Lapangan depan itu ramai hari ini. Di atasnya, terbangun stan berjejer urut setiap kelas. Sebentar lagi, Buntara akan merayakan hari jadinya, kerepotan melanda orang-orang satu sekolah.
Hari sudah siang, matahari tidak punya banyak niatan untuk memberikan sinar terbaiknya kali ini. Diuntungkan sekali, apa yang harus dilakukan tidak benar-benar terasa berat.
Rega sedang berada di stan saat itu, bersama sebagian besar teman kelasnya. Kegiatan yang dilakukan tidak jauh dari membuat stan lebih menarik banyak orang. Teramai, kelas XII IPA 1 tak pernah berjalan sendirian, seringnya adalah membawa satu pasukan.
"Siapa yang mau ngambil meja dan kursi di kelas?" Pertanyaan yang terdengar seperti perintah mutlak dari Jeana itu langsung saja membuat Rega menegak.
"Sekalian sama taplak dan yang lain, Riz!" Agatha masih sempat meneriaki Fariz dan Rega yang sudah hampir beranjak.
Rega terpaksa menghentikan langkahnya karena Fariz tiba-tiba menoleh ke belakang. "Lo aja ikut anjir, mana bisa bawa meja sama taplak. Ngotak, Bos."
"Iya-iya, pedes banget itu mulut." Sejujurnya, tidak hanya Agatha yang merasa demikian.
Meninggalkan lapangan depan yang masih berisik, mereka berjalan depan belakang melewati gerbang masuk, Agatha memilih berada di samping Rega.
Lagi-lagi, Fariz berhenti, membuat Rega mau tak mau mengikutinya lagi. Agatha kali ini mengernyit, memerhatikan perempuan dan laki-laki di depannya. Keduanya sama-sama adik kelas, sedang membawa sebuah tanaman besar dalam pot, pun dengan kondisi tidak merasa kelelahan sedikitpun.
Di sampingnya, Rega memerhatikan itu tanpa putus. Mencoba tidak menunjukkan rasa kagum, meski sebenarnya Rega dengan mudah melakukannya.
"Eit, apanih angkat-angkat," kata Fariz, Agatha kontan mendelik sangsi teman sekelasnya ini mengenal dua orang di depannya itu atau tidak.
"Temen lo yang laki mana? Masa perempuan disuruh angkat-angkat gini." Alis Fariz yang tebal itu seperti hendak menyatu, nada bicaranya tak maklum sama sekali.
Yang laki-laki, yang merasa pertanyaan itu untuknya, hanya mengatupkan bibir tak tahu harus menjawab seperti apa. Ishaq lebih dari sekadar bingung.
Pasalnya, bukan laki-laki manis itu juga yang meminta Sherina untuk mengangkat tanaman seperti ini. Perempuan itu sendiri yang mengajukan, jika ingin tahu saja Ishaq sebentar-sebentar meminta Sherina berhenti untuk beristirahat. Jarak dari kelas mereka yang berada di bangunan belakang memang lumayan jauh dengan gerbang masuk.
Sampai pertanyaan Fariz diutarakan, dan masih mengudara belum ada jawaban pasti. Sherina hanya bisa diam memandang tiga kakak kelasnya itu, melihat Fariz yang tak mau menurunkan satu alisnya, menerka Agatha pasti menunggu jawaban dari Ishaq atau Sherina, dan terakhir yang paling membuat Sherina tak bisa berkata-kata adalah Rega. Bagaimana laki-laki itu bisa tahan diam saja? Sherina tak habis pikir.
Senyuman lebar Sherina yang canggung luar biasa itu akhirnya tercipta, membalas tatapan Fariz yang tak tahu bisa sedatar itu. "Eh, Kak. Permisi dulu, ya. Berat euy," kata Sherina, menggerakkan kepala memberi sinyal pada Ishaq untuk segera undur diri.
"Nggak jelas adik kelasnya siapa," Gerutuan Fariz itu dibarengi langkah pelan memasuki area sekolah lebih dalam.
Mengambil meja dan kursi, mencari keperluan Agatha tadi, Fariz masih sempat marah-marah saat temannya yang lain datang mengendarai motor. Katanya mau membantu, tak tahu bisa setelat itu.
Akhirnya, Rega hanya kembali ke lapangan depan bersama Agatha. Perempuan itu terus berceloteh tanpa henti sepanjang perjalanan, jika ada Fariz, mungkin bibir Agatha sudah disentil sejak tadi, menyuruh diam dan tak banyak bicara.
"Eh, eh. Gue boleh tanya?" Kenapa Agatha harus meminta izin terlebih dahulu?
"Boleh."
"Lo punya pacar, nggak? Rabbar juga punya apa, nggak, sih? Kalo Fariz mah gue tahu nggak akan ada yang mau sama dia, tiap hari makan hati terus, udah diprediksi sama gue."
"Gue nggak punya. Setahu gue Rabbar juga nggak punya deh," Rega menjawab tenang.
"Beneran? Emang orang ganteng itu banyak yang jomblo, sih. Daripada kegantengannya disalahgunakan, ye, gak?"
Rega hanya tertawa sebentar. "Gue lagi usaha, sih."
"Walah mantap. Belajar noh sama yang ahli, pokoknya jangan sama Fariz soalnya dia noob."
"Fariz terus daritadi, Tha. Kalian saling suka apa gimana? Fariz kalo sama gue juga ngomongin lo terus," tutur Rega jujur sekali.
"Ha? Nggaklah." Sebenarnya, Agatha salah tingkah.
"Eh tapi, dia ngomongin apa tentang gue?"
"Loh kepo," ceplos Rega begitu saja. "Biasanya kesel kalo lo cerewet banget di kelas, pernah sekali gue dimarahin kenapa mau aja diajak foto sama lo. Kayaknya pengin ikutan, sih, dia."
"Lo jangan bikin gue terbang tinggi kenapa."
"Katanya nggak suka. Gimana sih, Tha?"
"Ya nggak," kilah Agatha meninggalkan Rega dengan berjalan terlebih dahulu.
Mereka sudah sampai di lapangan depan, Rega tidak sadar bisa secepat ini. Laki-laki itu menoleh di salah satu stan yang sudah jadi, melihat seorang perempuan yang tertawa setelah disodori minuman isotonik oleh seorang laki-laki, kikuk dalam air mukanya yang mendominasi. Yang melihat hanya punya hak untuk mengatupkan bibir.
*
Masih inget sama Kak Fariz? Pick-nya Fani di chapter-chapter awal. Agatha ini teman satu kelasnya Rega, Fariz, sama Rabbar. Nanti ngerti, kok, dari sudut pandangnya Fani, gimana temen Sherina yang satu itu.
Di sini aja, ya!
Dah, double update. Kalo biasanya Sabtu dan Minggu, kali ini Jum'at dan Jum'at. Kayaknya aku ganti jadwalnya, deh. Tetep satu minggu dua kali tapi harinya nggak tentu, sesuai kuotaku adanya hari apa. Wkwkwk.
Terimakasih sudah membaca dan memberikan tanggapan baik, terimakasih banyak pokoknya!
— July 10
KAMU SEDANG MEMBACA
#1 Kompliziert (✓)
Teen FictionSherina Iswari Nadindra menyukai banyak hal. Pintar, untuk masa lalunya, sebuah pengecualian. Sesuatu yang membuat hatinya menghangat, perempuan berambut panjang itu belum bisa berpikir panjang. Namanya Reno Abirahasa, tubuhnya jangkung dan besar...