Bola raksasa kuning kemerahan muncul perlahan dari bawah laut untuk naik ke kaki langit. Ombak menghantam cadas menimbulkan bunyi memecah sepi.
Pagi itu kusaksikan matahari terbit bersama Hamish. Dengan duduk di atas batu karang besar yang banyak tersebar di pinggir pantai.
“Inikah yang membuatmu betah di sini, Flo?” Hamish masih menatap kagum ke arah langit.
“Hampir setiap pagi menyempatkan diri ke tempat ini. Aku selalu bersemangat setelah menyaksikan ciptaan Allah yang satu ini. Energi shalat Subuh dan sunrise adalah perpaduan yang sempurna.”
“Manusia itu memang harus seperti matahari, Flo. Tenggelam di satu tempat untuk terbit di tempat yang lain. Menjadi cahaya dan sumber kehidupan di mana pun dia berada.”
Aku hanya diam mendengar Hamish. Keberadaanku di sini untuk sembunyi dan belum banyak memberi arti seperti cahaya matahari.
“Apa kamu bertemu William di pantai ini juga?” tanya Hamish setelah matahari naik sempurna.
“Ya. Di sana!” Aku menunjuk pantai tempat aku bertemu Will. Tak jauh dari tempat kami berada sekarang. “Aku bertemu saat Will syuting di tempat ini untuk film terbarunya.”
“Will sepertinya menyukaimu. Media bahkan mengira kalian punya hubungan spesial.” Suara Hamish terdengar melemah. Matanya lurus memandang lautan.
“Mas lihat berita gosip di televisi?” Aku tersenyum geli menangkap cemburu dalam nada bicaranya. Kulingkari lengan kanan Hamish dengan kedua tanganku.
“Semua berita tentangmu sejak dulu selalu kuikuti.” Hamish menoleh. Mencolek hidungku dengan telunjuknya.
“Kalau begitu jangan lihat berita gosip lagi! Aku tak peduli lagi dengan berita di media. Kami berteman baik. Dia juga tahu aku sedang mengandung anakmu. Yang penting bukan Will menyukaiku atau tidak, tetapi siapa yang sesungguhnya kusukai.”
Aku berdiri untuk melihat air sejauh mata memandang. Diikuti Hamish yang kemudian berdiri menghalangi pemandangan di depanku.
“Siapa?” tanya Hamish pura-pura tidak mengerti. Bibirnya melengkung kecil.
“Biar nanti kubuat konfrensi pers-nya. Agar semua orang tahu siapa orangnya,” bisikku di telinganya. Hamish tergelak mendengar jawabanku.
Hari mulai terik. Kami berjalan bersisian menyusuri bibir pantai. Tampak beberapa perahu merapat di dermaga menyimpan jangkar. Para nelayan kembali dengan hasil melautnya untuk dijual kepada para pengepul.
Kami menepi di sebuah kedai. Memesan dua buah kelapa muda dan nasi goreng. Perutku mulai tidak bisa diajak kompromi. Lebih cepat lapar dari biasanya.
“Apa rencanamu selanjutnya, Flo? Mau tetap hidup di sini atau pindah ke rumah kita lagi di Jakarta?” tanya Hamish setelah menyeruput air kelapa membasahi kerongkongannya.
Aku terdiam sejenak. Belum ada rencana apa pun di kepalaku. Kedatangan Hamish membuatku harus berpikir ulang tentang keinginan menetap di kampung ini.
“Aku ingin pulang dulu menemui Ibu. Setelah itu terserah padamu, Mas. Aku akan ikut ke mana saja yang kamu inginkan.”
Tentu saja aku tak bisa tinggal lagi di tempat ini. Kami sudah berjanji tidak akan terpisah lagi. Kewajiban sebagai istri hanya bisa kupenuhi kalau aku tinggal bersama Hamish. Meskipun restu dari ibunya sampai saat ini masih menjadi ganjalan terbesar bagi hubungan kami. Aku juga belum tahu reaksi Ibu seandainya kuberitahu ayah Hamish adalah orang yang telah menyebabkan Ayah kehilangan nyawanya.
Saat kembali, Bi Nani mencegat langkahku. Berdiri dengan wajah penasaran di depan pagar rumahnya. Mungkin dia tak ingin kejadian dengan Will terulang lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Sebuah Nama (Lengkap)
Roman d'amourFlo dipertemukan kembali dengan Hamish pada saat karier keartisannya tengah terpuruk. Lelaki yang pernah menjadi teman SMA-nya itu sangat berbeda dengan yanga ia kenal dahulu. Namun, siapa sangka pertemuan itu justru membawanya kepada jalan baru yan...