"Harusnya nama lo bukan Amora."
Pasca keluarnya Amora tiba-tiba dari set, Harsa segera menyusulnya dengan langkah yang tergesa setelah bengong dulu selama beberapa detik.
Untungnya, cewek itu belom pergi jauh dan masih sibuk membereskan tasnya di ruang belakang.
"Amora harusnya berarti cinta. Tapi pas lo hilang, yang nyisa cuma sakit doang."
Gerakan tangan Amora terhenti, lalu mendecih tanpa membalikan tubuhnya.
"Nama lo Harsa kan? Artinya kebahagiaan."
Harsa mengangguk meskipun dia tau Amora gak melihatnya.
"Harusnya nama lo bukan Harsa. Gimana caranya lo mau kasih kebahagiaan, kalo bikin diri sendiri bahagia aja gabisa?"
Hening kembali. Ada ego yang sulit runtuh diantara keduanya. Di saat-saat kaya gini, benar salah udah gak berarti. Fragmen hitam dan putih ada di dalam diri masing-masing, merekanya aja yang enggan buat meluruhkannya.
"Amora, ayok berdamai sama masa lalu."
"Masa lalu?" Amora mendengus, "masa lalu yang kaya apa?"
Harsa menarik napas.
"Times supposed to heal, bener. Mungkin luka gue udah gak basah, tapi gak ngubah fakta kalo luka itu pernah ada dalam waktu lama tanpa diobatin. Sekarang kita udah balik ke titik 0, kenapa gak kita coba plester aja lukanya?"
Kalah telak. Argumen Harsa gak salah, susah dipatahkan. Kalo dia mengelak, maka gadis itu yang akan tampak sinting.
Sial, kenapa gak lo aja yang masuk hukum?
Amora geli sendiri membayangkan berapa banyak lawan yang bakal di skak-mat Harsa di meja hijau.
"Jadi?" tanya Harsa sekali lagi.
"Lo mungkin sadar kalo setahun terakhir sebelom gue pergi, selalu gue yang main ke rumah lo. Not the other way around."
Harsa mengangguk, memorinya berputar ke masa dimana Amora mulai mencari-cari alasan untuk ke rumahnya. Saat itu, Harsa bahkan sudah berada di titik malas berargumen dan mengiyakan.
"Bokap gue masuk penjara."
Jantung Harsa berhenti berdetak.
"Keluarga gue bangkrut, rumah gue disita bank. Gue sekeluarga pindah ke Bandung sambil nunggu bokap gue keluar, dan coba mulai hidup baru disana. Selesai."
Harsa ingat, alasan Amora dulu mau masuk hukum karena ayahnya. Harsa sendiri beberapa kali bertemu beliau, dan memutuskan kalo memang dia role model yang tepat. Pantas saja Amora tumbuh jadi orang sehebat itu.
Pikiran kalau Amora melewati semuanya itu sendirian–kehilangan sosok yang menjadi kompasnya selama ini, harus menyerah akan cita-citanya dan meninggalkan semuanya di belakang–hah. Rasanya lebih baik bunuh aja Harsa sekalian.
"Kenapa lo gapernah bilang?"
"Biar lo bisa mutusin kalo gue gak pantes buat lo, gitu?"
Amora mendecih, dan lidah Harsa menjadi kelu.
"Lo tau gue gapernah bermaksud git–"
"Terus apa?" putus Amora, "bukannya itu standar pantas yang lo tentuin buat diri lo sendiri? Yang masa depannya jelas, kuliah baik-baik, lulus, terus hidup dengan penuh kebanggaan."
"Amora..."
"Udahlah, Harsa. Gue gagal memenuhi ekspektasi itu. Semua hal yang pernah lo proyeksikan dulu: katanya lo bisa liat gue jadi hakim, ya? Semuanya gaada."
Amora tersenyum, tapi nada bicaranya pahit. Gadis itu gak nangis, mungkin air matanya udah habis. Yang tersisa cuma emosi yang hampa.
"Sekarang gue cuma babu di kafe. Ngais-ngais adsense youtube yang gak seberapa. Menyedihkan, Harsa. Bahkan sekarang lo gabisa ngomong apa-apa, kan?"
"Gue gapernah menganggap lo kurang atau gak utuh dengan adanya fakta itu!"
"Harsa, Harsa," geleng Amora, "gue kenal lo di masa lalu, lo juga. Kalo sekarang, gue gak kenal lo."
"Mo, gue mas–"
"Berlaku buat lo juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
KANIGARA | Lee Haechan ✔
Teen FictionKANIGARA, yang artinya bunga matahari. ❁❁❁ "Harsa, gak perlu takut kamu mau mengejar mimpi ke arah manapun. Aku pasti cuma akan ngeliat kamu." "Sampai kapanpun?" "Sampai kapanpun." Nyatanya, Harsa harus ditampar dengan kenyataan pahit bahwa Amora pe...