Cadasari tentu merasa geram atas hal yang terjadi. Kamajaya beserta orang-orang di belakangnya telah berhasil ditumpas. Itu berarti pemberontakan yang telah susah payah disusun sirna seketika. Ketika pertemuan agung itu diselenggarakan, Cadasari turut serta. Mencermati sosok pemuda yang menyelidiki pemberontakan bersama Durmaya. Pemuda itu bernama Pradipta. Cadasari yakin, pemuda itu bukan pemuda sembarangan. Dari segi tubuh, Cadasari mampu memastikan jika pemuda itu adalah seorang pendekar kelana yang telah berpengalaman. Ia dulu juga seorang pendekar.
Setelah Adipati Anggabaya memakaikan ikat kepalanya, Pradipta menghaturkan sembah. Pada sang adipati lalu dirinya. Cadasari merasakan hal berbeda dalam diri pemuda itu. Lewat sorot matanya yang tegas, Cadasari merasakan aura yang begitu mendominasi hingga tak sanggup bertemu pandang dengan Pradipta.
"Pemuda itu... ada ancaman yang harus kuwaspadai!"
Cadasari lalu melangkah keluar dari kaputren. Menuju bangunan kedaton. Tanpa sengaja berpapasan dengan Pinisepuh Naryama.
"Haduh! Haduh! Sepertinya... ada yang merasa sangat kecewa di sini," kata sang pinisepuh.
Cadasari pun berhenti melangkah. Menatap tajam pada pria berambut putih itu. "Maksudmu?" Sejak kadipaten kedatangan Puspa Resmi, perselisihan antara Cadasari dan Pinisepuh Naryama sudah tak mampu dibendung lagi.
"Kau tersinggung?"
"Kau terlalu tua untuk bermain kata atau candaan, Pinisepuh!" tandasnya langsung.
"Benar. Aku memang sudah terlalu tua, tapi mataku ini masih awas! Aku pasti mengetahui hal yang tidak orang lain ketahui. Bahkan isi hatimu saat ini, aku tahu...! Kau berhasrat akan tahta dan akan melakukan segala macam cara untuk mendapatkannya! Selagi aku masih berada di sini, jangan harap hal itu bisa terjadi!" Sambil tersenyum tipis, sang pinisepuh melangkah dengan tenang. Meninggalkan Cadasari dengan berlaksa tanda tanya besar.
"Dia... memang ancaman!" Cadasari tak jadi menuju kedaton. Memilih kembali ke kaputren. Membisiki sesuatu pada Widati dengan pelan. Widati menjura sebentar dan melangkah menjauh dari keputren. Cadasari lalu masuk ke kamarnya. Membuka jendela dengan lebar. Tak lama sekelebat bayangan masuk lewat jendela itu. Mendatangi Cadasari yang duduk di sisi ranjang.
"Pinisepuh Naryama. Pria tua itu pasti tahu rahasia kita! Apa saja yang sudah dia katakan pada Kanda Adipati?"
Pemuda berpakaian tumenggung itu menjura. "Dia tidak mengatakan apapun, Gusti. Tapi, belakangan ini, saya sering melihatnya sering berbincang dengan Gusti Patih. Beberapa hari sebelum penumpasan itu dilakukan!"
"Kita lengah dengan keberadaannya. Pinisepuh tua itu punya telik sandi!"
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Gusti?" tanya pemuda itu.
"Arlingga, tumenggung baru itu... entah kenapa aku merasa ada hal yang lain dalam dirinya. Selidiki dia! Dan kita perlu membungkam mulut si tua itu sebelum membeberkan segalanya! Pergilah!" titah Cadasari. Arlingga mengangguk lalu melesat pergi.
Sang permaisuri tidak yakin jika Pinisepuh Naryama mengatakan kebusukannya secara langsung. Lebih memilih bicara berbelit dengan penuh kata-kata bermakna. Bisa jadi Patih Dwikala mengerti. Kesabaran Cadasari terhadap pria sepuh itu sudah lewat batas. Hatinya selalu sakit mendengar ucapan sindiran yang selalu dilontarkan untuknya. Apalagi ketika sadar jika sang pinisepuh begitu condong pada Puspa Resmi. Ucapannya selalu diangguki oleh Adipati Anggabaya. Dan mungkin, Pinisepuh Naryama akan mengusulkan putra Puspa Resmi-lah yang akan menggantikan kedudukan sang adipati. Cadasari pernah mendengar pria tua itu menyinggung hal ini dan berlanjut menjelek-jelekkannya.
Tidak salah kalau akhirnya Cadasari memilih jalan kotor agar Antakesuma bisa duduk di atas tahta. Dengan mengajak Kamajaya turut serta. Jika tahta berhasil digulingkan, Kamajaya akan menggantikan posisi sang adipati. Dan ketika usia Antakesuma tujuh belas tahun, maka tahta itu harus kembali pada Antakesuma. Begitu kesepakatan mereka. Dan semuanya hancur dalam sekali waktu. Akibat turut sertanya pendekar muda itu. Pradipta harus diwaspadai. Cadasari harus menyingkirkan setiap orang yang hendak menghalangi tujuannya. Yang paling utama adalah Puspa Resmi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Berdarah
Historische Romane...Tak lama terdengar suara seraknya menyanyikan tembang macapat Pangkur. Mangkono ilmu kang nyata... Sanyatane mung we reseping ati... Bungah ingaran cubluk... Sukeng tyas yen den ina... Nora kaya si punggung amung gumunggung... Ugungan sadina dina...