49. Ezard Wattson

1.3K 125 7
                                    

۝  ⁠۝  ͒⁠⁠۝ 

Tidak peduli berapa banyak aku membisikkan kata-kata positif untuk diriku sendiri, pada akhirnya aku hanya berakhir dengan katakutan-ketakutan yang teramat besar. Perasaan bersalah atas kejadian 2 tahun yang lalu dan jatuhnya Azura dari tangga satu minggu yang lalu membuatku kacau. Aku telah hancur dalam luka yang kubuat sendiri.

Berkali-kali aku mencoba melarikan diri, namun semua orang seperti menarikku untuk terus mengingat kesalahanku. Perselingkuhan yang diluar kendaliku terus berputar di ingatan, dan ketidakpedulianku pada Azura membuat hatiku gamang untuk menemuinya.

Terlambat, sekarang tidak ada yang bisa kuperbaiki.

Andai waktu itu aku tidak mencium Alana dalam keadaan mabuk berat dan mengira kalau Alana ada Naima. Andai waktu di kamar aku menolak ciumannya dan langsung menarik tangannya untuk keluar dari kamarku. Andai waktu itu aku tidak terbawa suasana di dalam mobil dan membalasnya.

Andai....

Tapi semua sudah terjadi, aku sudah melukai perasaan Naima. Dan rasa sakitnya tidak akan hilang sekalipun aku memberikan semua isi dunia untuknya.

Sekarang, yang bisa kulakukan hanyalah mengetuk pintu rumah yang ditinggali Naima dengan ragu. Sudah dua puluh menit aku berdiri seperti orang dungu di depan pintu, dan yang kulakukan hanyalah memandangi pintu dengan wajah penuh rasa bersalah. Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk mengetuk pintunya, siap menerima semua resikonya, termasuk dengan Naima yang mungkin saja akan menyiramku dengan air panas.

Tidak butuh waktu lama, sampai akhirnya wanita itu keluar dengan wajah sumringah—langsung diganti dengan wajah datar penuh kebencian ketika menyadari bahwa yang datang adalah aku, Ezard Wattson yang masih berstatus sebagai suaminya. Ia tidak pernah ke pengadilan seperti yang ia bicarakan sebelumnya. Aku juga tidak sudi melangkah ke tempat itu dan mengakhiri hubungan. Itu bukan daftar keinginanku.

"Baru berani datang?"

Ia memulai dengan kalimat interogasi, itu berarti tidak ada lampu hijau untuk sekedar bercakap-cakap manis di ruang tamu. Bahkan sekarang pun ia tidak menyuruhku untuk masuk.

"Naiii...."

"Kau kemana saja? Ini sudah seminggu semenjak Mbak Aluna menelponmu!"

"Maafkan aku."

"Kau memang brengsek."

"Aku tahu." Aku menghela napas. Dan aku hanya menatap wajah teduhnya yang selalu sembab, seperti sehabis menangis.

"Kenapa Ezard? Kenapa kau tidak pernah peduli pada anakmu?!"

Wanita itu mulai meneteskan air mata. Bulir itu jatuh ke lantai dan berakhir tragis di bawah sana. Dan sekali lagi tidak ada yang bisaku ubah.

Aku hanya memberikan kalimat penenang yang membuatku terlihat lebih pengecut dari sebelumnya. "Aku peduli padanya, karena itu selalu mentransfer uang dan mengirimkan mainan." Bodoh, itu kalimat paling tidak tahu diri yang seharusnya tidak pernah keluar dari mulutku.

"Kau pikir dengan memberikan dua hal itu peranmu sebagai ayah sudah sempurna, hah?!" Lihat, aku membuatnya mengeluarkan air mata lebih banyak.

"Aku tahu aku tidak sempurna, Nai. Karena itu aku selalu berusaha."

"Berusaha kau bilang? Itu kau sebut usaha? Kau gila!"

"Memangnya apa lagi, Nai? Ketika kau mengirim pesan, kau menyuruhku untuk tidak membalasnya. Dan ketika aku datang, kau begini dan marah-marah."

"Ezard?! Kau?! Aku tidak menyangka kau akan menyelahkanku atas semua ini. Ketika aku mengatakan untuk tidak membalas pesanku, kenapa kau peduli? Biasanya kau selalu bertingkah semaumu. Atau memang kau tidak pernah menaruh kepedulian untuk anakmu?!"

"Nai ... aku bahkan mencarikan pendonor darah untuknya. Memasang iklan dan membayar mahal untuk itu."

"Betapa hebat! Kau selalu berfikir bahwa uang bisa menyelesaikan semua permasalahan!"

"Memang begitu kenyataannya."

"Kalau begitu, pergi dari sini! Sekarang!"

"Nai?"

"Apa lagi? Apa yang kau harapkan dengan datang ke sini? Uang? Aku tidak punya!"

"Aku tidak pernah menghitung semua pemberianku kepada kalian."

"Tapi baru saja kau menghitungnya, Ezard!"

"Naima, kumohon jangan begini."

"Aku tidak akan begini kalau kau tidak seperti ini, Ezard!"

"Baiklah, aku minta maaf. Aku memang bodoh dalam segala hal. Aku tidak pantas dimaafkan. Tetapi kau membuatku bingung, Nai."

Ya. Aku bingung sekali. Kemarin ia kembali mengirimkan pesan setelah pesan terakhirnya tiga bulan yang lalu. Dan kau tahu apa yang ia katakan; kau tidak akan datang? Hah!

Dan sekarang ketika aku mengumpulkan keberanian untuk datang dan berdiri di hadapannya, dia malah membuatku merasa semakin buruk.

Untuk beberapa saat, hanya helaan nafas kasar Naima yang bisa didengar. Hening. Tidak ada yang berinisiatif melanjutkan perdebatan ini.

Aku menunduk dalam-dalam untuk menghindari tatapan Naima. Atau ia akan marah lagi ketika aku menatapnya. Ia memang selalu begitu, marah dan menangis. Aku tidak heran, tetapi sangat menyakitkan ketika ia terus saja mencaciku.  Seperti aku ini adalah satu-satunya makhluk penuh kekurangan di muka bumi ini.

Aku merasakan sesuatu yang menggelanjar di hidungku. Lalu, menyentuhnya dengan telunjuk dan melihat darah kental di ujung telunjukku.

Aku menghela napas berat, hendak berbalik, pergi dari tempat ini. Aku tidak mau pingsan seperti saat di bandara kemarin. Tidak, aku tidak ingin kelihatan lemah. Setidaknya tidak dihadapan Naima.

Tapi tangan Naima malah menahanku. Aku kembali mengalihkan pandanganku padanya, kali ini tatapannya tenang; tatapan yang sama seperti saat ia memasangkan dasi di leherku, atau saat-saat dimana ia menyambutku dengan senyuman di depan pintu. Aku merindukannya. Sangat rindu.

Ia memelukku kemudian. Lalu terisak di dadaku. Wanita itu menangis semakin keras dan memelukku semakin kuat. Aku membalasnya.

"Kenapa kau selalu menyakitiku, Ezard? Kenapa aku selalu menangis untukmu, hah?! Kenapa kau tidak pernah berlari ke arahku? Kenapa kau tidak pernah melihatku seperti aku melihatmu? Kenapa kau tidak memperjuangkanku?"

"Nai, aku tidak bermaksud menyakitimu—"

"Tapi kau selalu melakukannya! Kau tidak peduli dengan semua kebaikanku! Kau membutakan diri dari semua perhatian yang kuberikan padamu! Kau memilih mengabaikanku!"

"Tidak, Sayang."

Ia hendak melepaskan pelukannya, tetapi kali ini aku yang menahannya. Tidak ingin momen ini berakhir. Untuk sekejap saja, biarkan semuanya menjadi milikku. Pelukan Naima yang selama 1,5 tahun belakangan tidak pernah kudapatkan.

Tiba-tiba darah mengalir dari hidungku. Kepalaku menjadi sakit, pandanganku memudar, saat itu seluruh tulamgku serasa patah. Aku menutup mataku bersamaan dengan suara Naima yang terdengar sangat jauh ketika memanggilku.

"Ezard! Kau kenapa?"

"Apa kau sakit?"

"Ezard!"

Masih bisa kurasakan tangannya yang lembut menepuk-nepuk wajahku. Aku semakin mengencangkan pelukanku di pinggang Naima. Menumpukan daguku di lehernya. Menghirup aromanya berharap bisa membuatku sedikit lebih baik. Tapi sayang sekali, hal itu tidak membantu sedikitpun.

"Kau kenapa? Jangan membuatku takut."

"Ezard."

"Sayang."


Aku tersenyum ketika mendengarnya berkata demikian, sebelum akhirnya benar-benar tak sadarkan diri.


....

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang