GAGASAN

965 55 0
                                    

GAGASAN

DIMAS menatap pantulan dirinya pada cermin toilet. Tangannya bergerak merapikan beberapa helai rambutnya yang sedikit berantakan. Selepas memastikan penampilannya sudah rapi, Dimas melangkah untuk keluar dari toilet.

Pagi itu langit cerah, berbanding terbalik dengan suasana hati Dimas. Ingatan Dimas kembali pada perbincangan antara dirinya dan Papanya lewat sambungan telepon semalam.

"Kamu, apa kamu nggak ngerti maksud dari ucapan Papa, Dimas?"

Dimas yang sudah lelah dengan aktivitasnya seharian itu harus dipaksa siap untuk mendengarkan ucapan Papa yang selalu berakhir dengan menyudutkan Dimas.

"Kalau Papa tanya, dijawab Dimas! Kamu nggak punya mulut?" Walau dari sambungan telepon, Dimas tahu bahwa Papa sedang membentaknya.

"Dimas ngerti, Pa. Dimas selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik. Apa Papa nggak menyadari itu?" Helaan napas kasar tanpa sadar keluar dari bibir Dimas.

"Melakukan yang terbaik kamu bilang? MELAKUKAN YANG TERBAIK APA, DIMAS? Dengan kamu nggak masuk lima besar paralel, apa itu yang kamu bilang usaha?"

Dimas kembali menarik napasnya dalam. Kepalanya serasa ingin pecah mendengar setiap ucapan yang terlontar dari bibir Papa.

"Dimas sudah mengerahkan seluruh tenaga Dimas, Pa. Kalau hasil yang Dimas peroleh belum sesuai dengan ekspektasi Papa, Dimas minta maaf." Sungguh, demi apapun, Dimas sedang tidak ingin bertengkar dengan Papanya.

"Maaf, Dimas? Apa gunanya maaf itu? Apa bisa mengembalikan semua biaya yang sudah kamu habiskan? BISA DIMAS, APAKAH BISA?" Teriak Papa Dimas meluap-luap.

Dimas menggertakkan gigi. Dimas memukul kepalanya keras. Kepalanya sudah sangat pusing sekarang.

"JAWAB DIMAS! KAMU PIKIR PAPA APA? PAPA SELALU BERUSAHA UNTUK GIAT BEKERJA. ENTAH DALAM KONDISI APAPUN, SELAGI BADAN PAPA KUAT, PAPA SELALU BERUSAHA MELAKUKAN YANG TERBAIK DALAM PEKERJAAN PAPA. MENURUTMU ITU UNTUK SIAPA, DIMAS?"

"Pa, maaf." Dimas sudah berusaha untuk menahan, namun pertahanannya runtuh sudah. Bulir air mata membasahi pipinya. Papa selalu menekan, tanpa tahu bahwa Dimas semakin tertekan.

"MAAF TERUS MAAF TERUS. BUKAN ITU YANG PAPA MAU DIMAS," teriak Papa Dimas.

"Dimas akan berusaha lebih baik lagi untuk ujian bulanan, bulan ini, Pa."

"BUKAN USAHA TAPI HARUS. KAMU MEMANG HARUS LEBIH BAIK LAGI. APA SIH SUSAHNYA MASUK KE TIGA BESAR? PAPA NGGAK MINTA KAMU MENJADI YANG NOMOR SATU KARENA PAPA TAHU MANUSIA-MANUSIA BODOH SEPERTI KAMU DAN ADIKMU ITU TIDAK AKAN PERNAH BISA MENJADI NOMOR SATU."

Dan kemudian, sambungan telepon langsung diputuskan Papa Dimas sepihak. Dimas sangat lelah. Menghadapi Papa dan Mama yang selalu menekan dirinya dan Kemal. Bagi Dimas, Papa dan Mama tak lebih dari dua orang yang membiayai hidup Dimas dan meminta imbalan dari dirinya.

Kemal tidak boleh tahu tentang hal itu. Biar saja Dimas yang menanggung semuanya. Karena memang itu salah Dimas sepenuhnya. Kesalahan terbesar Dimas di awal semester ini, tidak masuk lima besar paralel saat TKAS. Sementara Kemal adiknya, walau Kemal belum berhasil masuk ke tiga besar sesuai ekspektasi Papa, Kemal setidaknya masuk ke lima besar.

NISKALA - The Dark Side of Gardapati High SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang