Delapan Belas

4.4K 632 23
                                    

Lisa.

Iya, tentu saja dia berada diantara lima siswa lain yang berada di kedua sisinya.

Cewek yang sudah merubah warna rambutnya itu tampak santai, sudah terbiasa.

"Tenang aja, paling juga disuruh beresin gudang doang." tuturnya santai, menenangkan tiga siswi lain yang berada di samping kanannya.

Kali ini dengan warna blonde. Oke, rambutnya sangat-sangat mencolok. Apalagi dengan sinar matahari yang langsung mengenai surai lurusnya itu bahkan bisa menghadirkan kernyitan di wajah sang pemiliknya. Dia sendiri merasa silau dengan warna rambutnya? Yang benar saja.

"Again?"

Tana yang melewati teman sepernakalannya itu mendengus, "Lo mesti tobat, Li." lanjutnya.

"Kalo pun gue tobat, masih ada mereka yang gantiin." ucap Lisa seraya menunjuk tiga siswi yang masih kelas sepuluh itu.

Tana tertawa, lalu bergegas menuju kelasnya. Dengan baju longgar itu-yang entah punya siapa-, Tana tak ikut dihukum bersamanya. Jangan tanya Chaila dan Vivi, hari ini mereka tak masuk sekolah.

Chaila demam, sedang di rawat oleh ART di rumah Lisa karena cewek itu hanya demam biasa plus males ke sekolah, jadi dia sengaja absen. Kalau Vivi, mungkin ada masalah keluarga. Ponselnya tak bisa dihubungi. Dan jika begitu, hanya ada dua kemungkinan. Antara ponselnya disita-lagi, atau dia telah merusak ponselnya saat berdebat dengan orang tuanya.

Lisa yang sudah kecapean itu menyeret lemah kaki jenjangnya menuju kantin, hendak mengisi amunisi untuk tubuhnya.

Cewek itu mendudukan bokongnya di salah satu kursi kantin, yang mana semua kursinya masih kosong melompong. Maklum, masih jam pelajaran, jadi semuanya masih di dalam kelas.

Meneguk satu botol air mineral yang ia beli barusan adalah hal pertama yang ia lakukan bahkan sebelum dirinya benar-benar duduk di atas kursi, lalu Lisa tampak mengendorkan dasi abu-abu yang diujungnya terdapat logo sekolahnya yang terbordir dengan rapi itu, merasa tercekik.

"Aish! Bosen banget gue bersihin gudang mulu!"

Syung~

Hembusan angin yang segar itu menjelajahi leher Lisa tanpa permisi. Diliriknya arah dari sumber angin menyegarkan itu, dan cowok dengan manik mata berwarna biru itu tengah terkekeh padanya.

"Gue baik nih, gue kipasin." ujarnya.

"Wow.. Thanks, sir."

Jeil tertawa, kemudian dia berjalan ke arah kursi di samping Lisa. Duduk di sana dan menyimpan kipas portabel kecil di depan Lisa, agar cewek yang tengah kepanasan itu bisa sedikit terbantu dengan angin yang dihasilkan dari kipas yang dia bawa.

Setelah mengecek ponselnya beberapa kali, cowok jangkung itu memesan sesuatu lalu bergegas kembali lagi ke tempat duduknya.

Hanya ada mereka di sana, dan suasananya biasa saja. Tak canggung ataupun seru, mereka hanya mengobrol ringan dengan beberapa tema obrolan yang random, sesukanya.

Lisa tak bertanya kenapa Jeil tak masuk ke kelasnya, sudah sangat jelas kalau cowok itu juga ikut menghukumnya tadi, jadi dia pasti sudah dapat dispensasi untuk hal itu.

"Gak rugi?" tanya Lisa tiba-tiba.

"Rugi buat?"

"Waktu belajar lo keganggu kan gegara kegiatan OSIS?"

Jeil menampilkan senyumnya, lengkap dengan anggukan teratur dari kepalanya. "Karena gue gak suka belajar, jadi gue gak ngerasa rugi." jawabnya asal, tapi jujur.

Lili Closet Film ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang