Bingkai Teratai

209 18 30
                                    

Malam minggu, pemuda itu berjalan menunduk sepulang dari petualangannya di dunia malam Neo Jakarta. Tetap asik dengan ponsel pintarnya sembari sesekali menghisap rokok di ujung bibir. Ia hiraukan lolongan anjing yang terdengar bersahutan dengan menyumpal kedua telinganya dengan earphone. Dia susuri gang-gang sempit yang biasa ia lalui sebagai jalan pintas menuju rumahnya di pemukiman kelas bawah itu.

Badannya tinggi dan tegap, mengenakan busana neo punk. Kepalanya acap kali mengangguk-angguk mengikuti alunan musik cadas yang sayup terdengar dari earphone kala ia berjalan, sedikit berjingkat ketika melewati kubangan kecil sisa air hujan asam akibat selokan yang mampat.

Langkahnya terhenti di persimpangan gang ketika ia sayup mendengar suara erangan yang tertahan di tenggorokan. Ia menoleh ke ujung lorong sempit dan gelap di sebelah kiri.

Ia lepas earphone dari telinganya, mencoba tuk memastikan suara itu. Firasatnya mengatakan untuk tidak memperdulikan itu semua dan menghindari masalah. Tetapi, suara erangan itu semakin keras terdengar olehnya, sontak ia segera bergegas menghampiri sumber suara.

Dan firasatnya benar, seorang perempuan muda sudah dibekap oleh dua berandalan dengan penutup wajah. Satu menahan tangan dan mulutnya, dan yang satunya merogoh isi tas jinjing perempuan itu.

Tak ada ketakutan yang terpancar dari perempuan itu, sekuat tenaga ia meronta untuk meloloskan diri. Namun, tetap saja tangan ramping dan jemari lentiknya bukanlah tandingan berandalan bertubuh gempal itu.

Pemuda itu perlahan mendekati mereka, untuk melihat lebih jelas siapa yang menjadi mangsa para berandalan itu.

"Lu jangan ganggu! Ini mangsa punya kita!" sergah satu berandalan dengan mengacungkan sebilah pisau.

Pemuda itu tetap tenang, "Gue cuma mau lewat," balas si Pemuda dengan tatapan tajam.

Berandalan yang menghadangnya, langsung memberikan jalan ketika ia sadar sedang berhadapan dengan siapa. Pemuda itu bernapas lega setelah mengetahui perempuan itu bukanlah orang yang dia kenal.

Walau hanya melihat sekilas, dari busana semi formal yang perempuan itu kenakan, tatanan rambut yang rapih, serta aroma manis dari tubuhnya, dia bisa menyimpulkan bahwa perempuan itu berasal dari kalangan atas.

"Ya, sepertinya tidak masalah kehilangan beberapa juta buat dia," gumam si Pemuda memalingkan badan, menghiraukan mereka bertiga.

Perempuan itu tak percaya dengan yang ia lihat, ia semakin meronta untuk melepas diri. Tapi si pemuda tetap acuh dan berpaling, namun langkahnya terhenti ketika mendengar isak tangis dari perempuan.

Sejenak ia menghela nafas, berurusan dengan berandalan keroco demi orang yang tak dikenalnya sama sekali bukan gayanya. Angka kriminalitas tinggi di area pemukiman kelas bawah, hanyalah keseharian normal baginya.

"Oh iya, aku peringatkan, kalian bisa ambil uangnya dan pergi, jangan berbuat hal bodoh atau aku akan berubah pikiran."

Setelah mengatakan itu, si Pemuda melanjutkan langkahnya dan menghilang di kegelapan. Dua berandalan itu bernafas lega dan segera menguras semua isi tas jinjing milik si perempuan.

Akan tetapi, kemolekan tubuh perempuan muda itu tak ayal menjebol benteng birahi berandalan bertubuh gempal yang membekapnya.

Berandalan itu langsung menggerayangi buah dada perempuan itu.

Seringai penuh nafsu di wajahnya, membuat si perempuan semakin meronta dan berteriak sekuat tenaga hingga ia merasakan perih di tenggorokan.

Teriakannya terhenti ketika ujung pisau yang dingin menempel di mulutnya, berandalan yang tadi mematuhi peringatan si pemuda ikut kehilangan pikiran dan bermaksud untuk menyobek rok span pendek yang perempuan itu kenakan dengan pisaunya.

Pemuda itu hanya bergeleng kepala mengetahui tindakan dua berandalan itu. Tubuh pemuda itu lekas berubah menjadi kabut hitam dan terbang cepat ke arah mereka. Dalam sekejap tubuhnya sudah membelakangi dua berandalan itu dengan aura yang menakutkan.

"Gue udah ingetin lu berdua kan?" ucapnya dengan suara yang membuat bulu kuduk berdiri.

Dua berandalan itu langsung sadarkan diri dan menoleh kebelakang, mereka seperti melihat monster besar yang siap menerkam mereka. Kemampuan ilusi pemuda itu berhasil mengusir mereka berdua. Lari tunggang langgang, terkencing-kencing.

"Terima kasih, tapi kenapa tidak sedari awal!" gerutu perempuan itu.

"Setiap tindakan itu beralasan, ada sebab dan akibat, lima menit yang lalu matamu berbendar di dalam gelap seperti hewan buas, tapi tadi kau mengerang seperti rusa yang diterkam pemburunya."

Pemuda itu mengulurkan tangan, untuk membantunya berdiri, tetapi perempuan itu menolak dengan halus.

"Siapa namamu?" tanya si Perempuan ke si Pemuda.

"Daniel."

"Aku tidak menanyakan raga yang kau namai itu, tapi Nama Jiwamu."

"Bukankah tidak sopan menanyakan Nama Jiwa seseorang tanpa memberi tahu milikmu terlebih dulu?"

"Baiklah, kadang aku dipanggil dengan Janaki, kadang juga menjadi Waidehi, tapi aku tetaplah bernama ... Sinta."

Pemuda itu mengorek kupingnya beberapa kali, ia tak salah dengar, perempuan itu baru saja mengatakan bahwa Nama Jiwanya adalah, Sinta. Tembok angkuh benteng yang membelenggu hatinya, runtuh begitu saja ketika mendengar namanya, Sinta.

Dengan hati yang masih meraba-raba keberadaan jiwanya ia menjawab, "Aku Rahvana, petapa tua itu memberi tahu Nama Jiwaku adalah, Rahvana."

Perempuan itu terdiam, endapan lara yang telah lama ia pendam perlahan mengalir seperti tersapu gelombang lembut ketika mendengar nama itu.

Tak ada kata di antara mereka ketika saling menatap jendela jiwa masing-masing.

"Wahai Tuhan semesta alam, untuk sekali ini saja, kami mohon izinkan jiwa kami untuk bersatu. Restui untuk sekali waktu, sebelum engkau membinasakan seluruh bentuk kehidupan."

Mungkin itu yang mata mereka ucapkan ketika saling bertatapan mata. Di bawah bintang-bintang malam yang saban hari kian redup seperti menanti ajal mereka dan kemudian hilang.

NadDaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang