nih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pantaskah Dicinta-Nya?
Romance📿Update setiap Jumat📿 Tetap bersyukur meski perjalanan hidup tak selalu selaras dengan apa yang ia mau membuatnya selalu merasa tenang serta merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Hilya, begitu orang memanggilnya. Hidup yang kelam hampir saja me...