-LIMA BELAS-

85 26 12
                                    

Tirta mengerjap beberapa kali, ia hampir lupa memberitahu Nata bahwa sekarang mereka bertetangga. Cowok itu menengok gadis di sebelahnya yang tengah melamun dengan tatapan mata tertuju pada tangan kanan. Ia sontak meletakkan telapak tangannya pada bahu Nata dan mendekatkan diri pada gadis itu.

Nata membulatkan mata sempurna. Jantungnya berdetak sangat cepat. Dari posisi yang sangat dekat dengan Tirta, ia bisa merasakan embusan napas cowok itu di daun telinganya. Wajahnya tiba-tiba memucat, kedua netranya bahkan masih melotot saking terkejut.

Melihat reaksi Nata, Tirta mengulum senyum agar tidak tertawa. Ia tidak ingin ekspresi itu berlangsung sementara. Menikmati raut terkejut serta wajah seolah-olah menahan napas itu sangat menghibur.

"Nat, gue punya kejutan buat lo," ungkap Tirta seraya menaik turunkan alis saat Nata menengok ke arahnya. Dari jarak wajah mereka yang hanya sejengkal, kontan membuat Nata menggeser tubuhnya.

"Kejutan apa'an?" Nata mengerjapkan mata berkali-kali, enggan menatap Tirta yang sedang menatapnya intens. Bukannya senang karena ditatap sedemikian rupa oleh pujaan hati, Nata malah mengumpat tanpa suara untuk cowok itu.

Untuk kesekian kali, Tirta mengulum senyum. Seru juga ngerjain si Nata, batinnya seraya menahan tawa agar tidak menyembur.

"Sekarang kita tetanggaan,"

"Gak mau!" Tanpa sadar Nata menyeru dengan kecepatan kilat. Nata melengos, tangannya meremas jari-jari yang semakin mendingin. Ia pikir Arsyad yang pindah rumah karena melihat keberadaan cowok itu di sini bersama empat orang lainnya beberapa hari lalu. Meskipun waktu itu ia hanya mampu melihat wajah Arsyad, sementara yang lain hanya sebatas punggung.

Ia terlalu terkejut hingga membuat bibirnya bergetar. Ia berucap tidak pun sama sekali di luar kendali. Sekarang, ia tak mampu melihat wajah cowok di sampingnya. Mungkin Tirta sakit hati akan perkataannya.

"Gak mau? Coba lo ulang sekali lagi," pinta Tirta, ingin memastikan apakah telinganya salah dengar atau malah berhalusinasi.

Nata meneguk saliva sarat. Ia pun memilih sedikit menggeser tubuh, takut Tirta mendengar ritme jantungnya yang begitu senang melakukan senam jantung jika berkaitan dengan Tirta, apalagi berada dalam jarak dekat seperti ini.

"Gue gak mau percaya," cetusnya.

"Gak masalah lo gak percaya sama gue. Pada kenyataannya kita bakalan tetap tetanggaan," lelah Tirta.

Tirta mendengkus kesal, lalu kembali menyandarkan punggung. Tak lupa salah satu kabel earphone-nya ia ambil karena Nata sudah melepasnya beberapa menit lalu. Hening kembali menyeruak di antara mereka. Tirta melirik Nata yang tengah memijat pelan tangan kanannya. Seketika alisnya mengernyit, ia selalu melihat ada yang tak beres dari diri Nata.

"Lo ... sakit?" Tanpa sadar Tirta melayangkan pertanyaan sehingga Nata berhenti dari aktivitasnya.

Nata tak menggubris walaupun ia dapat mendengar dengan jelas. Gadis itu sedang berjuang menggerakkan jemari tangan. Jari kelingkingnya pun sudah mulai menampakkan pergerakan kecil. Sepertinya ia harus mempertimbangkan perkataan dokter waktu itu.

Beruntung ia memiliki sedikit tabungan untuk melakukan konsultasi ke rumah sakit tanpa sepengetahuan keluarganya. Bahkan sang kakak yang mengantar ke klinik pun tidak tahu tentang apa yang diucapkan dokter, sebab saat itu kakaknya sedang menerima telepon di luar ruangan dan Nata memilih merahasiakannya dari siapa pun. Nata mengangguk samar, kalau sedang tidak sibuk ia akan ke rumah sakit sendiri.

"Nganggurin gue, hem?" bisik Tirta tepat di telinga Nata.

Gadis itu memejamkan mata sembari mengernyit tidak suka. Lama-lama jantungnya akan berpindah tempat ke perut jika terus seperti ini. Ia menggigit bibir tipisnya, menyalurkan kegugupan di sana.

"Yah ... gue gak tau harus gimana," kikuk Nata tanpa capek-capek melihat ke arah Tirta.

"Lo mau tahu alasan gue pindah ke sini?" Tirta menatap hampa ke ujung sepatunya. Sesekali terdengar helaan dari cowok itu. Sementara Nata cuma menatap Tirta dalam diam. Hingga cowok itu kembali bersuara.

"Nyokap selalu nangis tiap hari karena bokap. Kata nyokap, dia gak bisa hidup kayak gitu terus. Di rumah terlalu banyak kisah yang selalu  dirindukan, berandai-andai pun jadi hobi nyokap. Makanya kami mutusin pindah, eh tau-taunya di sebelah rumah lo," jelas Tirta. Senyum getirnya mengiringi kala berbicara.

"Awalnya gue kirain de javu, gue ngerasa kayak pernah ke sini, ternyata emang pernah. Gue baru inget pas liat adek lo lewatin gue gitu aja," lanjut Tirta dan diakhiri kekehan ringan.

Baru saja Nata ingin menanggapi penjelasan Tirta, ponsel cowok itu berdering kencang. Dilihatnya Tirta sempat merenung sebelum menggeser tombol hijau pada layar tipis itu. Wajahnya semakin tegas dan terlihat menahan emosi saat berbicara dengan seseorang di seberang sana.

"Gue ke sana sekarang," tutup Tirta begitu dingin sembari meninggalkan Nata sendirian di depan rumahnya.

Cowok itu sama sekali tidak melihat ke arahnya, melirik pun tidak. Bahkan ketika meninggalkan perumahan, Tirta hanya melewatinya seakan-akan tak ada Nata di sana. Nata memejamkan mata yang tiba-tiba terasa panas, air mata luruh tanpa diminta. Perasaan bahagia yang sempat ia rasa beberapa menit lalu kini lenyap tak bersisa.

Nata tahu siapa yang menelepon. Tirta sempat menyebut Sya dan jelas saja penggalan nama itu merujuk pada Disya. Nata mengusap lelehan cairan bening di pipinya, ia tidak akan menangis lagi untuk Tirta. Mungkin sahabatnya benar, tidak akan pernah ada dirinya di hati cowok itu sekalipun Disya memilih pergi. Buktinya, Tirta tetap mengucapkan sangat mencintai Disya.

Tangan kirinya mengepal kuat, menyalurkan rasa sesak. Kepalanya pun semakin menunduk dalam. "Gue rela lupain lo, Ta. Gue gak akan berharap apa pun lagi dari lo," lirihnya.

Tak berselang lama, sebuah motor berhenti di depannya. Nata mendongak dan terkejut saat melihat Arsyad tengah memandang iba. Tak ingin dikasihani, Nata lantas beranjak dari sana, tetapi langkahnya harus tertahan saat Arsyad meraih pergelangan tangannya. Nata tidak membalikkan badan, ia membiarkan posisi tersebut tetap seperti itu, enggan melihat wajah cowok di belakang sana.

"Sejak pertama gue lihat tatapan lo untuk Tirta, gue jadi tahu kenapa lo gak bisa nerima gue. Lo suka sama Tirta," simpul Arsyad. Pegangannya semakin erat di pergelangan tangan Nata.

Nata melepas cekalan tangan Arsyad dan menatap cowok itu dalam diam selama beberapa detik. "Gue mau pacaran sama lo. Gue mau, Sat," lirihnya sembari menunduk. Isakan lolos dari mulut gadis itu.

***
Nata berderap cepat menyusuri lorong rumah sakit. Ia memaksakan kakinya yang gemetaran mencari ruang rawat seperti perkataan kakaknya. Sebenarnya tenaga sudah habis terkuras emosi. Melihat Tirta menjemput Disya di sekretariat komunitas, membuatnya semakin sakit. Kenapa juga Disya harus berada satu komunitas dengannya.

Karena sibuk menyelami pikiran, Nata tersungkur di lorong kamar rawat. Nata menggerutu sambil terisak. Ia tidak peduli tanggapan orang-orang sekitar tentangnya.

"Ibu di mana, sih," kesalnya sembari mencari kontak sang kakak di ponsel. Susah hati ternyata mampu membuat segalanya jauh lebih sulit, seperti mencari kamar rawat sang ibu. Ia sudah mengikuti instruksi kakaknya saat di telepon tadi, tetapi tetap saja ia tak dapat menemukan ruang itu.

Nata mencoba bangkit, kali ini ia terjatuh bukan karena kebiasaannya yang aneh, melainkan itu terjadi karena tersandung kakinya sendiri. Ia pun kembali melangkah diselimuti perasaan tak karuan. Ia memilin ujung bajunya, sesekali meremasnya.

"Nata!" seru seseorang dari arah belakang. Ia pun berbalik dan melihat kehadiran adiknya masih mengenakan seragam sekolah. Nata berlari tertatih mendekati Awan dan merangkul cowok itu yang sudah melampaui tinggi badannya.

"Ibu kenapa?"

📘

The Fifteenth Day ODOC wH
.
.
Apakah Nata benar-benar menyerah?😆

Jurnal Biru ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang