Tidak Sendiri

53 10 5
                                    

"Setidaknya aku masih memiliki teman, meski tidak terlihat atau pun benda mati."

-Ayunda Shabilla

Dalam sujudnya, Ayu berharap semua akan kembali seperti sediakala, berharap semesta segera mengembalikan senyumnya yang saat ini sedang hilang. Terus berdoa agar semua segera kembali ke keadaan yang baik.

"Tempatkan mama di surga Ya Allah, ampuni segala dosanya, terimalah semua amalnya. Dan sadarkan papa, kembalikan kebahagiaan keluargaku, berilah kekuatan dan petunjuk-Mu," doa Ayu dengan air mata yang berhasil jatuh membasahi pipinya.

Setidaknya dengan berserah diri lebih membuat Ayu lega, karena Ayu sadar dia tidak sendiri, masih ada yang bisa membuatnya tenang kembali.

"Laper," ucap Ayu seraya mengelus perutnya yang sudah berbunyi. Sejak kemarin malam perutnya belum sempat diisi. Waktunya habis karena melamun, walau tidak lama. Sebenarnya, kejadian kemarin malam yang membuatnya takut untuk keluar dari kamar, hingga Ayu tidak sempat makan.

Sedangkan di bawah, Panji sedang bersiap untuk pergi, sepertinya pergi kerja. Ayu harus menunggu papanya pergi dari rumah, kemudian Ayu akan keluar dari kamarnya. Karena Ayu tahu, bila dia menampakkan batang hidungnya, kemarahan laki-laki itu pasti kembali meradang.

Setelah papanya keluar dari rumahnya, Ayu segera menuju dapur rumahnya. Sebelum ke dapur, dia memastikan mobil hitam yang baru saja pergi sudah jauh berjalan.

"Akhirnya, lega gue," ucapnya dengan mengelus dadanya.

Ayu segera ke dapur dan membuka lemari pendingin. Ada beberapa roti dan camilan. Tidak tanggung-tanggung, hampir semua isi lemari pendingin itu dibawa ke kamarnya.

"Sisain gak ya? Paling papa makan diluar." Gumamnya.

Akhirnya isi lemari pendingin itu hanya tersisa satu bungkus roti dan ada beberapa kaleng makanan siap saji. Semua makanan dibawanya ke atas untuk persediaan beberapa jam ke depan, karena bukan hanya hati yang butuh ketentraman, cacing di perutnya juga butuh asupan.

Ayu memakan semua makanannya dengan sangat lahap, seperti satu minggu tidak makan. Menangis membuat tenaganya terkuras habis.

Kembali menatap cermin di kamar mandinya. Ayu ingin melihat luka terbaru yang baru saja tercipta kemarin malam. Masih terlihat merah meski tidak terlalu parah.

"Astaga Pa... Hobi banget nyakitin anak cantik," gumamnya dengan tertawa kecil.

"Tangannya aja masih melepuh, sekrang muka malah ada cap lima jari."

Lagi-lagi Ayu bercanda di depan cerminnya. Kenyataannya di rumahnya masih ada benda yang memberi kebahagiaan. Cermin. Benda yang sangat pengertian.

"Jangan tinggalin gue ya min, love you deh min cermin."

"Gue punya nama buat lo, nama lo sekarang Cermin ya," ucapnya dengan tertawa lepas.

"Gue gila ya Min? Bodoamat lah, banyak tekanan batin soalnya."

Ayu meninggalkan cermin kamar mandinya. Ia memutuskan untuk menyusuri setiap ruangan di rumahnya. Ayu sangat merindukan suasana kala itu. Berkumpul di depan TV untuk menyaksikan film atau pun sekedar minum teh bersama.

Dapur. Setiap Ayu libur sekolah, di meja hitam itu banyak sekali bahan makanan. Sering sekali hari libur dihabiskan di dapur bersama Ratna, mamanya. Dari memasak makanan untuk sarapan sampai membuat camilan atau pun kue. Ratna sangat pandai memasak. Keahlian itu turun kepada Ayu, anak semata wayangnya.

"Mama, udah jadi adonannya,"

"Belum itu sayang, itu kurang ngembang."

"Ah masa sih?"

"Mama! Pemanggangnya rusak!!!"

Senyum getir terlukis di wajah cantik Ayu ketika mengingat kejadian itu. Memasak bersama Ratna untuk terakhir kalinya. Ingatan Ayu terbawa kembali dengan kejadian memilukan itu. Setelah keluar dari toko elektronik, penglihatan Ayu menjadi abu-abu, melihat mamanya terseret mobil. Telinganya berdengung. Tangisan kembali pecah.

"Mama, Ayu minta maaf Ma..." Ayu menjatuhkan tubuhnya di depan alat panggangan itu, air mata terus berjatuhan, hatinya teriris pilu.

Ayu tidak kuat berlama-lama di dapur. Ingatan tentang kejadian itu selalu menghantuinya. Langkah kaki Ayu mulai meninggalkan tempat kesukaannya itu, dulu.

Ayu sangat terkejut, ketika melihat satu ruangan yang sangat mengerikan. Ada banyak foto Ayu tergantung di ruangan itu. Sepertinya hal yang tidak baik akan segera menimpa Ayu.

Ayu mencoba untuk tenang.

"Gue harus apa?" kata Ayu dengan mondar-mandir seakan mencari jalan keluar.

***

Ayu memutuskan untuk keluar rumah, sebentar. Berusaha seperti biasanya meskipun Ayu tidak berpenampilan seperti hari-hari sebelumnya. Ia keluar dengan menggunakan kardigan untuk menutupi luka bakar di tangannya. Rambutnya di biarkan terurai untuk menyamarkan luka di leher dan pipinya. Ayu tidak lupa menggunakan celana panjang, karena di kedua kakinya ada luka memar.

"Salep luka bakar ada?" tanya Ayu ketika masuk ke apotek.

"Ada," balasnya dengan mengambil obat yang Ayu pesan.

Usai membeli obat yang dibutuhkanmya, Ayu memutuskan untuk pergi ke minimarket depan apotek. Lagi-lagi dia membeli persediaan makanan, mengingat Ayu tidak bisa bergerak dengan leluasa di rumahnya. Keranjang belanja segera diambilnya. Roti, makanan ringan, susu, dan segala makanan yang siap saji langsung dimasukkan ke keranjang.

Ayu segera membayarnya. Ketika keluar dari minimarket, mata Ayu tertuju pada seorang laki-laki. Sepertinya laki-laki itu juga melihat Ayu. Laki-laki yang sedang menggunakan jas hitam dengan menenteng tas kerjanya.

Om Pandu...

Seketika senyum Ayu datang menghiasi wajah cantiknya.

"Om Pandu," Ayu berlari menuju laki-laki itu dan memeluknya.

"Ayu?" rasa penasaran terlukis di wajah Pandu.

"Loh, ngapain? Enggak sekolah? Kok main?" tanyanya kembali.

"Kangen Om, hehe, cuti dulu," jawabnya dengan tertawa.

Pandu, adik Panji, dia sangat sayang dengan keponakannya. Menurut Ayu, Pandu sudah seperti papanya, papanya yang dulu. Pelukan Pandu sangat nyaman, seperti pelukan Panji dulu.

"Gimana kabarnya?"

"Baik Om," untuk pertama kalinya Ayu berbohong dengan orang yang ada di sekitarannya.

Sedikit lama Ayu bercengkerama dengan Pandu. Ayu merasa keadaannya menjadi lebih baik. Dekat dengan orang yang menyayanginya membuat Ayu tenang. Pandu sangat berbeda dengan Panji sekarang. Bahkan untuk keluar dari rumah sempat Ayu pikiran. Ayu sangat ingin tinggal di rumah Pandu, namun, Ayu tidak ingin merepotkan orang lain.

Setelah Pandu beranjak meninggalkan Ayu untuk kembali ke tempat kerjanya, Ayu pergi ke bengkel.

"Permisi Mas, mau tanya, kalau pasang tralis bisa cepat?" ucapnya.

"Bisa kok Dek, kapan?" balas pekerja yang ada di bengkel.

Ayu langsung membawa pekerja bengkel itu ke rumahnya. Ayu memasang tralis di ujung tangga yang diapit tembok, samping rumahnya, dan membuat tangga untuk menuju balkon kamarnya. Semua itu semata-mata untuk melindungi dirinya bila suatu ketika kemarahan Panji meradang.

"Terima kasih ya Mas," ucapnya dengan mengulurkan tangannya untuk memberikan uang bayaran kepada pekerja bengkel tersebut.

Mulai sekarang, Ayu akan keluar masuk kamarnya melalui tangga yang baru dibuatnya. Setidaknya itu sudah sedikit membuat keadaannya tenang, karena akan ada penghalang kepada Panji untuk menyakitinya.

Deruman mobil masuk ke halaman rumahnya, mobil Panji sudah terparkir di depan rumah.

***

Segini dulu ya, semoga suka:)
Ada apa selanjutnya?

Jangan lopa vote ♡♡♡



Ayunda & AbianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang