S - J E D A
***
Sejatinya seorang sahabat, nggak ada yang nggak diketahui. Bahkan hal-hal kecil seperti warna favorit misalnya. Namun, nampaknya aku sama sekali kurang tahu masalah satu sahabatku. Entah disebut tidak peduli, atau terlalu cuek. Aku merasa tersaingi oleh seseorang sekarang.
Satu sahabat yang kumaksud bukan anak MSG. Karena kalau mereka, pastilah aku nggak terlalu mau ikut campur. Kami taaruf baru dua tahunan, berbeda dengan Hafshah yang memang sudah kukenal dari kelas 10 SMA. Tapi, bukan berarti aku leluasa masuk dan turut ikut campur pada masalah ketiganya.
Aku bersedia menjadi pendengar bagi teman-temanku, tapi aku nggak bersedia buat turut andil dalam permasalahan masing-masing. Kadang kala, seseorang hanya butuh pendengar yang baik. Dan tentu penghiburan yang dapat menguatkan.
Lalu bagaimana denganku?
Yah, aku nggak terlalu suka bercerita lebih dulu. Tapi kalau mereka bertanya, aku nggak bisa berbohong. Akan kucerirakan semuanya. Termasuk siapa aku, asal usulku, mengapa memilih Darul Akhyar dan lain-lainnya. Sayang, sampai sekarang masih belum ada yang mau kepo-kepo tentang anak nomor satunya Darul Akhyar ini.
Balik lagi ke masalah tadi. Tentang aku yang melewatkan rahasia terbesar salah seorang sahabat. Kami tumbuh bersama, bersekolah di satu lembaga yang sama. Tetanggaan pula, dan sering main bersama. Tapi kebersamaan-kebersamaan itu rasanya nggak bikin aku menjadi lebih tahu tentang Binar.
Karena apa? Karena kalimat Nadiya yang menggema-gema menyebut nama Binar membuatku cukup terusik.
"Sumpah? Jadi selama ini dia pura-pura bisu?" Gadis berkacamata di hadapannya berteriak histeris.
Reflek atau memang sengaja mengeraskan suara? Kalau sengaja, pengin kugeplak nih. Ngeselin amat dari tadi bikin kuping panas.
"Iyalah, suaranya serak-serak gitu. Bikin bulu kuduk merinding!"
Setan kali, bikin bulu kuduk merinding.
"Aih, Gila. Aku kan jadi penasaran," imbuh temannya yang lain.
Binar bisa bicara? Kalau menurutku sih mereka hanya halu saja. Bagaimana bisa dia berbicara? Kalau sedari kami kecil saja Binar nggak pernah membuka mulutnya. Celotehan mereka berlanjut pada seberapa beruntungnya Nadiya bisa mendengarkan suara Binar, yang belum diketahui oleh siapa pun.
Kemudian pujian-pujian tadi berubah seperti nada nyinyir yang ditujukan ke arah ... siapa lagi coba kalau bukan aku?
"Tapi Kak Meda pasti juga udah tau, bukan cuma Nadiya aja kan?"
Malas sekali rasanya meladeni bocah-bocah ini, aku mendengku kecil. "Hah, apa pentingnya juga kalian tau," sarkasku yang masih sibuk mengukur sterofoam. "Kalau cuma mau ngegosip pergi aja. Kerjaan nggak bakal kelar dengan kalian ngomomg aja di situ."
"Bener kata Kak Me tuh!" Seorang anak menyeletuk. Kali ini bukan Arfi maupun Marco, tapi anggota olimp matematika yang lain.
"Grusah grusuh mulu kalian berlima. Ke ruang anak buletin sana! Pinjem penggaris kalau nggak ada kerjaan," perintah anak perempuan bertubuh tinggi.
"Sirik aja liat orang bahagia," sindir teman Nadiya, yang dilerai oleh si Princess sendiri. Lalu mereka benar-benar pergi dari ruang club.
"Kak Me, yang ini udah kelar?" Arfi mengambil potongan sterofoam berbetuk lambang pi.
"Ah, iya, Fi. Diambil aja. Oh iya, Nala! Nanti bantu Arfi dekor ya?"
Anak yang kupanggil Nala mengacungkan jempol. Semua kembali bekerja selepas Nadiya and the gengs pergi meninggalkan ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASA [TERBIT] ✔️
EspiritualBISA DIPESAN DI SHOPEE: lumiere_publishing ******* "Jika roketku berhenti, akankah semua bintang yang kubawa terhempas ke bumi?" Meda pernah memiliki harapan seluas angkasa Ia sudah menyiapkan mimpi hingga prosesnya, runtut seperti rumus matematika ...