"Kakang...! Kakang Rangga...!"
"Aku di sini, Pandan...!"
Seorang pemuda berwajah tampan yang dipanggil Rangga menyembulkan kepalanya dari balik bongkahan batu besar di tepi sungai, tepat di saat gadis yang dipanggil Pandan Wangi melompat naik ke atas batu itu.
"Auh...!" Pandan Wangi jadi terpekik, melihat Rangga yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti tanpa pakaian di balik batu itu. Cepat gadis itu melompat turun, dan langsung berbalik membelakangi batu besar ini. Rangga juga jadi terkejut dan langsung menenggelamkan tubuhnya kembali kedalam air. Pemuda itu benar-benar tak sadar kalau tubuhnya belum berpakaian.
"Cepat berpakaian, Kakang. Ada yang ingin kubicarakan!" seru Pandan Wangi sambil tersenyum geli, melihat Rangga tadi tidak berpakaian sama sekali.
Sementara di balik batu, Rangga bergegas mengenakan pakaiannya kembali. Tak lama, dia keluar dari balik batu besar itu. Pandan Wangi tersenyum-senyum saja melihat Pendekar Rajawali Sakti masih mengencangkan tali yang mengikat pedang ke punggungnya.
"Ada apa kau tersenyum-senyum? Senang ya mengintip orang mandi...?" rungut Rangga.
"Siapa yang ngintip...? Aku tidak sengaja tadi." dengus Pandan Wangi, membela diri.
Rangga melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di pohon bersama kuda Pandan Wangi. Dipasangnya pelana kuda hitam yang terbuat dari kulit berlapis perak itu. Sedangkan kuda putih tunggangan Pandan Wangi sudah berpelana. Pandan Wangi sendiri masih tetap berdiri sambil menyandarkan punggungnya di batu sebesar kerbau ini. Gadis itu hanya memperhatikan Rangga yang sedang menyiapkan kudanya.
"Kau akan mengatakan apa tadi?" tanya Rangga setelah selesai memasang pelana kudanya.
"Kau tentu ingin tahu apa yang kutemukan ini, Kakang...," kata Pandan Wangi sambil melemparkan sebuah selongsong bambu kearah Pendekar Rajawali Sakti.
Tangkas sekali Rangga menangkap selongsong bambu itu. Tapi Pendekar Rajawali Sakti agak terkejut juga. Tangannya seketika agak bergetar, begitu selongsong bambu berhasil ditangkapnya. Langsung ditatapnya Pandan Wangi dengan bola mata mendelik lebar. Pandan Wangi jadi terkikik geli. Sengaja tadi sedikit tenaga dalamnya disalurkan pada lemparannya. Dan ini sama sekali tidak diduga Rangga, hingga terasa tangannya jadi bergetar tadi.
"Buka tutupnya, Kakang," ujar Pandan Wangi masih tersenyum geli, bisa mempermainkan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga segera membuka tutup yang terbuat dari sabut kelapa ini. Kelopak matanya jadi menyipit, melihat di dalam selongsong bambu itu terdapat segulung kulit binatang yang sudah dikerat tipis dan dikeringkan. Diambilnya gulungan kulit tipis itu, dan dibukanya lebar-lebar. Sesaat diamati lembaran kulit kering itu. Kemudian, matanya yang masih menyipit menatap Pandan Wangi.
"Dari mana kau dapatkan ini...?" tanya Rangga sambil menggulung lembaran kulit itu kembali, dan memasukkannya ke dalam selongsong bambu kembali.
Pendekar Rajawali Sakti lalu melangkah menghampiri gadis cantik berbaju ketat berwarna biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut ini. Dan diserahkannya kembali selongsong bambu itu. Pandan Wangi menerima, dan langsung diselipkan ke ikat pinggang sebelah kanan. Sementara Rangga sudah kembali melangkah menghampiri kudanya. Dan tanpa bicara lagi, pemuda itu langsung melompat naik ke punggung kuda hitam yang bernama Dewa Bayu. Pandan Wangi bergegas melangkah menghampiri kuda putihnya. Dengan gerakan indah sekali, gadis itu melompat naik ke punggung kuda putih tunggangannya. Beberapa saat mereka terdiam, belum menggebah kuda masing-masing. Dan sejenak mereka saling bertukar pandangan.
"Tunjukkan di mana kau temukan itu, Pandan," pinta Rangga meminta, setelah beberapa saat dia terdiam.
"Hiyaaa...!" Pandan Wangi langsung saja menggebah keras kudanya. Seketika kuda putih tunggangannya meringkik, sambil mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi ke atas. Lalu bagaikan sebatang anak panah yang dilepaskan dari busur, kuda putih itu melesat cepat meninggalkan tepian sungai ini.
"Yeaaah...!" Rangga segera menggebah kudanya, mengikuti gadis itu. Kudanya segera dipacu dalam kecepatan tidak penuh. Sehingga, dia tetap berada di belakang kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi.
"Hooop...!" Pandan Wangi langsung melompat turun dari punggung kudanya, begitu menarik tali kekang kuda putih yang terbuat dari perak itu. Sungguh indah dan ringan gerakannya. Sehingga, sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak rerumputan di dalam hutan ini. Rangga yang sejak tadi mengikuti, juga melompat turun dari punggung kuda hitam tunggangannya. Dihampirinya Pandan Wangi yang tetap berdiri dekat dengan kudanya. Tanpa bicara sedikit pun juga, gadis itu menunjuk ke ujung jari kakinya.
"Di sini...?" tanya Rangga.
"Iya! Aku menemukannya di sini," sahut Pandan Wangi.
Sebentar Rangga mengamati rerumputan di ujung jari kaki si Kipas Maut itu. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Sesaat keningnya jadi berkerut, dengan kelopak mata terlihat agak menyipit. Pandan Wangi yang sejak tadi memperhatikan, keningnya jadi berkerut juga. Sementara Rangga sudah melangkah, mendekati segerumbul semak yang berada tidak jauh di sebelah kanannya.
Dengan sepotong cabang pohon yang dipungutnya dari tanah, Rangga menyibak ranting itu. Pandan Wangi yang sejak tadi memperhatikan segera mendekati, begitu terlihat sesosok tubuh tergeletak dalam semak belukar dalam keadaan sudah tidak bernyawa.
Beberapa saat mereka terdiam, memperhatikan mayat laki-laki berusia sekitar empat puluh tujuh tahun itu. Seluruh tubuhnya berlumur darah dari luka yang menganga begitu banyak. Bahkan kepalanya hampir saja terpisah dari leher. Pandan Wangi segera membalikkan mayat itu sambil menghembuskan napas panjang.
"Aku tidak tahu kalau ada mayat di sini, Kakang," kata Pandan Wangi pelan, seraya menghembuskan napas panjang.
"Aku kenali pakaian yang dikenakannya, Pandan. Dia seorang utusan dari Kadipaten Balakarang. Lihatlah ikat pinggang yang dikenakannya..?" kata Rangga juga pelan suaranya.
Pandan Wangi berpaling sedikit ke belakang. Dia memang melihat kalau mayat laki-laki itu mengenakan sabuk berwarna kuning keemasan, dengan kepala bergambar lambang Kadipaten Balakarang. Gadis itu kembali berbalik.
"Apa mungkin dia hanya seorang diri saja, Kakang?" tanya Pandan Wangi pelan, setelah beberapa saat terdiam.
"Aku kenal betul Adipati Krasana. Dia selalu mengirim utusan hanya seorang diri saja, tanpa pengawal sama sekali. Dan utusan yang dipilihnya bukan orang sembarangan. Selain pandai menunggang kuda, tingkat kepandaiannya juga tidak bisa dipandang ringan," jelas Rangga.
"Kalau begitu, kemana Adipati Krasana mengirimkan utusan yang membawa peta ini, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Tidak ada sepucuk surat pun terlampir pada peta itu," sahut Rangga agak mendesah, seakan bicara pada diri sendiri. "Tapi aku merasa kalau peta itu harus disampaikan pada seseorang yang sangat penting."
"Kakang! Apa sebaiknya kita ke Kadipaten Balakarang saja, dan mengembalikan peta ini pada Adipati Krasana...?" usul Pandan Wangi.
"Aku belum mengenal wataknya, Pandan. Juga aku tidak mau mengambil bahaya yang besar, hanya untuk selembar peta," kata Rangga seraya berbalik, dan melangkah menghampiri kudanya lagi.
"Lalu apa yang akan kau perbuat?" tanya Pandan Wangi tidak mengerti kata-kata yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti barusan.
Rangga hanya diam saja. Kembali Pendekar Rajawali Sakti naik ke punggung kuda hitam Dewa Bayu. Sedangkan Pandan Wangi tetap berdiri memandangi kekasihnya yang kini sudah berada di atas punggung kudanya kembali. Rangga juga memandangi gadis itu tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga.
"Apa lagi yang kau tunggu, Pandan...?" tegur Rangga seperti tidak sabar.
Pandan Wangi tidak menyahut. Kakinya malah melangkah menghampiri kudanya, dan mengambil tali kekang kuda putih yang terbuat dari perak itu. Tapi gadis itu belum juga naik ke punggung kuda putih tunggangannya.
"Aku mau kembalikan ini pada pemiliknya, Kakang," kata Pandan Wangi, langsung melompat naik ke punggung kuda putih itu.
"Hup! Yeaaah...!"
"Pandan...!" Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba Pandan Wangi menggebah kudanya dengan cepat sekali. Sehingga dalam waktu sebentar saja, si Kipas Maut itu sudah jauh meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Pandan, apa yang kau lakukan...?" seru Rangga kuat-kuat.
Tapi Pandan Wangi sudah terlalu jauh untuk bisa mendengar seruan Pendekar Rajawali Sakti. Kudanya terus dipacu cepat, menembus pepohonan yang cukup rapat ini. Sementara Rangga masih diam, belum juga menggebah kudanya.
"Huh! Cari kesulitan saja anak itu...!" dengus Rangga. "Hus! Shyaaa...!"
Rangga cepat menggebah kudanya. "Susul Pandan Wangi, Dewa Bayu," perintah Rangga.
Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu meringkik keras. Dan seketika itu juga, Dewa Bayu melesat bagai anak panah terlepas dari busur. Begitu cepat larinya, hingga yang terlihat hanya bayangan hitam dan tubuhnya saja yang berkelebat di antara pepohonan rapat ini.
"Hiya! Yeaaah...!" Rangga terus menggebah kudanya semakin cepat, membuat Dewa Bayu hitam itu berlari bagaikan angin saja. Seakan-akan, keempat kakinya tidak lagi menyentuh tanah. Debu dan daun-daun kering pun beterbangan, tersepak kaki-kaki kuda yang bergerak begitu. Namun, tiba-tiba saja Rangga menghentikan lari kudanya.
"Hooop...!"
"Hieeegkh..!" Dewa Bayu meringkik keras, langsung mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Sigap sekali Rangga mengendalikan kuda hitamnya hingga cepat berhenti. Langsung pandangannya beredar ke sekeliling.
"Hm... Seharusnya dia sudah terkejar...," gumam Rangga yang merasa kudanya sudah dipacu begitu jauh.
Tapi sepanjang jalan yang dilalui, Rangga tidak melihat Pandan Wangi. Bahkan bayangannya pun tidak terlihat. Entah kenapa, mendadak saja terselip rasa kecemasan dalam hati Pendekar Rajawali Sakti.
"Gegabah! Bikin susah orang saja...!" dengus Rangga menyesali tindakan Pandan Wangi yang tidak berpikir lebih dulu.
Beberapa saat Rangga masih mengedarkan pandangan ke sekeliling namun tidak juga bisa melihat bayangan Pandan Wangi bersama kudanya. Hanya pepohonan saja yang terlihat di sekelilingnya.
"Ayo, Dewa Bayu. Kita langsung saja ke Kadipaten Balakarang," ujar Rangga pada kudanya.
Kuda hitam itu mendengus, dengan kepala terangguk sekali. Seakan ucapan Pendekar Rajawali Sakti bisa dimengerti.
"Yeaaah...!"***
Kadipaten Balakarang bukanlah sebuah kadipaten besar. Letaknya di sebuah lembah yang dikelilingi bukit-bukit yang berjajar bagai sebuah benteng. Meskipun tidak besar, tapi kadipaten ini begitu indah. Bahkan kehidupan rakyatnya juga terlihat diatas rata-rata dari kehidupan rakyat biasa.
Rumah-rumah penduduk kadipaten ini begitu teratur rapi, berada di kiri dan kanan jalan yang penuh simpangan. Semua jalan di kadipaten ini tidak ada yang kecil, sehingga bisa dilalui dua gerobak pedati bersimpang dengan leluasa. Dan saat itu matahari sudah condong ke arah barat ketika Rangga bersama Dewa Bayu yang ditungganginya sampai di Kadipaten Balakarang ini.
Rangga melihat jalan di seluruh kadipaten ini masih tetap ramai, walaupun matahari sudah hampir tenggelam di balik bukit sebelah barat. Cahaya matahari yang keemasan menambah keindahan Kota Kadipaten Balakarang ini. Namun semua keramaian dan keindahan itu sama sekali tidak dapat dinikmati Rangga. Pikirannya selalu tertuju pada Pandan Wangi, yang belum juga diketemukan sepanjang jalan yang dilalui menuju kadipaten ini.
"Kalau dia terus memacu kudanya tanpa henti tentu sudah sampai di kadipaten ini. Hm.... Apakah aku langsung saja ke kadipaten...?" gumam Rangga, bicara sendiri dalam hati.
Rangga terus mempertimbangkan segalanya, sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan. Setiap orang yang dilintasi, selalu memandangnya sebentar. Namun mereka tidak lagi peduli pada Pendekar Rajawali Sakti. Mereka kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sementara, Rangga terus menjalankan kudanya perlahan-lahan menelusuri jalan tanah yang lebar dan bersih ini.
"Sudah hampir malam. Sebaiknya aku ke peninginapan Nyai Jumirah saja," gumam Rangga lagi dalam hati.
Setelah mengambil keputusan, Pendekar Rajawali Sakti langsung menuju sebuah rumah penginapan yang paling besar di kota ini dan terletak tepat di depan istana kadipaten. Sebuah istana yang dikelilingi pagar tembok tinggi, dan selalu terjaga ketat oleh prajurit-prajurit kadipaten.
"Hup!" Rangga langsung melompat turun dari punggung kudanya, setelah sampai di rumah penginapan Nyai Jumirah. Kudanya dituntun memasuki halaman depan rumah penginapan yang cukup luas ini. Seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun, dengan tubuh gemuk bertelanjang dada berlari-lan kecil menghampiri dari arah samping rumah penginapan itu. Rangga tersenyum, dan langsung menyerahkan tali kekang kudanya pada bocah itu.
"Beri dia makan dan minum yang kenyang, ya...," pinta Rangga.
"Baik. Den." sahut bocah itu sambil tersenyum lebar.
Rangga lantas memberi sekeping uang perak, yang membuat kedua bola mata bocah itu jadi terbeliak lebar menerimanya. Rangga hanya mengusap kepala bocah itu, dan terus saja melangkah menuju pintu depan rumah penginapan yang paling besar di Kota Kadipaten Balakarang.
Pemuda itu berhenti sebentar begitu kakinya menginjak ambang pintu yang selalu terbuka lebar ini. Sejenak pandangannya beredar ke sekeliling. Tidak ada seorang pun yang dikenalnya. Rangga terus saja melangkah masuk menghampiri sebuah meja panjang yang ada di sudut ruangan besar ini. Tak lama, seorang perempuan bertubuh gemuk itu duduk di belakang meja itu membelakanginya. Rangga langsung menepuk punggung wanita bertubuh gemuk ini.
"Eh...?!" Wanita itu tersentak kaget, dan langsung terlompat turun dari kursinya. Dan saat berbalik, kedua bola matanya langsung membeliak lebar, begitu melihat seorang pemuda berbaju rompi putih sudah ada di depannya.
"Den Rangga ," desis wanita gemuk itu.
"Aku lihat penginapanmu ini semakin besar dan ramai saja. Nyai," ujar Rangga dengan senyum lebar merekah di bibir.
"Ah! Dari dulu tetap saja begini. Den," sahut wanita bertubuh gemuk yang ternyata Nyai Jumirah, pemilik rumah penginapan ini.
"Aku pesan satu kamar, Nyai," kata Rangga langsung meminta.
"Yang biasa..."
"Satu ...?!" Kening Nyai Jumirah berkerut mendengar permintaan tamu yang sudah dikenalnya ini.
"Iya. Satu... Kenapa, Nyai?"
"Biasanya yang dipesan dua kamar, Den. Kenapa sekarang hanya satu? Apa adikmu tidak ikut?"
"Tidak," sahut Rangga agak ditahan suaranya.
Dari pertanyaan Nyai Jumirah barusan, Rangga langsung sudah bisa tahu kalau Pandan Wangi tidak singgah dulu di rumah penginapan ini. Nyai Jumirah memang sudah kenal Pandan Wangi. Dan yang diketahuinya, Pandan Wangi adalah adik Pendekar Rajawali Sakti ini.
Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi sudah beberapa kali singgah di Kadipaten Balakarang ini. Dan setiap kali singgah, mereka selalu menginap di rumah penginapan Nyai Jumirah. Tidak heran kalau perempuan gemuk pemilik rumah penginapan itu sudah sangat mengenalnya.
"Sebentar aku siapkan kamarnya, Den," kata Nyai Jumirah.
"Siapkan saja, Nyai. Aku ingin makan dulu," kata Rangga.
"Tidak makan di kamar saja, Den...?"
"Tidak, Nyai. Biar di sana saja," sahut Rangga sambil menunjuk sebuah meja yang berada tepat dekat jendela besar yang terbuka lebar.
Nyai Jumirah hanya tersenyum saja. Sementara, Rangga sudah melangkah mendekati meja bundar dari kayu jari. Dan tubuhnya dihempaskan di sana, langsung menghadap ke jendela. Dari tempatnya ini, Rangga bisa langsung memandang ke jalan. Sengaja tempat ini yang dipilihnya, kalau kalau nanti melihat Pandan Wangi melintas di jalan itu.***
KAMU SEDANG MEMBACA
129. Pendekar Rajawali Sakti : Pulau Kematian
ActionSerial ke 129. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.