0.1 Before Come

176 10 0
                                    

.

.

.

.

.

Deru mobil terdengar, memecah kesunyian jalanan malam. Kepala gadis berambut kepang itu bersandar di jendela mobil, menatap sendu tempat yang akan mereka tinggalkan.

Perempuan paruh baya yang duduk dibalik kemudi menghela napas lelah. Ia tahu putri semata wayang-nya pasti akan sulit beradaptasi dengan lingkungan baru lagi.

"Mama tahu sulit bagimu terus berada di lingkungan baru," dengan tersirat nada penyesalan ia memulai percakapan dengan putrinya.

Gadis itu menoleh, dengan mulut terkatup enggan menjawab sebab tak tahu harus mengatakan apa.

"Mama janji, ini akan jadi perpindahan kita yang terakhir."

"Ya, aku harap juga begitu," ucap gadis itu sembari menutup matanya. Kata terakhir bisa jadi hal paling menyenangkan sekaligus paling menakutkan bagi hampir semua orang, termasuk gadis itu.

Setelahnya tak ada yang berbicara diantara mereka, saling mengunci rapat mulut masing-masing. Sibuk sendiri dengan pemikiran yang bercabang.

Tidak ada yang tahu jika harapannya itu suatu hari akan berbanding terbalik dengan kenyataan.

*****

Sinar rembulan menemani perjalanan mereka selama hampir empat jam lebih. Berbelok satu persimpangan lagi dan akhirnya tibalah mereka di tempat tujuan.

Sebuah rumah sederhana dengan pagar kayu dan bebungaan di sepanjang tepi tapak menuju pintu rumahnya. Dengan latar belakang pepohonan yang cukup rindang, rumah ini terasa sangat familiar di mata gadis itu.

Ayo Masuk, ajak ibu gadis itu, memutar kenop pintu dan melangkah masuk lebih dulu ke dalam rumah.

Ruangan di depannya terlihat cukup luas dan rapi, ada beberapa pintu saling berhadapan,

"Dimana kamarku?" tanya gadis itu pada ibunya.

"Yang itu, istirahatlah," ucap ibunya sambil menunjuk salah satu pintu sementara dia membereskan barang yang ia bawa.

Saat memasuki ruangan yang akan menjadi kamarnya, rasa nyaman adalah hal pertama yang ia rasakan seolah sudah pernah kemari. Kasurnya menghadap ke arah jendela dan ia menyukai itu. Tidak butuh waktu lama, ia langsung terlelap karena kelelahan.

Nama gadis itu adalah Rasya.

Seseorang kadang membutuhkan waktu yang lama untuk menyembuhkan luka masa lalu, begitu juga yang kini Rasya rasakan. Tapi tentu saja semua itu tidak mudah, akan ada banyak hal yang ia lalui hingga hatinya siap menerima kenyataan.

Rasya mematut penampilannya di depan cermin dengan perasaan senang. Setelah sarapan ia akan pergi ke sekolah barunya, dan ia tidak sabar untuk itu.

"Ini adalah sekolah barumu, mama sudah mengurus perpindahannya. Enjoy you first day!"

Rasya mengangguk, mencium punggung tangan mamanya lalu turun dari mobil. Ini adalah hari pertama ia melihat sekolah barunya. Ada gerbang kokoh yang menjulang tinggi dan juga lapangan yang sangat luas.

Melangkah mendekati gerbang, ia bertanya pada salah satu penjaga yang ada,

"Permisi Pak."

"Siapa, Dek?" Satpam itu bertanya sambil memperhatikan Rasya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Oh, saya murid baru. Kalau boleh tahu kantor ada di sebelah mana ya?" jawab Rasya.

"Dari sini lurus saja terus lalu belok kiri, gedung yang kedua."

"Terima kasih Pak."

Rasya bergegas menuju arah yang disebutkan penjaga sekolah tadi, karena jarak yang lumayan jauh, kakinya mulai terasa pegal.

Ada beberapa bangunan betingkat dua, sepertinya ruang kelas. Barulah setelah berbelok, ia dapat melihat gedung kantor SMA-nya.

Berjalan beberapa langkah lagi dan kemudian Rasya berhenti. Ia berjongkok dan membenarkan tali sepatunya yang lepas. Setelah selesai, ia nyaris saja terjatuh karena kaget melihat seorang siswi yang berada di balkon gedung tak jauh dari tempatnya berdiri.

Astaga, apa yang akan dia lakukan disana dengan tali itu? tanyanya sambil berlari mendekat.

Gadis di seberang sana memasukan kepalanya pada lingkar tali yang sudah ia ikatkan pada pagar besi di depannya.

Dengan sedikit gemetar gadis itu seperti akan lompat dari tempatnya berdiri. Jangan lakukan itu! Turunlah kumohon, Rasya tiba di bawah balkon itu, memandang penuh arti pada gadis itu.

Namun semuanya sudah terlambat, kehadiran Rasya di sana hanya akan menimbulkan masalah baginya. Sempat menoleh padanya, gadis itu tersenyum singkat.

*******

Bercak merah itu mengenai mukanya kontras sekali dengan pipinya yang putih. Rasya mundur beberapa langkah, kakinya seketika lemas diiringi teriakan nyaring tubuhnya jatuh terduduk.

Kejadian itu cepat sekali, Orang-orang yang mendengar teriakannya melihat dari balik jendela, beberapa bergegas turun menghampiri karena penasaran.

"Ada apa?"

"Apa yang terjadi?"

"Siapa dia?"

Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan berseruan, tak butuh waktu lama untuk menjadi pusat perhatian bagi siswa-siswi yang berdiri mengelilinginya.

Tubuh Rasya bergetar, keringat dingin mulai membanjiri dirinya. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak menutup mata namun, perlahan semua yang ada di hadapannya mengabur bersama kesadarannya yang juga ikut menghilang.

******

Plafon putih adalah hal yang pertama kali Rasya lihat setelah ia sadar. Bau obat-obatan menyeruak memenuhi indra penciumannya, dimana aku? Batinnya.

"Kamu sudah sadar?"

Rasya menoleh, menatap bingung satu persatu orang di ruangan itu.

Ada satu laki laki seusianya, laki laki paruh baya yang tampak seperti seorang guru dan dua orang yang terlihat seperti polisi.

"Kami dari kepolisian ingin bertanya tentang kejadian tadi pagi."

Rasya berusaha mengingat apa yang mereka tanyakan. Darah. Rasya ingat ada darah dimana-mana banyak sekali dan itu membuatnya sangat ketakutan.

Napas Rasya kembali tak beraturan, kepalanya kembali pusing dan ia mulai berguman tak jelas sembari menutup matanya.

Tenang dulu, oke, ucap seseorang sebelum memanggil salah satu perawat yang ada.

Setelah diberikan obat penenang, Rasya dibiarkan kembali beristirahat. Dokter yang memeriksanya tadi mengatakan pada orang yang berada dalam ruangan untuk tidak membebani pikiran pasien karena sedang berada dalam kondisi yang tidak stabil.

Rasya dijemput mamanya untuk pulang, hari pertama yang buruk. Tidak ada kesan apapun dan Rasya sedikit kesal mengenai itu.

Tengah malam ketika setiap orang tengah larut dalam mimpi masing masing, Rasya masih terjaga.

Tak bisa sekali pun memejamkan mata, karena ketika ia mencoba untuk tidur kejadian tadi pagi masih terus terbayang.

Seorang gadis mengikat lehernya lalu lompat dari balkon lantai dua, lebih dari dua meter tingginya lalu tak lama tubuhnya jatuh dengan darah yang menggenang, banyak sekali hingga membuat siapa pun setidaknya kaget dan histeris ketika pertama kali melihatnya.

Menjadi satu satunya orang yang berada di tempat ketika kejadian, membuatnya mau tak mau harus dijadikan tersangka juga saksi untuk dimintai penjelasan.

Rasya meraih kapsul di nakas sebelahnya.
Meminumnya cepat dan berusaha memejamkan matanya walau bayangan itu terus muncul.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.







Next.

The horror schoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang