01 | 一

4.6K 606 97
                                    

Mengaduk bosan sedotan yang ada dalam gelas minumannya, iris (eye color)nya mengamati keadaan cafe yang terlihat ramai saat akhir pekan. Beberapa buku menghiasi mejanya dan laptop yang masih menyala menandakan bahwa dia memiliki tugas yang harus di selesaikan. Tidak ada seorang pun yang mendekatinya.

(Name) melirik ke arah kumpulan orang-orang yang satu jurusan dengan mata kuliahnya. Mereka berdiskusi tanpa ada kesulitan, saling bekerja sama dan yang membuat iri (Name) adalah bagaimana mereka bisa saling bercerita dan bersenang-senang.

Sedangkan dirinya, di sini sendirian. Tanpa ada teman di sampingnya. (Name) bukan orang yang dingin atau tidak mau bersosialisasi. Hanya saja, dia selalu terlihat gugup dan mengatakan hal yang tidak perlu di depan orang. Membuat, mereka yang mencoba mendekati (Name) malah merasa terganggu. (Name) hanya punya satu-satunya teman yang sayangnya mereka berpisah karena mereka berbeda universitas.

Menghela nafas kasar, (Name) segera membereskan buku-bukunya dan mematikan laptopnya dan memasukkanya ke dalam tas. Pergi dari tempat dia duduk dan berjalan ke kasir untuk membayar minuman dan makanan yang dia pesan tadi.

Sebelum kakinya menapaki luar ruangan, telinganya menangkap bisikan yang ditujukan kepadanya.

"Lihat, dia selalu sendirian. Kasihan sekali."

"Apa yang harus dikasihani? Dia bahkan tidak bisa berdiri lama di kelas karena rasa gugupnya."

"Aku merasa iba dengan kelompoknya minggu lalu, mereka satu kelompok dengan Sawamura 'kan?"

(Name) menggigit bibir bawahnya untuk tidak berteriak pada mereka agar berhenti mengatakan hal memalukan tentang dirinya.

Kuatkan dirimu, (Name). Sekarang pulang dan tidur.

Namun, tubuhnya berkata lain dan berjalan mendekati grup yang masih membicarakannya. Mereka berhenti bicara setelah melihat (Name) yang sudah berdiri dekat dengan meja mereka. Saat (Name) mengangkat kepalanya, rasa gugup dan takut itu langsung merayap ke seluruh badannya. Pegangannya pada tasnya mengerat hingga jarinya memutih.

"Ada yang bisa kami bantu, Sawamura-san?" tanya salah satu perempuan di sana.

(Name) menggelengkan kepalanya kaku dan segera berbalik sambil berlari.

"Dia pengecut."

"Aku mengerti kenapa tidak ada yang mau bersamanya."

(Name) berlari sambil menatap ke bawah. Kenapa dia bertindak seperti itu?! Bagus, besok akan ada beritanya yang sok berani di depan bintang kelasnya dan dia akan menjadi bahan tertawaan mereka lagi.

(Name) menghentikan larinya lalu berjongkok dan menutup kedua telinganya. Menjadi kebiasaan jika (Name) saat sedih. Berusaha menepis kejadian yang masih terulang di kepalanya itu, berpikir hal-hal menyenangkan yang sering dia lakukan. Setidaknya, dia masih punya keluarganya yang menyayanginya dan kakak lelakinya yang bisa dia jadikan bahu untuk bercerita.

(Name) mengeluarkan pekikan saat merasakan ada sesuatu pada kakinya. Membuka kedua matanya perlahan, dia melihat kucing berwarna abu-abu dengan bola mata hijau itu mengeong padanya.

Dengan ragu, (Name) mengusap kepalanya dan kucing itu mendengkur senang. Ujung bibir (Name) tertarik dan dia mengusap kembali kepalanya.

Suara ponsel (Name) yang keras itu membuat kucing yang dia elus itu kaget dan berlari menjauh dirinya. (Name) menatap kucing itu sedih karena dia masih ingin mengelusnya. Ingatkan (Name) untuk menurunkan volume nada dering ponselnya nanti.

Melihat nama kakak pertamanya di layar membuat (Name) merasa senang. Dia berdiri dan melanjutkan perjalanannya ke apartemen kecilnya sambil mengangkat telpon dari kakaknya.

𝐁𝐚𝐬𝐨𝐫𝐞𝐱𝐢𝐚 | K. TETSUROUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang