Lima kali Genta memeriksa jam tangannya yang terasa tidak bergerak sejak tadi. Sudah 20 menit ia menunggu di lobi gedung serbaguna Fakultas Perfilman dan orang yang ditunggunya belum juga terlihat.
Membuka masker medis hijaunya, Genta menoleh ke arah pintu masuk gedung. Pada kaca itu dilihatnya pantulan dirinya yang ... wow! Penampilannya saat ini kacau balau.
Genta masih mengenakan kemeja hijaunya yang ia pakai sejak subuh tadi, celana bahan hitam sejak kemarin subuh, dan rambutnya sudah mulai terlihat lepek akibat tidak mandi lebih dari, hmm, 40 jam. Walaupun seharian berada di ruangan ber-AC badan Genta tetap merasa gerah, lengket, dan rasanya ingin sekali berdoa agar hujan turun agar sekalian mengguyur tubuhnya. Untungnya Bunda selalu mengajarkan Genta untuk membasuh ketiak saat tidak sempat mandi dan sebelum memakai deodoran, jadi dia tidak akan dijauhi karena mengeluarkan bau yang mematikan untuk orang di sekitarnya.
Mungkin ini hanya perasaannya, tapi setiap dirinya pulang, Genta selalu merasa dirinya bau orang sakit. Dia seperti bisa mencium aroma amis, campuran bau minyak telon dan balsem, serta bau minyak kelapa yang dipakai perawat untuk mencegah lecet pada tubuh pasien yang tidak bisa bergerak. Dia bahkan tidak tahu apakah itu ilusi yang dibuat otaknya karena terlalu lama mendekam dalam bangsal atau memang tubuhnya memancarkan aroma aneh itu. Sepertinya saat pulang dia harus bertanya pada Bunda.
Bicara tentang penampilan.
Tangan Genta langsung mengusap wajahnya. "Tolol banget sih lu, Ta," gumamnya yang menyesali kelalaian diri sendiri. Hingga detik ini—genap 24 menit Genta menunggu—dirinya tengah menunggu seseorang yang tidak diketahui rupanya seperti apa. Buru-buru Genta membuka kontak 'Mandala (Panitia lomba)' untuk memeriksa display picture yang ternyata tidak memberi petunjuk apapun. Begitu ia mencoba beralih ke akun Instagram juga hasilnya sama saja.
Sambil mengelilingkan pandangan, Genta mencoba menebak barangkali dia bisa mengenalinya karena ada nametag, kaus, atau apapun yang menunjukan bahwa dia adalah panitia. Namun, sejauh matanya memandang, tidak ada tanda-tanda keberadaan panitia acara di sana. Di salah satu sudut ada sekumpulan anak-anak sanggar tari yang sedang berlatih (ini menjelaskan asal muasal alunan musik tradisional dan teriakan-teriakan penyemangat yang sejak tadi menghibur telinga Genta), berjarak beberapa langkah ada perkumpulan yang sedang menggelar kegiatan melukis bersama, dan di kafe yang saat ini Genta singgahi hanya ada sekumpulan anak sekolah dan ibu-ibu yang menggosip dengan keras.
Lalu ke mana Genta bisa menemukan orang itu?
Sampai kapan Genta harus menunggu? Dia ingin segera pulang untuk mandi dan mengerjakan PPT jurnal reading BPPV miliknya yang sudah tiga hari belum ada kemajuan berarti.
Ponsel di tangan Genta tiba-tiba bergetar, dipikirnya 'Mandala' mencoba menghubunginya, tetapi langsung ia merasa kecewa.
| Luki A.: Biar para Selingkuhan gak ngantuk. Love u gaes!
Luki A. Sent a video
| Mahesa Hutama: Bgsd.
| A.R: Bangke.
| Davdav: wkwkwkwk
Genta terkekeh saat video berdurasi tiga detik itu diputarnya. Video itu adalah hasil rekaman diam-diam saat praktikum anatomi semasa kuliah dulu. Dalam video singkat itu, fokus berada pada Robyn yang sedang memperhatikan sediaan penis cadaver yang dipotong untuk memperlihatkan pembuluh darah (menurut pengakuannya, saat video direkam dia sedang mendengarkan penjelasan dari Bram, murid terpintar di kelas) dan detik akhir video ditutup dengan aksi David berteriak 'Woy!' sambil memunculkan tengkorak secara close up.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi dari Mandala
Chick-Lit[21+] [Chicklit / Romance / Medicine] [Follow + Vote + Komen = Early update!] Seorang dokter muda yang patah hatinya. Seorang mahasiswi yang menghidupi buah hatinya. Mereka bertemu tanpa sengaja dan berbagi kisah suka dan duka. Sejak pertemuan itu...