Chapter 42. Dutch Defense (Part 1)

82 27 0
                                    


Isel banyak mendengar suara-suara semalam. Suara asing yang tidak pernah didengarnya hingga dia memutuskan untuk menganggapnya sebagai mimpi saja. Lagi pula badannya rasanya remuk sekali sekarang ini. Namun, suara-suara itu masih terdengar dan lebih keras sekarang. Mereka sepertinya sedang mendebatkan apakah mereka harus menolong seseorang atau tidak. Satu orang bersikukuh dengan pendiriannya sementara yang lain masih membantah dan terdengar tidak terima. Mungkin lebih terdengar sebagai suara karena tidak habis pikir dengan keputusan orang yang diajaknya bicara.

Ketika perdebatan mereka semakin sengit, Isel pelan-pelan membuka mata. Ketika itu, samar-samar dia bisa melihat dua orang tengah berdiri di dekatnya. Mereka sedang berbicara satu sama lain. Tidak lama setelahnya salah satu dari dua orang itu menoleh kepadanya. Seorang pria berambut hitam itu sekarang berjalan menuju ke arahnya.

"Dia sudah bangun, Yang Mulia!" seru orang itu.

"Benarkah, Benjamin?" tanya satu orang yang lain. Suaranya terdengar lebih berat dari pria berambut hitam yang sudah lebih dulu berjalan mendekat.

Isel mengerjap saat seorang pemuda berambut putih itu kini langsung berada di dekatnya. Mendadak satu ingatan mampir di dalam benaknya, dia adalah orang yang meminta pistolnya saat baku tembak di istana, juga orang yang sudah menolongnya. Lalu pria bernama Benjamin itu adalah orang yang menggendongnya keluar dari istana. Jadi bisa dikatakan kalau dua orang itu telah menyelamatkan nyawanya. Dia hanya harus berterima kasih lalu pergi dari tempat ini secepatnya. Isel mencoba untuk bangun, akan tetapi langsung mendesis dan mengernyit ketika rasa nyeri menyerang. Bahu dan kakinya benar-benar sakit sekarang. Ah, tidak, seluruh tubuhnya rasanya seperti remuk saat ini.

"Tiduran saja. Pelurunya sudah dikeluarkan tapi lukamu belum sembuh sepenuhnya," kata pemuda berambut putih.

"Tidak, kau harus menjelaskan semuanya dulu!" sela Benjamin.

Saat pemuda berambut putih itu mendesis, Benjamin langsung menunduk dan meminta maaf. Kalau melihat tingkahnya sepertinya pemuda bersurai salju itu lebih tinggi kedudukannya. Ah, dia juga dipanggil dengan sebutan 'Yang Mulia' dan mereka juga ada di istana saat penyergapan itu berlangsung. Dari nama panggilan ini maka setidaknya dia anggota keluarga kerajaan atau minimal bangsawan. Aih, mana mungkin.

"Kenapa saya bisa ada di sini?" tanya Isel akhirnya. Entah kenapa mendadak dia ingin berbicara sopan pada keduanya.

"Nah, berhubung kamu sudah mulai waras. Aku tanya dulu, kenapa kamu ada di istana semalam?" Benjamin langsung menyahut.

Isel memutar bola mata. Dia yang bertanya, kenapa jawabannya juga pertanyaan. Dia melirik pemuda bersurai putih itu dan menemukan kalau mata biru itu juga menatapnya lekat-lekat dengan tangan bersidekap di dada, sepertinya mengharapkan jawaban juga. Namun, Isel sendiri tidak bisa menjelaskan apa pun terkait misinya. Semua itu rahasia dan dia sendiri juga tidak tahu banyak.

"Saya tidak tahu," katanya.

"Kalau begitu bagaimana kalau begini?" Benjamin menjawab sambil menodongkan pistol langsung ke kening Isel.

Jantungnya nyaris mencelat saat melihat benda-benda itu lagi-lagi terarah padanya. Bola matanya mungkin bergetar sekarang saat dirinya sibuk meneguk ludah. Pistol lagi, yang benar saja. Memangnya orang-orang ini hidup di negara mana sampai begitu mudahnya menodongkan senjata api pada rakyat sipil.

"Tidak perlu sampai begini, Ben!" Pemuda itu mendorong pistol yang kini tengah terarah ke kepala Isel.

"Yang Mulia tahukan kalau situasi sekarang sedang genting kita harus membuatnya bicara secepat mungkin," keluh Ben tanpa menurunkan pistol dari tangannya.

One : En PassantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang