0 1 | Uriel
ORANGTUA Uriel bercerai sejak dia kecil. Uriel tak terlalu paham alasannya. Padahal dia hampir tidak pernah melihat orangtuanya bertengkar. Namun saat beranjak dewasa, Uriel pun mulai paham kenapa mereka bercerai. Alasannya karena prioritas.
Ibunya, Clementine, adalah seorang Cakrawangsa. Nama keluarganya dikenal sebagai pemilik Grup Kandjaya, salah satu grup perusahaan besar se-Asia Tenggara. Ibunya menjabat sebagai pemimpin Kandjaya Sports Company. Sementara ayahnya, Jan Meijers, adalah atlet voli yang kini menjadi pelatih di Belanda. Keduanya bercerai karena sama-sama lebih memprioritaskan karier dan anak tanpa memerhatikan pernikahan mereka. Hak asuh anak jatuh ke tangan ibu. Selepas cerai, ayahnya kembali ke Belanda. Dan Uriel selalu menyempatkan diri bertemu ayahnya di sana beberapa kali dalam setahun.
Uriel tidak menggunakan marga ayah maupun ibunya. Nama 'Uriel Adi Nismara' berdiri sendiri. Orangtuanya sepakat untuk tidak membebani Uriel dengan nama keluarga mereka. Kakeknya marah oleh kesepakatan itu. Cakrawangsa adalah nama keluarga pemilik kerajaan bisnis hebat. Harusnya disematkan dan dibawa dengan bangga oleh keturunannya. Namun, ibunya selalu mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Dia tidak takut dengan amukan sang ayah. Dia melakukan sesuatu yang tak pernah dilakukan kakak-kakaknya. Dia memberikan sedikit kebebasan untuk anaknya sebelum anaknya beranjak dewasa. Keturunan Cakrawangsa yang lain belum tentu bisa seleluasa Uriel dalam memilih jalan hidup.
Sejak SD, Uriel tinggal bersama ibunya, beberapa ART, dan pengasuh. Dia anak tunggal dengan ibu yang cukup sibuk. Walau Uriel tahu bahwa sesibuk apa pun, ibunya selalu menyempatkan waktu untuknya. Namun untuk menghindarkan Uriel dari sepi, ibunya membuat Uriel mengikuti banyak kegiatan dalam beberapa komunitas. Dari berbagai komunitas, hanya satu komunitas yang setia Uriel ikuti: voli.
Permainan voli itu familier, mengingatkannya akan sang ayah. Uriel lebih dulu bermain voli ketimbang sepak bola. Dulu dia rajin bermain bersama ayahnya. Teman-teman seumurannya di komplek tak ada yang bermain voli. Semua bermain sepak bola, layangan, bentengan, atau kelereng. Namun ayahnya duluan mengenalkannya ke voli, dan dia jatuh cinta meski tak memiliki teman bermain selain sang ayah. Orangtuanya pun memasukkannya ke klub voli anak. Uriel menekuni hobi itu hingga tak lagi jadi sekadar hobi. Hobinya sekarang menjadi tujuan. Tak ada yang memaksanya untuk mengikuti jejak sang ayah. Uriel sendiri yang mau jadi atlet.
Voli-lah yang membuatnya paham kenapa orangtuanya bercerai. Prioritas. Ada saja hal yang membuat seorang manusia keranjingan mengerjakan kegiatan itu terus menerus. Bermain gim, bekerja, menonton drama, membuka media sosial, bergosip. Manusia bisa menyukai sesuatu sampai tergila-gila, sampai membuatnya rela mengesampingkan kegiatan lain demi bermain lebih lama. Ibunya mencintai pekerjaannya. Uriel mencintai volinya. Jika dihadapkan antara harus memilih pernikahan atau pekerjaan, Uriel mungkin akan mengambil keputusan yang sama dengan ibunya.
Uriel selalu kagum dengan sosok sang ibu. Ibunya sibuk, tapi perhatian kepadanya masih terasa. Tak absen bertanya kabar di tengah padatnya jadwal. Ibunya luarbiasa. Tangguh. Kuat. Tegas. Berwibawa. Mengepalai Kandjaya Sports Company. Selalu membimbing tanpa memaksakan pilihan. Sosok yang keputusannya selalu Uriel percayai. Termasuk pilihan untuk kandidat calon tunangan Uriel.
Terlepas dari usaha membebaskan Uriel dari beban sebagai Cakrawangsa, ibu Uriel tetap patuh perihal tradisi perjodohan keluarga. Namun, perjodohan Uriel bisa dilakukan dengan satu syarat: kandidatnya dipilih oleh Clementine sendiri, bukan dipilih oleh sang kakek atau anggota Cakrawangsa lainnya. Syarat itu terkabul. Namun bertahun-tahun lamanya, meski Uriel sering melihat ibunya bertemu dan merancang pertemuan demi pertemuan, menyeleksi tiap kandidat calon tunangannya, Uriel tak pernah tahu siapa calonnya.
Sampai hari ini tiba.
"Dia satu sekolah sama kamu," ujar ibunya. Hampir membuat Uriel berhenti menyendok nasi. "Seangkatan juga. Tapi kayaknya kalian selalu beda kelas."
Uriel mengerjap. Seangkatan? Berarti, calon tunangannya ini sudah tingkat tiga? Apa dia kenal dengan gadis itu? "Mami udah ketemu orangnya langsung?"
"Udah sering," ibunya menjawab sambil lalu. Kemudian, sudah. Pembicaraan ditutup. Ibunya tak lagi bercerita tentang calon tunangannya ketika makan.
Uriel menyelesaikan makan malamnya sampai bersih. Dari tadi, sebenarnya dia agak gatal untuk bertanya. Penasaran dengan calon tunangan yang akhirnya dipilih sang ibu. Seperti apa orangnya? Ibunya sudah mencari dan memilah sejak Uriel baru lulus SD. Itu sudah lima tahun lamanya. Kandidat macam apa yang akhirnya terpilih?
"Mi." Uriel memanggil setelah dia selesai cuci piring. Ibunya berbalik. "Apa aku harus segera ketemu dia?"
Ibunya mengangkat bahu. "Terserah kamu. Kalau kamu mau ketemu segera, ya temuin aja. Kalau mau ditunda, silakan tunda sampai kamu siap. Mami kan, nggak niat nikahin kamu setelah lulus SMA atau lulus kuliah. Waktu kamu masih panjang."
Ah, sial.
Bukannya dia tidak bersyukur memiliki orangtua yang pengertian, yang selalu menyerahkan keputusan akhir kepadanya. Dia bersyukur sekali, sungguh. Tapi, dia lebih suka mendapat perintah langsung daripada terombang-ambing seperti ini.
"Mami maunya gimana?" Uriel bertanya balik. "Mami mau aku cepetan kenalan sama dia, atau tunda aja?"
"Mami maunya kamu ambil keputusan sendiri." Sang ibu tersenyum miring. "Ya ... kalau kamu penasaran sama anaknya kan, tinggal temuin aja. Toh, lusa itu tahun ajaran baru."
Uriel terdiam. Sekarang dia paham. Ibunya sedang mengetes rasa penasarannya. Rasa penasaran adalah awal yang tepat untuk memulai pendekatan. Ibunya mau dia mendekati calon tunangannya atas keinginannya sendiri, bukan karena disuruh. Jadi takkan ada alasan 'dipaksa ibu' ketika dia nanti berkenalan dengan calonnya.
Uriel mengambil napas. Dia sudah di tingkat akhir. Akan disibukkan dengan latihan voli, kejuaraan nasional, ujian, dan persiapan kuliah. Agaknya dia memiliki lebih sedikit ruang untuk romansa.
Tapi, apa salahnya kalau cuma kenalan? pikir Uriel. Toh, ibunya takkan langsung menikahkannya hari itu juga. Uriel masih punya waktu dan ruang untuk diri sendiri.
"Mi," panggil Uriel. Ibunya sedang duduk di ruang tengah. "Nama dia siapa?"
Ibunya mengangkat alis. Dia menaruh remote TV, lalu membuka ponsel. Sesaat kemudian, dia berkata, "Udah Mami kirim biodatanya ke hape kamu."
Uriel mengangguk. Dia akan mempelajari profil calon tunangannya nanti. Ponselnya tergeletak di kamar. Dia hendak pergi ketika ibunya menahan dengan suara.
"Oh, ya, Riel." Sang ibu memandangnya. Seulas senyum muncul, terlihat jenaka. "Namanya Wisteria. Semoga kalian cocok."
[ ].
10.07.2020. 0,9k
A/N
Nama Uriel di sini dibaca U-ri-yel, ya. Bukan Yu-ril.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehijau Limau
Roman pour AdolescentsUriel Adi Nismara sudah tahu dia akan dijodohkan. Ibunya telah mengingatkannya sejak dia masuk SD. Pertunangan dari kecil adalah tradisi keluarga Cakrawangsa. Dan Uriel menyetujui karena ibunya tak memaksa, berkata bahwa Uriel boleh menolak dan meng...