♪ : BAB 35

1.5K 233 95
                                    

Satu dua tiga langkah kaki bersemangat berselisih dengan langkah lunglai yang mulai melemah. Ada yang sedang bermandikan tawa lantas ada pula yang tengah berselimut duka. Hidup sebenarnya hanya berotasi pada posisi atas dan bawah. Yang kuat melindungi yang lemah, yang berlebih mengisi yang kurang, yang berwarna melukis si hitam putih, yang penuh menyiram yang hampa. Semua saling bantu. Tidak ada yang namanya kuat semua, sedih semua, miskin semua, kaya semua, indah semua. Itu berat sebelah namanya. Kata seimbang dalam timbangan jelas terdengar lebih bermakna dan indah. Semangat berjuang semuanya!

06.07

♪ s p a c e ♪

Judith mengambil sekotak susu rasa pisang dari dalam lemari pendingin sembari menggunakan ponselnya untuk menelepon seseorang. Dia ada kelas pagi ini dan jurnal yang harus dikumpulkan dalam bentuk hardfile belum diprintnya sama sekali. Sebab begitu banyak kejadian dari hari kemarin, Judith lupa bahwa ia masih berstatus mahasiswa. Terdengar bunyi dering tanda panggilan tersambung, tepat pada dering kelima, panggilan tersebut diterima.

"Hallo, Ben, kau sudah dalam perjalanan ke kampus?" Judith bertanya sembari menjepit ponselnya menggunakan bahu dan telinga sebelah kiri, sedang tangannya sedang mencoba membuka kotak susu. "Aku sudah mengirimkannya padamu beberapa menit lalu melalui email. Kau sudah tiba di perpustakaan? Sepagi ini? Baiklah, tadinya aku ingin berangkat dengan kereta bawah tanah, tapi sepertinya aku akan menggunakan taksi saja."

"Hey, santai saja, masih ada waktu satu jam lagi sebelum kelas dimulai."

"Kau selalu saja baik hati, Benji."

"Itu sifatku, Jyu."

Judith tersenyum seraya memegang ponsel dengan tangannya dan menegakkan kepala, "Kalau begitu aku berangkat dulu."

"Baik, hati-hati di jalan!"

Judith memutuskan sambungan telepon, kemudian menatap layar dari benda pipih itu seraya mengecek lagi beberapa pesan yang masuk. Salah satunya yang tentu ada datang dari pacarnya yang semalam terpaksa ia usir. Judith membaca pesan tersebut tanpa berniat membukanya, lantas dimatikannya ponsel dan mematikan televisi sebelum berjalan ke depan pintu.

Pada ambangnya, Judith terdiam sembari memperhatikan pengaman pintu apartemennya. Dia teringat pada password yang belum diubahnya sama sekali. Senyum kecut Judith terbit mengingat bagaimana ekspresi Racha ketika semalam ia meragukan perasaan Judith. Ketika selama ini Judith berjuang untuk melupakan masa lalunya dan mencoba tetap berjalan ke depan walau dengan sepatu kaca yang sudah retak, nyatanya ia masih diragukan hanya karena password pintu bodoh yang menampilkan sisi seakan dirinya masih dikungkung sosok sebelumnya. Judith mempertahankan password apartemennya bukan karena alasan sedu, tetapi karena ia takut apabila sembarangan mengganti dan berujung lupa. Akan lebih menyeramkan kalau perempuan itu tidak bisa masuk ke rumah hanya karena lupa dengan password barunya.

Just Like YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang