☆Bismillahirrahmanirrahim☆
Jika bukan saya yang harus perjuangkan mimpi saya, lalu siapa? Orang lain? Sebagian kecil dari mereka hanya kasihan. Bukan peduli, dan selebihnya hanya menuntut informasi.
Bertahan dengan kebodohan? Kejahiliahan? Hidup ini terlalu berharga! Di ujung gang kehidupan, telah Allah janjikan surga.
🍁🍁🍁🍁🍁
Bada ashar Nazma datang ke rumah dengan wajah kesal, kasihan, juga sedih. Dia kesal karena aku tak membalas pesannya yang berisi pertanyaan keadaanku.
"Ini sudah kuduga! Kau pasti sakit, makanya aku langsung ke rumahmu. Dan ternyata benar dugaanku!" gerutunya tanpa mengalihkan pandangan dari wajahku. Sorot matanya sedih, namun suaranya khas omelan ibu-ibu. Memekakkan telinga.
"Sudahlah, aku sudah sembuh," jawabku tak mau kalah.
"Memangnya kau sakit apa? Kok tiba-tiba? Atau kau tidak mau bertemu Ayla atau kak Alif ya?" tuduhnya dengan mata tajam yang menyipit. Seperti elang yang ingin menerkam mangsanya.
"Heeuuuuhh," lenguhku kasar, "gejalanya sih psikosomatis," sambungku datar.
"Oh psikosomatis," jawabnya tak kalah datar. "Eeehh ... apa? Psikosomatis? Bukannya penyakit yang disebabkan pikiran ya?" tanyanya dengan berteriak.
"Iya. Kamu pulang ya, ini sudah sore. Aku baik-baik saja kok," ratapku memohon.
"Aku akan pulang, dengan syarat besok kau tidak usah pergi ke kampus! Kalau kau masih tetap pergi, awas saja!" Suara Nazma sudah mirip ibu tiri, tandanya aku tidak boleh berkomentar lagi.
"Baik ibu Nazma! Sudah ya jangan ngomel lagi, kasihan Nazma Juniornya." Dia menganggukkan kepala dan mengelus perutnya yang masih kecil dengan sayang, dan berjalan menuju pintu.
Esok harinya, tidak ada yang berbeda. Dinding kamar yang bernuansa hitam putih, jerit tangis si kecil Latif. Hebohnya Yusuf dan Yusef membuat gelak tawa. Bang Ihsan yang selalu mengganggu yang berujung di pelototi bang Zaki. Umi yang perhatian, tak kalah perhatian dengan mbak Misha dan Mbak Aidia. Abi yang sibuk dengan tanggung jawabnya tanpa melupakan aku. Banyak makna dari rasa sakit yang menimpa. Nikmat tak terkira bisa merasakan kehangatan keluarga besar, bercanda tanpa menyudutkan. Keinginan waktu berhenti disini, di titik bahagia.
Umi masuk kamar tanpa mengetuk pintu, dan berkata. "Sa, dibawah ada yang mencarimu. Katanya sih dosenmu."
"Dosen mi?" tanyaku memastikan.
"Iya katanya. Tapi sepertinya umi pernah melihatnya, kamu bisa menemuinya ke bawah?" Sepertinya aku tahu siapa dosen itu. Siapa lagi kalau bukan dia?
Menapakkan kaki di keramik dengan dibantu umi. Benar saja apa yang kuduga. Dia pak Nan. Orang yang selalu ingin ku hindari, bukan karena apa. Aku tak suka perangainya yang membuat tak nyaman.
"Sabila? Kamu masih sakit ya?" desisnya dengan guratan khawatir.
"Sudah baikkan pak," jawabku singkat.
"Saya tahu kamu sakit dari Nazma tadi pagi di kelas. Ini ada sedikit rezeki dari saya." Dia menyodorkan parsel buah yang lengkap. Aku menerimanya dengan senyum dan mengucapkan terima kasih.
"Bukannya bapak hari ini harus mengajar ya?" tanyaku. Semoga saja dia cepat berpamitan.
"Ada. Tidak apa-apa, ngajar masih banyak waktu, ada yang lebih penting dari mengajar yaitu memastikan keadaanmu," desisnya tanpa malu. Diam, bukan karena terpana ucapannya. Keadaan tak nyaman, harus segera ku akhiri. Kesal, emosi. Harus lebih bersabar.
"Besok tidak usah masuk kampus dulu, kelihatannya kamu belum pulih seutuhnya. Besok saya akan menjengukmu lagi," ucapnya lagi. Membuat kelu, bisu, beku. Tak ada yang bisa diucapkan selain membatin beristighfar.
"Sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih. Tapi bapak tidak usah repot-repot menjenguk lagi besok. Saya akan lebih senang jika bapak mengajar saja," jawabku dengan seulas senyum terpaksa.
"Baiklah, jika itu membuatmu senang. Kamu harus istirahat, saya pamit ya." Lega, beban hilang. Ku antar pak Nan ke teras rumah. Menunggunya sampai mobil yang dikemudikannya hilang di balik kelokan jalan.
Aku kembali ke kamar masih dengan perasaan dongkol pada pak Nan. Ada guratan emosi di wajah yang tak bisa ku keluarkan. Desis suaranya membebani pikiran. Bukannya menjenguk itu menghibur yang sedang sakit ya? Tapi ini salah! Dia membuatnya semakin rumit. Semakin terbebani.
Umi masuk dengan segelas susu yang dibawanya dengan nampan. "Ini diminum ya Sa."
"Iya mi," lirihku tanpa minat.
"Kamu itu kenapa lagi? Tadi sebelum pak Nan kesini kamu baik-baik saja," ucap umi seraya membetulkan duduknya.
"Aku merasa tidak nyaman jika harus berhadapan dengan pak Nan mi, seringaiannya selalu membuatku takut," jujurku pada umi.
"Kamu tidak boleh seperti itu, dia kan dosenmu baik pula sengaja menjengukmu kesini," balas umi menasihati.
"Tapi mi ...," ucapanku terpotong karena umi kembali mengeluarkan suaranya.
"Sudahlah, kamu tak usah memikirkan yang tidak kamu suka, kamu harus bahagia, kamu harus sembuh. Karena pikiran yang membuatmu emosi hanya akan memperburuk keadaanmu," potong umi menenangkan.
"Akhir-akhir ini umi melihat ada kesedihan di wajahmu, ada apa Sa? Kamu cerita ya sama umi." Sekuat apapun aku menyembunyikannya tetap saja umi pasti mengetahuinya.
Aku menumpahkan semua keluh kesahku pada umi, tentang taaruf kak Alif, tentang Ayla yang mendapat taaruf juga. Tentang merahasiakannya pada Ayla. Semua tumpah pada umi tak lupa dengan air mata pilu. Tapi setelahnya aku merasakan semua beban terangkat. Benar apa yang mereka ucapkan. Bercerita bukan hanya untuk meminta solusi, tapi bagian besarnya bercerita membuat semuanya menjadi lapang. Umi pendengar yang baik.
"Kamu boleh bersedih, tapi hanya untuk sebentar. Kamu berhak bahagia karena kamu telah mengorbankan bahagiamu untuk sahabatmu. Umi mendukung semua keputusanmu," ucapan umi terhenti karena menarik nafas. Aku masih setia untuk mendengarkan ucapannya lagi.
"Ada makna dibalik semua kejadian ini. Makna yang tak kasat mata, makna yang hanya akan diketahui di kemudian hari, atau makna yang sama sekali tidak akan kamu ketahui.... Tapi dibalik ini semua ada makna besar yang akan merubah kehidupanmu selanjutnya. Tetap bersabar, tetap bersyukur, jangan bersedih, kamu punya keluarga yang lengkap yang mau mendengar keluh kesahmu Sa.... Kamu juga punya Allah yang lebih besar daripada masalahmu.... Kamu harus bangkit, kamu tidak boleh sakit berlama-lama karena ini!" Benar apa yang diucapkan umi, aku tidak menyanggah. Aku harus bangkit, tidak ada gunanya berlarut- larut dalam kesedihan.
Aku harus bangkit, menyelesaikan apa yang sudah ku mulai. Meninggalkan apa yang sudah terjadi. Menata kembali kehidupan yang akan kujalani selanjutnya, tanpa kesedihan! Sabar harus ku tingkatkan, tidak ada batas kesabaran! Rasa syukur harus mendampingi, terpatri di dalam hati yang tak akan pergi. Jangan sampai satu kesalahan mereka menghapus ribuan kebaikannya. Terkadang banyak makna yang tidak kita sadari, atau mungkin sengaja tidak kita sadari. Menyalahkan Tuhan, menyebutnya tidak adil! Salah besar, selalu ada makna di balik kesedihannya. Ada adil di balik semuanya.
Jika bukan saya yang harus bertahan dalam keadaan ini, lalu siapa? Mengandalkan umi? Tidak! Ini bukan masalahnya. Semuanya tidak akan terjadi jika saya tak memulainya dengan rasa harap. Makna! Ingat ucapan umi, pasti ada makna di balik semuanya. Tentang aku bertemu dengannya, berharap padanya, sudah Allah tuliskan di naskah kehidupan yang harus kulalui. Sekarang bagaimana saya memperbaiki yang sudah terjadi.
*Mohon maaf kalau ceritanya kurang berkesan di hati kalian
*Penasaran dengan kelanjutan ceritanya? Nantikan update nya setiap hari Sabtu atau bisa lebih cepat jika memungkinkan.
*Jangan lupa follow, vote, comment, dan share ♡
*Saran pembaca akan membangun setiap penulis
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih Halal di Bumi Cordoba (TERBIT)
General FictionCerita ini bermula ketika aku bertemu dengan laki-laki yang bernama Alif Harun, yang kemudian mengubah kehidupanku. Dia sosok sempurna bagi sebagian kaum hawa, diantaranya Aku. Hari-hari bersamanya membawa banyak rasa yang baru, mungkin ... rasa cin...