Is it Love

639 76 36
                                    

🖤🤍

Vanesha membuang muka ketika netra coklatnya menangkap sepasang kekasih sedang berciuman penuh napsu di belakang gedung sekolah. Mendengus kasar, mulutnya berceloteh, "Dasar kelebihan hormon!"

Kaki rampingnya melangkah cepat disertai hentakan kesal, mood pagi hancur seketika karena mereka. Lain kali dia akan menyuruh anak laki-laki untuk membuang sampah. Sayang, mata polosnya ini ternodai.

Salsha menghentikan kegiatannya ketika melihat wajah suram Vanesha saat memasuki kelas, "Ada apa denganmu?" tanyanya setelah Vanesha telah mendudukan bokongnya di kursi sebelah.

Sembari mengeluarkan buku sejarah dari tasnya, Vanesha menjawab dengan nada ilfeel, "Aku melihat Syena dan Devan berciuman di belakang sekolah. Menjijikan sekali," ucapnya kasar.

Gadis itu tertawa. Memasukan kembali alat make upnya ke dalam tas, Salsha menepuk pundak Vanesha, "Itu wajar, Sasha. Namanya juga remaja."

Mata lebar Vanesha menyipit tak terima sejenak sebelum akhirnya kembali normal saat dengan angkuhnya dia menjawab, "Aku tidak."

Salsha mengetuk dagunya, berpikir keras. Senyuman mengembang saat ia mendapatkan jawabannya, "Mungkin karena kau tidak normal!" serunya.

Geplakan dari buku setebal 356 halaman menghantam kepala si pirang. Salsha kalau berbicara memang asal jeplak, tidak pakai otak. "Enak saja!" jawab Vanesha kesal.

Untung sahabat, batin Salsha sembari mengelus belakang kepalanya, "Begini ya, Sasha-ku sayang. Kita itu sudah di tahun terakhir SMA. Puncaknya pubertas. Mustahil jika belum mengenal cinta. Sedangkan kau? Tertarik dengan pria pun tidak." Salsha tertawa mengejek membuat wajah Vanesha memerah antara malu atau marah.

"Sok tahu!"

"Well, kalau kau lupa, kita telah bersahabat sejak kecil. Kau selalu ada di bawah ketiakku. Apa yang tidak aku tahu tentangmu hm?"

"Ish, terserahlah," jawab Vanesha sebal. Kalau sudah seperti ini artinya gadis itu telah mengibarkan bendera putih. Salsha hanya terkekeh geli menanggapinya.

Tampang teramat bosan Salsha tunjukan kala melihat teman sekamarnya asik dengan dunianya sendiri. Dengan kacamata yang bertengger di hidung, Vanesha masih setia membaca buku yang menurut Salsha lebih cocok dijadikan bantal. Ia heran mengapa Vanesha bisa adiktif pada buku sampai tidak di sekolah maupun di rumah, selalu kumpulan kertas itu yang dia pegang.

**

Tak tahan melihatnya, gadis pirang itu merebut benda kesayangan si Laurencius. Sakura baru saja akan marah, tapi Salsha segera menyahut, "Hidupmu terlalu datar, Sha. Yang di otakmu hanya belajar dan belajar. Aku heran kenapa otakmu itu tidak meledak," Salsha bersedekap. "Maka dari itu, sebagai teman yang baik, aku akan membuatnya lebih berwarna!" gadis pirang itu tersenyum lebar sambil menaik-turunkan alisnya.

Vanesha tidak menjawab, dia hanya mengambil kembali bukunya dari tangan Salsha. Ucapan sang teman hanya ia anggap angin lalu. Sampai gemas sendiri si pirang dibuatnya.

"Ih, ayolah, Rabbit!" Salsha mengguncang tubuh Vanesha sampai kacamata yang dipakainya terlepas.

Salsha sangat butuh perhatian.

Merasa tidak tahan dengan tingkah temannya, Vanesha meletakan bukunya di kasur, kasar. Matanya memincing tajam, menatap Salsha yang kini tengah tersenyum penuh kemenangan, "Apa maumu, huh?"

"Melihatmu berkencan, tentu saja." Salsha menyeringai, sedangkan mata itu membulat lebar.

"Kau gila?!"

Is it LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang