BAGIAN 5

286 16 0
                                    

Setelah tahu apa yang membuat semua orang di perkampungan ini begitu aneh sikapnya, Pandan Wangi langsung mendesak Arya Bangal agar mengantarkannya ke pulau kerajaannya. Semula Arya Bangal tidak ingin menuruti. Tapi karena Pandan Wangi terus mendesak, akhirnya tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk mencegahnya. Bahkan dia sendiri yang akan mengantarkannya bersama enam orang pengawal setianya. Tapi karena malam sudah begitu larut, Arya Bangal meminta untuk berangkat besok pagi saja, dan Pandan Wangi menyetujui usul itu.
Namun malam ini, Pandan Wangi menyempatkan diri menemui Dayang Suri yang selalu mendampingi Arya Bangal, sampai mengurus segala sesuatunya. Gadis yang seusia dengannya itu semula agak takut. Tapi setelah Pandan Wangi menunjukkan sikap lembutnya, akhirnya gadis berkulit hitam manis ini jadi terbiasa juga. Bahkan setelah beberapa saat mereka berbicara, gadis yang selalu dipanggil Dayang Suri itu seperti sudah kenal lama dengan Pandan Wangi.
"Suri..." Kau ingin kembali ke kampung halamanmu...?" tanya Pandan Wangi, setelah cukup lama berbincang-bincang.
"Tentu... Aku sering merindukannya," sahut Dayang Suri pelan, dengan mata menerawang jauh ke depan, memandang lautan lepas. "Tapi apa mungkin...?"
"Kenapa tidak...? Aku yakin, kau pasti akan kembali pulang dan hidup seperti biasanya," kata Pandan Wangi meyakinkan.
"Ah...! Jangan menghiburku, Nini Pandan. Mana mungkin aku bisa kembali lagi? Sedangkan Gusti Arya Bangal saja masih tetap di sini," kata Dayang Suri.
Entah kenapa, Pandan Wangi jadi tersenyum. Ditepuknya pundak gadis berkulit hitam manis ini beberapa kali. Kemudian Pandan Wangi bangkit berdiri, dan melangkah beberapa tindak ke depan. Sedangkan Dayang Suri tetap duduk memeluk lututnya diatas rerumputan, dengan punggung sedikit bersandar pada batang pohon tumbang.
"Tidak lama lagi, kau dan yang lain akan kembali ke pulau yang begitu kalian cintai. Dan bukan lagi Pulau Kematian yang selama ini kalian sebut," kata Pandan Wangi, begitu yakin nada suaranya.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin, Nini Pandan? Kau tidak tahu ada apa di sana. Kau hanya mendengar dari Gusti Arya Bangal, dari aku dan yang lain. Kau belum tahu, bagaimana keadaan disana, Nini Pandan. Tidak mudah mengusir mereka dari pulau...," kata Dayang Suri tidak percaya terhadap keyakinan si Kipas Maut.
"Aku yang akan mengusir mereka dari sana, Suri," kata Pandan Wangi mantap.
"Hanya kau sendiri...?"
Pandan Wangi hanya mengangkat bahu saja, tidak menjawab pertanyaan itu. Sedang Dayang Suri semakin tidak percaya saja, kalau Pandan Wangi bisa mengusir orang-orang yang menguasai pulau bila hanya seorang diri saja. Walaupun Pandan Wangi sudah mengalahkan Arya Bangal, tapi itu bukan satu ukuran untuk bisa membebaskan Pulau Kematian dari orang-orang yang menguasainya.
"Besok pagi-pagi sekali aku berangkat. Percayalah, aku akan datang kembali lagi ke sini untuk membawa kalian semua pulang," kata Pandan Wangi tetap mantap suaranya.
Sedangkan Dayang Suri hanya bisa berdiam saja memandangi gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut. Dia masih belum percaya kalau Pandan Wangi dapat melakukan semua itu. Padahal yang diketahuinya, entah sudah berapa pendekar tangguh yang sudah dikirim ke pulau itu, tapi sampai sekarang tidak ada seorang pun yang kembali dalam keadaan hidup. Kalaupun ada orang itu langsung tewas begitu sampai di pesisir pantai ini. Dan orang itu membawa selongsong bambu dari Pulau Kematian, yang kini berada di tangan Arya Bangal. Selongsong bambu itu memang berisi lembaran kulit yang tertera sebuah peta, penujuk arah untuk bisa mencapai tempat penyimpanan harta kekayaan di Pulau Kematian. Bahkan harta kekayaan itu tidak ternilai harganya, dan tidak akan habis dimakan tujuh turunan. Makanya, pulau itu jadi rebutan.
Benar apa yang dikatakan Pandan Wangi. Gadis itu kini meninggalkan perkampungan sebelum matahari menampakkan diri. Pandan Wangi diantar Arya Bangal, bersama enam orang pengawalnya sampai luar batas perkampungan ini. Gadis itu menolak diberikan kuda, karena lebih senang berjalan kaki menuju pantai, untuk kemudian menyeberang menuju Pulau Kematian.

***

Matahari belum lagi naik tinggi, saat Pandan Wangi tiba di tepi pantai yang landai. Bibirnya tersenyum melihat sebuah perahu sudah tertambat di sana. Sebuah perahu yang tidak besar, dan bisa digunakan hanya seorang saja. Dengan ayunan kaki mantap, Pandan Wangi melangkah mendekati perahu itu. Tapi belum juga sampai, tiba-tiba saja...
"Pandan...!"
"Oh...?!" Pandan Wangi tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar panggilan. Lebih terkejut lagi, suara itu dikenalnya betul. Cepat tubuhnya berbalik. Dan mulutnya jadi ternganga, melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih, sudah berdiri tidak jauh di belakangnya. Tampak dua ekor kuda berada di belakangnya. Pemuda itu berdiri tegak membelakangi gerumbulan pohon bakau yang banyak tumbuh di sekitar pantai ini.
"Kakang Rangga...," desis Pandan Wangi begitu hilang rasa terkejutnya.
Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung itu memang Rangga. Dia lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti di kalangan persilatan. Pemuda itu melangkah mantap, menghampiri gadis cantik yang sedang dicari-carinya. Sementara Pandan Wangi menunggu sampai Pendekar Rajawali Sakti dekat.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku ada di sini, Kakang?" tanya Pandan Wangi langsung, begitu Rangga sudah di depannya.
"Tidak sulit untuk menemukanmu, Pandan," sahut Rangga agak datar nada suaranya.
Pandan Wangi mengangkat bahunya sedikit, kemudian berbalik. Lalu kakinya melangkah mendekati perahu yang sudah tersedia untuknya. Rangga mengikuti dari belakang, lalu mensejajarkan ayunan kakinya disamping kanan gadis ini. Sesaat mereka tidak ada yang bicara, hingga sampai kebagian sisi perahu di tepi pantai ini.
"Mau pergi ke mana kau?" tanya Rangga, begitu melihat Pandan Wangi melepaskan tali ikatan perahu itu pada tonggak kayu yang tertanam dalam di pasir.
"Ke pulau," sahut Pandan Wangi singkat.
"Hup!" Ringan sekali gadis itu melompat naik ke atas perahu yang sudah bergoyang-goyang dipermainkan ombak. Sementara Rangga masih tetap diam berdiri di tepi pantai. Sedangkan Pandan Wangi sudah berdiri tegak di sebelah tiang perahu ini.
"Kau mau ikut?" Pandan Wangi langsung menawarkan.
"Ke mana?" tanya Rangga.
"Ke pulau," sahut Pandan Wangi singkat saja.
"Pulau apa?"
"Pulau Kematian."
Kening Rangga jadi berkerut mendengar jawaban si Kipas Maut itu. Dipandanginya gadis itu dalam-dalam beberapa saat. Tapi yang dipandangi malah tersenyum-senyum saja. Saat itu, Rangga melihat tidak ada lagi selongsong bambu terselip di pinggang si Kipas Maut ini. Tapi hal itu tidak langsung ditanyakannya. Dia ingin tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi. Sampai-sampai Pandan Wangi ingin menyeberangi lautan dan menuju ke sebuah pulau yang dikatakanya tadi bernama Pulau Kematian.
"Apa yang terjadi sebenarnya, Pandan?" Rangga langsung meminta penjelasan.
"Nanti kujelaskan di perjalanan. Sekarang doronglah perahu ini ke tengah, lalu cepat naiklah," sahut Pandan Wangi begitu ringan kata-katanya.
Sebentar Rangga memandangi, kemudian mendorong perahu itu hanya dengan tangan kiri saja. Perahu itu bergerak melaju. Lalu dengan gerakan sangat ringan dan cepat, Rangga melompat naik ke atas perahu yang sudah melaju terbawa angin. Layar perahu menggelembung tertiup angin. Dan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu duduk saling berhadapan di atas perahu yang terus melaju semakin cepat ke tengah laut. Dan untuk beberapa saat, mereka masih terdiam membisu. Mereka hanya saling berpandangan saja, tanpa mengucapkan satu kata pun.
"Pulau apa yang kau tuju sekarang, Pandan?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Pulau Bidadari," sahut Pandan Wangi. "Tapi beberapa hari ini selalu disebut Pulau Kematian."
"Kau tahu letaknya?" tanya Rangga lagi. Pendekar Rajawali Sakti tahu, Pandan Wangi belum pernah pergi sampai menyebrangi lautan seperti ini.
"Tahu," sahut Pandan Wangi seraya mengangguk.
"Dari mana?"
"Dari orang yang berhak memiliki peta itu. Kakang," sahut Pandan Wangi.
"Pemilik peta...?"
"lya,"
Kening Rangga jadi berkerut. Masih belum bisa dicerna kata-kata yang diucapkan Pandan Wangi barusan. Sungguh tidak dimengerti apa yang di maksudkan Pandan Wangi dengan orang yang berhak atas peta dalam selongsong bambu itu. Dan kebingungan Rangga rupanya bisa cepat dipahami Pandan Wangi.
Sebelum Rangga meminta, Pandan Wangi sudah langsung menceritakan semua yang terjadi dan dialami dalam beberapa hari ini. Semua jelas di tuturkannya, sampai pada hal yang terkecil sekali pun. Sementara Rangga mendengarkan penuh perhatian.
Memang sudah hampir tiga hari ini Pendekar Rajawali Sakti berada di sekitar pesisir pantai. Tapi Rangga tidak tahu, kalau ada sebuah perkampungan tidak jauh dari pantai itu. Sedangkan kuda putih tunggangan Pandan Wangi yang ditemukan, juga tidak bisa menunjukkan adanya gadis ini. Hingga akhirnya, Rangga sendiri yang melihat Pandan Wangi keluar dari dalam hutan dekat pantai tadi, dan langsung saja mendatanginya.
"Kau tahu, Kakang...," kata Pandan Wangi di akhir penuturannya.
"Tahu apa...?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Peta itu sebenarnya menunjukkan letak harta kekayaan Pulau Bidadari. Arya Bangal sendiri yang mengatakannya padaku. Peta itu sudah ada sebelum dia sendiri lahir. Entah, siapa yang membuatnya. Dan yang jelas, peta itu sudah menjadi semacam benda pusaka turun-temurun yang selalu berada di tangan Penguasa Pulau Bidadari," jelas Pandan Wangi lagi.
"Dan kau ingin ke pulau itu dengan tujuan mencari harta...?" pancing Rangga.
"Harta...? Ha ha ha...!"
Pandan Wangi jadi tertawa mendengar pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Sedangkan Rangga sendiri hanya diam saja, memandangi gadis yang duduk tepat di depannya. Sementara perahu yang ditumpangi terus melaju dengan kecepatan tinggi bagai hendak membelah lautan luas bagai tidak bertepi.
"Aku sudah berjanji pada mereka untuk mengenyahkan manusia-manusia serakah di pulau itu, Kakang. Mereka harus kembali ketanah kelahirannya. Dengan peta itu, keselamatan mereka sudah tentu terancam. Apalagi kalau sampai ada yang tahu kalau mereka sekarang memiliki peta petunjuk penyimpanan harta yang tidak akan habis di makan tujuh turunan itu, Kakang," jelas Pandan Wangi tentang tujuannya ke Pulau Bidadari yang kini selalu disebut Pulau Kematian itu.
"Kau percaya pada mereka?" tanya Rangga kembali bemada memancing.
"Tentu saja, Kakang. Mereka tampaknya orang-orang jujur. Bahkan raja mereka sendiri mengatakan secara terbuka. Dari dia aku tahu bagaimana keadaan di Pulau Bidadari saat ini. Kau tidak ingin 'kan aku mengingkari janji...? Apa pun yang akan terjadi nanti, aku harus sampai ke pulau itu. Kemudian mengusir orang-orang yang menguasai Pulau Kematian," kata Pandan Wangi tegas.
Sementara perahu yang mereka tumpangi semakin jauh meninggalkan pantai. Bahkan kini, tepian pantai sudah tidak terlihat lagi. Sejauh mata memandang, hanya riak air laut saja yang terlihat membiru. Kulit mereka pun sudah mulai terasa pedih, terbakar matahari yang siang ini bersinar begitu terik. Namun pulau itu belum juga kelihatan.
"Pandan! Kau tidak curiga kalau ini hanya jebakan saja?" tanya Rangga lagi, setelah cukup lama terdiam membisu.
"Tidak ada alasan untuk mengatakan mereka penipu, Kakang. Sikap mereka pada Arya Bangal begitu hormat. Bahkan di perkampungan itu, bukan hanya orang-orang dewasa saja yang terlihat. Mereka orang-orang yang perlu mendapat pertologan, Kakang. Tidak pantas kalau mencurigai orang seperti mereka...," bantah Pandan Wangi tegas.
"Tampaknya kau begitu yakin, Pandan," ujar Rangga.
"Aku selalu yakin pada pendirianku, Kakang,"
"Kalau begitu, kita cari pulau itu sampai dapat,"
"Jadi, kau ingin membantuku...?"
Rangga tersenyum saja.
"Terima kasih, Kakang," ucap Pandan Wangi senang.
"Tapi kurasa, dengan perahu ini sulit menemukan pulau ini, Pandan," kata Rangga.
"Maksudmu?"
"Kita harus kembali ke pantai. Kurasakan akan lebih cepat kalau meminta bantuan Rajawali Putih,"
"Kalau memang begitu, kenapa tidak panggil saja Rajawali Putih ke sini? Biar dia yang menunjukkan dari atas. Kita tinggal ikuti saja, ke mana arahnya, Kakang," usul Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja mendengar usul si Kipas Maut ini. Tapi memang tidak ada salahnya. Daripada mereka harus kembali lagi ke pantai yang sudah begitu jauh ditinggalkan. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera memanggil burung rajawali raksasa itu dengan siulannya yang bernada aneh.

129. Pendekar Rajawali Sakti : Pulau KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang