Dara sedang berada di meja makan menunggu kedatangan mamanya. Bi Yuri sedang meletakkan hidangan untuk makan malam. "Makasih bi"
"Iya non kan sudah menjadi tugas Bibi" Bi Yuri tersenyum. Senyumannya sungguh hangat Dara sangat menyukai itu. Bi Yuri menjadi favorit Dara di rumah ini setelah Papanya.
"Bukan itu Bi. Makasih selalu ada untuk Dara"
"Iya non"
Suara ketukan siletto menggema di seluruh ruangan. Perbincangan hangat Dara dan Bi Yuri terhenti, berubah menjadi suasana dingin bersamaan dengan mamanya yang duduk di depan Dara, meja makan sepanjang dua meter menjadi pemisah antara mereka berdua. Meja makan yang harusnya diisi oleh sepuluh orang menjadi sepi karena hanya ada Dara dan Mamanya.
"Bagaimana sekolah kamu?"
"Apa saya harus menjawab pertanyaan semacam itu? Bukankah seharusnya informan Anda sudah melaporkannya" Dara berbicara tanpa menatap Mamanya
"Kenapa peringkatmu turun? Kamu masih berhubungan dengan lelaki itu?"
Dara memejamkan matanya sebentar untuk mencoba menahan amarahnya "Saya bukan orang yang akan mengambil sesuatu yang tidak untuk saya"
"Kamu harus bisa mengalahkannya untuk tahun selanjutnya. Saya tidak mau reputasi saya rusak karena kamu menjadi nomor dua" Natalie membasahi tenggoroknya mencoba mengambil jeda " Oh iya saya sudah meminta sekolah untuk merekomendasikan kamu untuk masuk Columbia University" Natalie menunggu respon dari anak perempuannya tetapi ia masih tidak bergeming "Untuk program bisnis" sambung Natalie
Dara mulai mengangkat kepalanya, tatapannya tajam ke arah mamanya "Saya tidak mau"
"Dara Adesha Pranta! Ini untuk masa depan kamu"
"Saya sudah selesai" Dara beranjak dari tempat duduknya "Terimakasih Bi untuk makanan malamnya" kemudian Dara melanjutkan langkah menuju kamar tanpa melihat ke arah Mamanya
Sudah dua tahun sejak perpisahan Mama dan Papanya menjadikan Dara berbeda dari sebelumnya. Ini karena Dara kehilangan sosok Papanya yang mana selama ini ia cenderung lebih dekat dengan Papanya. Tapi itu tidak membuat Dara tinggal bersama Papanya, Dara harus mengalah dengan saudara kembarnya Dira yang menginginkan untuk tinggal bersama dengan Papanya.
Satu hari sebelum penentuan hak asuh
"Eca..?"
"Hmm?"
"Besok kan hari keputusan hak asuh.." Dira menggantungkan kalimatnya mencoba membuat Dara tertarik dengan pembicaraannya "Gue mau tinggal sama Papa" lanjutnya
Dara tidak mengalihkan pandangan dari novel ditangannya ia tetap tak bergeming. Dira yang kesal karena merasa tidak dihiraukan "Echa.. Gue mau tinggal sama Papa jadi lo harus tinggal sama Mama"
Kali ini Dara menoleh "Kita berdua bisa tinggal sama Papa"
"Nggak bisa Eca. Pasti Mama mengusahakan buat paling nggak bawa salah satu dari kita"
"Yasudah kamu tinggal dengan Mama, kamu anak kesayangannya"
"Nggak mau gue udah capek terus nurutin maunya Mama"
"Saya juga Chi"
"Yaudah siap-siap lo ngeliat orang yang lo sayang menderita"
Dara mencoba untuk tidak peduli dengan ucapan Dira tapi percuma saja rasa sayangnya terlalu besar kepada lelaki itu meski hanya dua bulan menjalin kasih tetapi mereka sudah lama bersama meski tanpa status.
Alsannya berpisah dengan lelaki itu sama sekali bukan keinginan mereka. Natalie memaksa Dara untuk berpisah dengan lelaki itu sebab Dira sudah bertunangan dengannya dan akan menikah ketika usia mereka dua puluh dua tahun. Dara tentu marah ia merasa sagat dikhianati bahkan dengan saudara kembarnya sendiri dan kali ini dengan campur tangan mamanya. Lelucon macam apa ini.
Entah harus berapa kali Dara mengalah dengan saudara kembarnya, ia sudah melepaskan lelaki itu dan kini ia harus melepaskan juga kebebasannya. Natalie adalah orang yang melakukan segalanya sesuai kehendaknya bahkan tidak pernah mempertimbangkan pendapat dari orang lain. Selalu seenaknya sudah pasti jika Dara tinggal dengan mamanya segala kebebasan yang selalu diidamkan setiap remaja seusianya akan hilang.
Hari penentuan hak asuh
Ruang sidang sudah dipenuhi dengan wartawan, sudah bukan hal asing bagi dua perempuan berparas serupa yang sedang duduk di kursi tunggu. Mamanya adalah seorang pebisnis tersohor di negeri ini ia selalu menjaga reputasinya dan akan selalu menyingkirkan apapun yang akan menghalangi jalannya, apapun itu.
Papanya juga seorang pebisnis akan tetapi tidak setara dengan Mamanya yang sudah jauh lebih sukses. Papanya hanya pebisnis makanan yang baru memiliki dua puluh cabang di negeri ini. Sungguh berbanding terbalik dengan Mamanya yang sudah mampu menjual produk dari peusahaannya sampai ke luar negeri.
"Baik sidang akan saya mulai. Saya mencabut pending"
Tok
Tok
"Berdasarkan pernyataan yang telah diberikan saksi pada sidang ketiga. Saya putuskan untuk hak asuh diberikan kepada masing-masing, satu orang anak. Untuk keputusan siapa bersama siapa akan ditentukan oleh anak itu sendiri"
Tok
Lalu suara gemuruh tepuk tangan dari para wartawan maupun para peserta sidang menyambut kehadiran Dara dan Dira ke dalam ruang sidang. Natalie dan Prana menghampiri kedua anaknya.
"Sesuai dengan keputusan hakim. Jadi siapa yang mau ikut Mama?"
Dira menyenggol lengan Dara untuk mengingatkan ucapannya semalam. Dara tentu tidak lupa ia ingat betul setiap detail yang diucapkan saudara kembarnya. Tapi Dara bimbang, ia masih belum bisa memutuskan. Ia sangat tidak ingin bersama Mamanya tetapi ia sangat tidak ingin lelaki itu terluka.
Dara berjalan ke arah Mamanya disambut dengan pelukan. Wartawan yang sedari tadi ada di ruangan langsung mengambil gambar pelukan antara ibu dan anaknya tersebut. Senyum licik hadir dari bibir Dira, ia adalah satu-satunya orang yang diuntungkan saat ini. Membayangkan bagaimana hidupnya tidak terkekang, merasakan kebebasan. Karena itu yang sedari dulu Dira rindukan.
"Dira sama Papa ya nak" Ujar Prana merangkul bahu anaknya
Dara melihatnya dengan tatapan sedih, harusnya dia yang bersama Papanya harusnya dia yang ada di samping Papanya harusnya dia yang melanjutkan hidup bersama Papanya. Dara melangkahkan kaki ke arah Papanya.
"Papa jaga kesehatan ya.." Tatapannya berubah menjadi sendu "Papa harus jaga pola makan, jangan suka makan makanan yang manis-manis ya Pa inget diabetes Papa" Pandangannya kini beralih ke Dira "Chi nitip Papa ya.."
"Iya Cha gue bakalan jagain Papa"
Dara berbalik, air matanya menetes. Tangisan mengiringi Dara saat berjalan menuju mobil Mamanya. Keadaan ruang sidang sudah sepi karena Mamanya sudah lebih dulu pergi meninggalkan ruangan ini. Air mata Dara turun semakin deras disusul dengan dadanya yang mulai sesak akibat menangis, berkali-kali ia coba untuk menghapus air matanya tapi tetap saja masih menetes.
Dara sudah berada di dalam mobil Mamanya tetapi ia masih sesenggukan. Natalie sedari tadi hanya diam melihat anaknya ini menangis kini mulai jengah mendengarnya "Kamu tidak perlu meneteskan air mata untuk sesuatu yang bukan untukmu. Jangan jadi perempuan yang bisanya hanya menangis. Papamu itu seperti benalu yang selau menggantungkan hidupnya dengan mama. Awalnya mama menerima hahaha.. tetapi ia selingkuh jadi tidak bisa dimaafkan. Sudah menumpang tidak tahu diri. Jadi kamu tidak boleh menangis lagi ini perintah!"
Dara hanya diam mendengar ucapan Mamanya ia sudah tidak menangis lagi. Tatapannya kini berubah menjadi dingin. Ia tidak terima dengan ucapan Mamanya, kalimat ini akan terus ia ingat tetapi bukan untuk membenci Papanya tetapi untuk membuktikan kepada Mamanya kalau Papanya bukan manusia keji yang dikatakan Mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabitah
Novela JuvenilKesempatan kedua? kalian percaya itu? Bagi saya itu hanyalah pemikiran dari orang-orang yang tamak. Mereka ingin kembali lagi kepada kisah yang lama dan memaksa agar semuanya kembali seperti semula