29. Trauma
Dari perjalanan pulang sampai sekarang tiba di rumah dengan kedua orang tuanya, Putri hanya bergeming menatap jendela mobil dengan air mata yang berhenti keluar. Mama Fatma sudah berusaha menenangkannya tapi itu tidak berhasil, begitupun Ayah Idris. Aku yang mengendarai mobil sekali-kali menatap padanya yang duduk di belakang dengan Mama Fatma. Tatapan kosongnya sungguh membuatku terluka.
Seperti saat ini di ruang keluarga setelah dari rumah sakit semua keluarga berkumpul. Papa, Ilyas, Zahra semuanya diam. Zahra yang berada di samping kanan Putri hanya bisa mengelus punggung itu. Sedang Ayah Idris dan Mama Fatma duduk di sofa depan kami.
"Zahril, bawa istrimu ke kamar untuk istirahat dan kembali ke sini. Ada yang perlu Papa dan Ilyas bicarakan."
Aku yang sedari tadi menunduk mendongak menatap Papa. Kulihat Papa mengangguk ke arahku. Aku menghela nafas kemudian menyentuh tangan Putri yang hari ini terasa dingin.
"Kita ke kamar, ya?" Bisikku ke Putri yang langsung menyetujuinya.
Aku berdiri terlebih dahulu sebelum menopang Putri untuk berjalan bersamaku naik ke kamar. Aku menyingkap selimut di atas tempat tidur dan dengan pelan menidurkan Putri.
"Kamu istirahat, ya? Jangan banyak bergerak dulu. Kalau kamu menginginkan sesuatu panggil aku aja." Aku tersenyum sedih saat dia hanya mengangguk. Sebelum keluar, aku mencium dahinya lama.
Aku berjalan kembali ke ruang keluarga di mana Papa dan Ayah Idris berbincang. Aku kemudian duduk di sebelah Ilyas yang menepuk sekali pundakku.
" Zahril?" Aku langsung mendongak menatap Papa.
"Iya, Pa?"
Papa menatapku dengan ekspresi serius. Aku menelan ludah, kalau seperti ini ada hal serius yang akan Papa sampaikan. "Kenapa, Pa?"
Papa dan Ilyas saling berpandangan sejenak. Aku mengerutkan dahi, sebenarnya ada apa? Papa menatap ke kedua orang tua Putri yang sedari tadi juga menunggu.
"Biar saya yang jelaskan, Pa." Ujar Ilyas yang membuatku menatapnya. Papa mengangguk di seberang sana.
Ilyas menatapku lama kemudian menghela nafas. "Aku dan Dokter Vares berbincang kemarin mengenai kondisi Putri." Ilyas menepuk bahuku. "Dia mengatakan Putri akan sulit hamil lagi."
Perlahan, kepalaku menunduk. Putri akan sulit hamil. Ku rasakan dadaku sulit untuk mengambil oksigen dan jantungku mulai berdetak kencang. Aku menggeleng kecil dalam ketidakpercayaan. Tidak mungkin. Kudengar nafas terkesiap dari Ayah Idris dan Mama Fatma, pasti mereka sama terkejutnya seperti aku. Fokusku langsung bujar, kembali kurasakan tanganku bergetar. Aku bahkan tidak bisa mendengar jelas apa yang dikatakan Ilyas.
Hanya beberapa kata yang coba aku mengerti seperti pendarahaan, pembengkakan, cairan, tuba falopi yang tersumbat, benturan dan beberapa kata yang aku tidak mengerti.
Aku menghela nafas dan memegang kepalaku dengan kedua tangan ku. Tiba-tiba saja kepalaku rasanya sakit dan tenggorokanku tercekat. Aku kesulitan menelan ludah. Aku berdiri dengan linglung, memcoba membasahi bibirku yang kering. "A...aku capek. Aku mau istirahat dulu."
Aku tersenyum kaku berpamitan kepada Ayah Idris dan Mama Fatma yang sudah menangis di pelukan suaminya. Aku melangkah kembali ke kamar dengan perasaan sedih. Membuka pintu kamar, tangisku langsung pecah saat melihat Putri yang tertidur tenang di atas tempat tidur.
Aku langsung menghampiri nya dan memeluk tubuhnya dengan erat. Perasaan bersalah yang belakangan ini berusaha aku hilangkan kembali menghantamku. Semua ini karena diriku. Putri harus menghadapi ini karena kebodohanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imam Ku (ZAHRIL) | (Ending)
RomantikBELUM REVISI!!! Di ujung dermaga, sepasang kekasih halal berdiri menikmati senja yang perlahan menghilang. Tangan saling terjalin dengan cincin emas melingkar di jari manis masing-masing. Masih teringat jelas diingatan suara lantang dari sang pria...