Kania menatap pusara di depannya. Baru satu minggu, tapi rasanya sudah lama sekali ia tidak kemari. Kania tersenyum kecil, ia berjongkok lalu meletakkan sekuntum mawar putih di pusara Safira, ibunya.
"Assalamu'alaikum, ma," lirih Kania.
Gadis itu mengelus pelan nisan Safira yang sudah sedikit berdebu, gadis itu juga mencabuti rumput-rumput liar.
"Mama tau gak, Kai udah di rumah sekarang. Maaf ya ma, mungkin di sana mama sedih sama sikap Kai, mungkin Kai gak bisa banggain papa dan mama. Mama juga pasti sedih lihat Kai, papa, dan kak Nadia gak pernah akur. Tapi Kai janji ma, Kai bakal perbaiki semuanya, demi mama, demi papa, demi keluarga kita."
Kania diam sebentar, tatapannya berubah sedih, tapi kemudian gadis itu tersenyum. Sangat lepas, tapi percayalah, Kania hanya mencoba menguatkan dirinya sendiri.
Tes. Air matanya jatuh, perih sekali mengingat kejadian sepuluh tahun yang lalu, kecelakaan yang membuat Kania kehilangan Safira untuk selamanya. Tidak ada lagi yang menyuapinya makan, atau membacakan dongeng sebelum tidur. Tapi kemudian, Kania menghapus air matanya lalu kembali tersenyum.
"Oh iya ma, sekarang Kai punya temen lo. Namanya Ocha, dia sama seperti Kai, bisa denger suara hati orang-orang jahat kayak mama Ningrum," Kania terkekeh pelan, "Kai seneng banget kenal Ocha, dia baik. Mama kalau ketemu pasti juga suka. Tunggu Kai ya ma, tunggu Kai sampai Kai bisa ketemu mama."
Kania menengadahkan dua telapak tangannya, gadis itu memanjatkan doa untuk sang ibu. Setelah selesai, Kania mengusap pelan nisan Safira lalu berjalan meninggalkan pemakaman.
Kania mengerutkan keningnya saat melihat seseorang tengah duduk di sebuah motor ninja. Gadis itu tidak menemukan pak Wawan yang harusnya masih menunggunya saat ini. Kania menghampiri orang itu.
"Maaf mas, liat taksi yang tadi parkir di sini gak?" tanya Kania sopan.
Pria itu membuka kaca helmnya, "Naik," katanya.
"Lo?"
"Udah buruan naik!"
Pria itu adalah Reno, entah ada angin apa Kania tidak mengerti, yang jelas pria itu ada di sini dan pastinya menunggu Kania.
"Mana pak Wawan?" tanya Kania dingin.
"Gue suruh balik, gak usah ribet, tinggal naik doang."
Kania mendengus, berurusan dengan pria ini selalu saja membuatnya naik pitam, "Gue bisa cari taksi lain!" ketusnya.
Belum sempat Kania melangkah, Reno sudah menahannya, memegang lengan gadis itu sedikit kuat.
"Naik atau gue gendong," ancamnya.
"Lo ngancem gue? Denger ya, gue gak takut sama lo!"
Kania melenggang pergi, meninggalkan Reno sendiri di motornya. Tentu saja pria itu tidak tinggal diam. Ia melepas helm fullface-nya lalu mengejar Kania.
Dan hap, pria itu menggendong tubuh Kania tanpa aba-aba, membuat gadis itu melotot kaget.
"Reno turunin gue!" pekik Kania.
Reno diam saja, tak mendengarkan teriakan Kania yang hampir saja membuat gendang telinganya pecah.
Reno menurunkan Kania tepat di atas motornya. Tak ingin berlama-lama, pria itu segera memakai helm dan menyalakan mesin motornya, lalu membawa Kania ke tempat yang Kania sendiri tidak bisa menebaknya.
Ni cowok mau ke mana sih? Sial! Dia sama sekali gak ngomong sesuatu dalam hatinya, batin Kania.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Kania
أدب المراهقينKania. Gadis itu menyadari sesuatu yang berbeda dari dirinya sejak usianya sembilan tahun. Mendengar apa yang tidak bisa didengar orang lain adalah hal yang tidak biasa. Awalnya semua itu sangat mudah ia jalani. Namun, lama kelamaan semua itu justr...