01

106 32 1
                                    

Di malam hari yang turun hujan itu, udara terasa dingin. Angin bertiup sedikit lebih kencang daripada biasanya. Membuat Dewa harus memegang payungnya dengan lebih erat daripada biasanya.

Dewa melangkah semakin cepat sambil sesekali mendengus kesal. Ia benci hujan yang turun di malam hari. Karena hujan di malam hari itu mengusir bintang. Dan membuat suasana di sekitarannya terasa angker dan menyeramkan.

Beberapa pejalan kaki lainnya tampak berteduh di halaman toko-toko yang telah tutup malam itu. Namun Dewa tak ingin membuang-buang waktu untuk berteduh. Ia masih harus mengerjakan tugas kuliahnya yang belum ia selesaikan.

Sambil tetap melangkah, ia menatap jam tangan di pergelangan tangannya yang terasa sedikit basah. Jarum pendek telah menunjuk pukul 8.

Tiba-tiba Dewa menghentikan langkahnya, ia dapat melihat sepasang kaki di hadapannya. Dewa menutupi wajahnya dengan payung, ia menunduk dan kemudian melanjutkan langkahnya.

Hujan juga sering kali membuat para makluk yang bukan manusia menjadi berkeliaran mengganggu dirinya. Meskipun begitu, Dewa selalu berusaha tak mengacuhkannya.

Untungnya ia selalu mempersiapkan dirinya sebelum berpergian keluar rumah kalau-kalau adanya interaksi dan penampakan mereka yang terlihat.

Kali ini lagi-lagi langkah Dewa berhenti. Tubuh laki-laki itu menegak ketika lehernya seperti disentuh oleh kuku jari panjang yang terasa dingin dan membuatnya merinding.

Dewa melirik melalui sudut matanya, ia tak melihat siapapun dimanapun. Kemungkinan asal tangan makluk halus itu hanya satu, yaitu dari atas payungnya.

Dewa sedikit memutar payungnya, dan menghentikan aksinya itu saat lehernya tak lagi merasakan apapun. Ia sadar bahwa beberapa pejalan kaki yang tengah berteduh itu mulai menatapnya dengan aneh. 

Tanpa memperdulikan hal itu, ia kembali melanjutkah langkahnya. Kali ini dengan lebih cepat. 

Dewa, seorang laki-laki biasa yang semulanya tak memiliki pengalaman apapun tentang hal mistis. Namun semenjak dirinya mengalami mati suri di hari ulang tahunnya yang ke-17 tahun, ia membawa kembali sebuah kemampuan yang tidak manusiawi bagi dirinya maupun orang lain.

Ia sadar bahwa ini adalah perjalanan hidupnya, ini adalah beban hidupnya sendiri. Maka dari itu, ia harus menjalani hidupnya dengan baik tanpa merengek dan membuat repot orang lain.

Karena di dunia ini, tak akan ada yang percaya begitu saja jika Dewa mengatakan bahwa ia bisa melihat mereka yang bukan manusia. Dan bisa melihat sebab orang lain meninggal hanya melalui foto.

Di zaman modern ini, siapa yang akan mempercayainya? Semakin memikirkan hal itu, kepala Dewa semakin terasa pusing dan berat.

"Sialan, berhenti mengangguku!" gumamnya dengan suara berat dan penuh penekanan.

Untuk kesekian kalinya, langkah Dewa terhenti. Kali ini, ia berhenti karena sesuatu menarik payungnya dari belakang. Dewa mengangkat payungnya, ia mulai menatap sekelilingnya.

Matanya berhenti pada sosok arwah seorang wanita bergaun compang-camping yang tampak sedang menggandeng anaknya. Ia memejamkan matanya rapat-rapat, mulutnya mulai komat-kamit tak jelas dan ketika ia membuka matanya, puluhan arwah-arwah lainnya telah berkumpul mengelilinginya. 

Teriakan mereka memekakkan telinga Dewa, ia memejamkan matanya sekilas kemudian ia mendapati sosok arwah laki-laki tengah berdiri di sampingnya. Ia seolah memperlihatkan luka lubang bekas tembakan yang berada di pelipisnya.

Reflek, Dewa melangkah mundur hendak menjauhi arwah itu namun tubuhnya justru terhuyung ke belakang, ia terjengkang dan bokongnya mendarat di jalanan basah itu. Payungnya pun terjatuh dari tangannya dan membuat dirinya basah karena air hujan.

Orang-orang mulai menatapnya semakin aneh. Dewa memejamkan matanya kuat-kuat dan mulai membacakan doa. Ketika ia selesai, ia membuka matanya. Arwah-arwah itu telah lenyap meninggalkan Dewa.

Laki-laki itu bangkit, ia menepuk-nepuk bagian celananya yang basah dan kotor sebelum dirinya memungut kembali payungnya yang tadi terjatuh.

Ia menegakkan tubuhnya ketika ia berhasil mendapatkan kembali payungnya namun ia menyadari satu hal. Dewa menatap sekelilingnya, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat ketika ia tersadar bahwa ia berpindah tempat, ke tempat asing yang bahkan tak ia kenali.

Dewa mengangkat wajahnya, menatap sebuah rumah sakit tua yang masih terbuka di hadapannya. "Okay. Apalagi yang hantu-hantu sialan itu inginkan sekarang?"

Ia mendengus sebal kemudian melangkah mendekati rumah sakit itu, langkahnya tampak tak ragu sedikitpun untuk masuk ke dalam rumah sakit itu. Rumah sakit Keluarga.

"Permisi, boleh saya tau dimana saya berada?"

Wanita yang bekerja sebagai resepsionis rumah sakit itu tampak mengerutkan alisnya kemudian tertawa kecil, "Maaf?"

"Permisi, boleh saya tau dimana saya berada?" Dewa mengulangi pertanyaannya.

"Anda sedang berada di Rumah Sakit Keluarga, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"

Dewa sedikit menjauh dari meja resepsionis itu ketika tiba-tiba sesosok arwah dengan wajah penuh luka muncul dan berdiri tepat di belakang sang wanita resepsionis itu.

"Tuan?"

"Tuan?"

Dewa mengerjap halus ketika kesadarannya berhasil kembali ketika wanita resepsionis itu memanggilnya berulang kali. "Ah, saya tau ini rumah sakit. Yang ingin saya ketahui adalah, lokasi rumah sakit ini ada dimana?"

"Kota Jakarta, di Jalan Angsa no. 4. Ada apa, Tuan?"

Dewa kembali terdiam untuk sesaat, ia menarik nafas panjang setelahnya. "Terima kasih banyak. Jaga diri baik-baik..." Dewa menggantung ucapannya sementara matanya mencari-cari name-tag yang menempel pada seragam wanita itu. "Nona Siena." sambungnya, ia tersenyum.

"Terima kasih, Tuan. Anda juga."

"Jaga diri dari mereka yang tak terlihat, nona." gumam Dewa dengan nada yang sangat-sangat pelan ketika ia berbalik dan mendapati bahwa ruangan itu, bangunan itu, dan tempat itu di kelilingi oleh arwah-arwah dunia lain.

"Seharusnya aku tau, aku tak seharusnya masuk."


ODYONA - Dewa VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang