BAB 18

126 10 3
                                    

Keesokan paginya, aku dikagetkan oleh Peter yang tiba-tiba muncul di rumahku. Tunanganku itu bahkan sudah duduk bersama adik-adikku, Bu Inah, dan Kak Anka di meja makan. Seketika, melihat Peter duduk bersebrangan dengan Kak Anka, membuat hatiku tidak tenang. Melihat mereka duduk berhadapan seperti itu. Langsung saja aku ikut gabung oleh mereka. Aku berjalan mendekati Peter.

"Pete..." Panggilku sambil memegang bahunya. Ia menoleh dan langsung berdiri.

"Pagi, Sayang. Aku sudah menunggumu dari tadi," ucapnya sambil mencium pipi kananku, "ayo, duduk. Ibunya Pak Anka membuat bubur sum sum. Aku baru pertama kali mencobanya. Sangat enak!" pujinya.

Bu Inah seketika tertawa. "Haduh terima kasih, loh, Mas Bule." Jawab Bu Inah.

Aku hanya bisa tersenyum canggung. Mataku melirik pada Kak Anka yang tengah menunduk, fokus memakan sarapannya.

"Kamu kok gak cerita, sih, Sayang?" aku menoleh kearah Peter.

"Cerita apa?" tanyaku bingung.

"Kok gak cerita kalau yang temani kamu di rumah ada Ibunya Pak Anka dan Pak Anka sendiri?"

Aku tersenyum kikuk. "Ohhh... aku pikir itu kamu tidak mau tau." Jawabku sekenanya.

"Aku pikir kamu hanya bertiga dengan adikmu. Aku lega yang temani kamu disini ramai." Jawabnya sambil mengusap kepalaku.

Perlakuan Peter ini... entah kenapa di sisi lain aku merasa risih.

Haruskah dia bersikap romantis di depan Kak Anka?

"Wahhh... Mas Bule ini romantis sekali. Ibu penasaran, Mas Bule kok bisa Bahasa Indonesia? Mas Bule ini campuran ya?" tanya Bu Inah.

"Iya, Bu. Almarhum Ibu saya orang Indonesia. Tapi saya memang dari lahir sampai sekarang disini terus. Saya gak pernah ke Indonesia."

"Ohhhh... begitu. Pantas saja. Eh ayo dimakan! Nak Clara, ayo dimakan buburnya."

Aku mengangguk pelan dan menunduk sambil memakan sarapanku.

❄❄❄

Aku memperhatikan jalan dalam diam. Pagi ini aku diantar ole Peter ke kantor. Sejak tadi aku hanya diam saja. Entah apa yang Peter ceritakan saat ini, aku tidak mendengarnya. Seolah telingaku sengaja tuli. Pikiranku bermain di tempat yang lain. Memikirkan satu nama. Kak Anka.

Aku tersentak saat tanganku dipegang oleh Peter. Aku menoleh ke arahnya. "Sayang kamu melamun?" ujarnya.

"Ahhh... maaf. Aku sedikit lelah." Kataku sambil menegakka badanku.

Peter mengusap pipiku dengan punggung tangannya. "Tentu saja. Pasti kamu lagi banyak pikiran karena kamu menghandle semuanya sendiri."

Aku tersenyum dan menggenggam tangannya yang tadi mengusap pipiku. "Ya begitulah. Tapi hari ini ayah sudah pulang, kok. Mungkin besok pekerjaanku sedikit lebih ringan. Kembali normal."

"Tentu saja," aku tersenyum canggung karena alasan yang baru kubuat tadi, "Eumm... jadi, hari ini ayah dan bunda kamu pulang?" tanyanya.

Aku mengangguk sambil menatap jalan di hadapan kami. "Kenapa memangnya?" tanyaku.

Hening sejenak, kupikir Peter tidak akan menjawabnya. "Aku ingin datang mala mini kerumah."

Aku langsung menoleh ke arahnya cepat. "Datang? Untuk apa?" tanyaku heran, "Ohhhh... kamu mau ajuin kerja sama dengan ayah? Eh tapi bukannya perusahaan kita udah kerja sama, ya?"

"Eummm... aku ingin membahas masalah pernikahan kita."

Mataku membulat seketika. "Hah?" ucapku. Aku masih tak yakin akan pendengaranku saat ini.

"Kok 'hah', sih? Aku ingin membicarakan masalah pernikahan kita. Kamu setuju kan? Kalau kita menikah?"

Aku kehilangan kata-kata seketika. Aku bingung menatapnya, layaknya orang bodoh.

"Aku kan udah bilang enggak mau nikah cepat?" ucapku langsung.

Peter mengernyit bingung. "Iya. Itu alasan yang kamu bilang ke bunda kan? Kamu lupa, bukannya kamu dua bulan yang lalu meminta kita menikah saja? Iya 'kan? Jadi menurutku, ayo kita menikah?"

Ahhh... Iya.

Sebelum hatiku kacau, aku memang memaksa Peter untuk menikahiku saja. Hubungan kami sudah lama juga. Tapi sekarang? Di tengah kondisi hatiku yang kacau. Aku tidak siap.

"Memangnya kamu sendiri sudah siap? Bukannya kamu juga sibuk dengan pekerjaanmu?" kataku. Berusaha membuatnya berpikir ulang.

Peter menepikan mobilnya sejenak. Ia menatapku saat mobil telah berhenti. "Kamu tau alasannya kenapa pekerjaan aku sangat menumpuk?" Aku menggeleng, "itu karena aku ingin menyelesaikan segala urusan aku. Agar kita bisa menikah dan menikmati pernikahan kita dengan tenang nantinya. Aku gak mau harus menunda apapun itu untuk pekerjaan di saat kita tengah menikmati pernikahan kita satu atau dua bulan kedepan."

Aku menaikkan kedua alisku. "Maksud kamu apa? Satu atau dua bulan ke depan? Kamu mau kita menikah satu atau dua bulan lagi?" tanyaku kaget.

Peter mengangguk. "Tentu. Ayah dan bundamu pasti akan setuju."

Aku terhenyak. "Secepat itu?" tanyaku pelan dengan suara serak.

"Ya. Kamu tak perlu khawatir dengan persiapannya, kita punya orang dalam 'kan? Pak Anka?"

Benarkah?

Apa Kak Anka harus kulibatkan?

=====

Tbc.

Peter pengen cepat-cepat nikah gaes...

Haduh Mbak Clara.... Kalau cinta sama Anka bilang dong! Pake bingung-bingun segala!

Jangan lupa vote dan comment!

ConfusedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang