Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Baru pulang kak?"
Yena hanya mengangguk setelah melirik sebentar, kemudian ia kembali melangkah lagi. Namun, langkahnya kembali terhenti karna ada sautan lagi.
"Yen, makan dulu"
"Males" lantas ia berjalan menuju kamarnya
Yena menghempas santai tubuh di ranjang, dengan sepasang netra mengarah ke langit-langit kamar. Tak lama helaannya mengundara, begitu cara kebanyakan orang memberi tanda akan masalahnya. Tak henti Yena selalu begitu.
Dan kini Yena menanggal pikiran pada sang ibu sambung. Jujur, Yena akui ia orang yang baik namun belum saatnya ia menerima walau 5 tahun sudah terlewat. Yena butuh lebih dari itu untuk menerima semua.
Ibunya bahkan sudah tiada, tapi ayahnya malah mendeklarasikan begitu jelas saat Yena baru masuk sekolah menengah pertama, bahwa adik ibunya kelak akan menjadi ibu sambungnya. Dan semua terjadi begitu saja. Yena yang sudah menolak malah ditambah beban kenyataan bahwa janin yang dikandung bibinya saat itu dari ayahnya. Yena yakin semua sesuai dengan pikiran sang ayah.
Begitu rumit jalan cerita hidupnya. Tapi begini terus juga tak ada gunanya. Namun Yena terlanjur kecewa dengan ayahnya.
Yena juga ingin semuanya berakhir, atau setidaknya ia tidak memikul beban sendiri. Yena ingin cerita, tapi Yena masih belum yakin akan itu. Jaemin juga belum Yena beri kepercayaan walau lama waktu yang mereka lakukan bersama.
Jaemin sering berkunjung di rumah Yena, tapi ia belum tahu bahwa adik ibu Yena sudah jadi ibu sambung Yena. Jaemin hanya tahu semua yang di rangkai Yena sedemikian rupa. Belum kenyataanya.
Yena mengambil ponsel di sakunya masih dengan posisi tidur. Ia mencari kontak seseorang lantas menelfolnnya.
"Lo nganggur ga?"
"Iya, kenapa emang?"
"Bosen gue, ke mini market deket komplek lo ya"
"Jauh bege, rumah lu sama gua kan beda arah"
"Mumpung gue baik juga ini, gue traktir mie dah nanti"
