Bagian l

6 0 0
                                    

Perpisahan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan dia adalah awal dari sebuah ujian yang berjudul kerinduan.

18 : 14 sore, bersenja indah di pelupuk mata, panas yang sudah mereda, dan dingin yang mulai memanja. Kota kecil bernama panyabungan kini, memnampakkan wujudnya persis di hadapan dua bola mataku, ya, kurang lebih 6 jam aku duduk termenung di bangku mobil minibus itu, ditemani tangis dan air mata, aku sangat berterima kasih kepada kakak itu, bagaimana tidak, mungkin tanpa dia otakku akan mulai bergeser dan mereng ke arah sedikit gila. "kak, aku sudah mau sampai tujuan, memangnya kakak mau kemana.?" tanyaku penasaran seolah-olah ingin membalas perhatiannya yang sudah bersedia mendengar curhatan, menghiburku, dan juga meminjamkan pundaknya sebagai bantalku untuk tertidur, bermimpi dengan ibu yang sangat menyayangiku, ayah yang sepertinya tidak menginginkan kehadiranku, dan juga sahabat yang sudah aku anggap layaknya seorang saudara, "kakak mau kesidimpuan dek, emang kamu ke panyabungan ini mau ngapain, belajar, merantau, atau sikaturrahmi.?" balas kakak itu menjelaskan tujuannya, dan kembali menanyaku menunjukkan perhatian. "kalau akusih, niatnya belajar kak, tapi mau silaturrahmi dulu ke rumah kakekku kak, dan bisa di katakan merantau jugalah kak, soalnya aku harus sanggup membelanjai pendidikan dan diriku sendiri, seperti ceritaku tadi kak, ayahku sudah tidak menganggap aku lagi" jawabku yang kemudian menghapus air mataku lagi akibat teringat kembali kata-kata ayahku tadi pagi yang menitipka luka mendalam itu. "ooh.. Gitu ya dek, jangan sedih dong, kamu itu laki-laki, kamu harus kuat, kalau kamu nanti butuh apa-apa ini nomor kakak, siapa tau bisa membantu" balas kakak itu menenangkan hatiku, sambil membacakan nomor handphone nya dan langsung kutulis dalam kontak ponsel miniku, dan nama kakak itu adalah, erin sulistia nasution. "aku duluan ya kak, ini aku sudah sampai.!" ucapku memberi tahunya seiringan dengan suara rem mobil yang menghentikan roda yang sedang berputar "boleh kakak peluk kamu.?" tanya kakak itu meminta izin, seolah-olah di iringi dengan rasa penuh harapan "gak masalah kok kak, aku juga pengen kok di pekuk kakak, yang sudah menerima ceritaku, dan menemaniku dalam rasa sakit ini" balasku sambil membuka tanganku dan langsung mendekapnya "kamu jangan lupakan kakak ya, jangan sedih juga, jadi cowok itu harus kuat, kakak jugakan ngerasain sakit sama kayak kamu, semangat aja dalam berjuang, mereka itu bukan tidak sayang, tapi mereka itu cuma khilap dengan keinginanmu itu, kalau kamu nanti butuh apa-apa hubungi kakak ya, siapa tahu kakak bisa bantu" ucap kakak itu sambil meneteskan air mata, dan mengelus punggung belakangku. "cok..! Barang kamu udah siap tuh di turunin, cepatan, pelukannya udah tu jangan lama-lama entar nyaman, kan kasian kamunya masih kecil udah gak bisa move on, sama kayak mantan" ucap om sopir sambil sedikit tertawa, dari balik kaca mobil yang membawaku, ingin sekali kupukul kepalanya pakai pukulan shot kanan om cris jhone biar dia tau rasa, dan gak bisa tertawa lagi di atas penderita'an yang sedang di rasakan orang. Tawa kakak itu adalah penutup cerita di hari yang penuh dengan luka ini, dengan saliman tangan dan ciuman dipipi kananku menjadi pemisah jarak kami, entah sementara atau selamanya, aku tidak tau tunggu saja jawabannya di kehidupanku selanjutnya.

"assalamualaiku" sautku dari liar rumah kakekku yang ku panggil dengan sebutan opung dalam bahasa daera kami "waalaikum salam" sautnya membalas salamku dan membukakan pintu, "masuk cok, ibumu sudah cerita sama opung, tapi, apakah kamu yakin harus berjuang sendiri untuk masa depanmu.? '' tanya opungku seolah-oalh ingin mengukur sekuat apa keinginanku. "yakin pung, aku siap apapun yang terjadi, niatku sudah bulat, aku akan mondok sampai aku sanggup menjalani kepahitan hidup dengan tidak bergantung pada uang dan tidak takut pada dunia" jawab seolah-olah berbincang dengan temanku sendiri, mungkin ucapanku terlalu dewasa di fikirannya, tapi, apa boleh buat itulah yang terjadi, aku sipaksa dewasa untuk masa depanku sendiri. "yasudah pergi sana, solat maghrib dulu, besok opung bawa kamu mendaftar ke pondok sana" balasnya dengan santai dan ramah "tapikan aku belum punya uang pung, ibu juga hanya memberi ongkosku kesini, dan itu pas pasan tidak lebih sedikitpun hanya cukup ongkos dan makanku di jalan tadi" balasku menceritakan apa yang terjadi di pagi menjelang siang tadi "memangnya kamu mau apa, mau kerja, gak bakalan ada orang yang mau terima tamatan SD doang kecuali kamu sudah mondok, siapa tau masih ada yang terima dengan modal kepercaya'an" ucapnya menjelaskan " ya, mau gimana lagi pung, kalau nanti aku gak kerja, bagaimana mungkin aku bisa mendaftar.? " tanyaku kepadanya seolah-olah menegarkan diri, dan tidak mau meminta bantuan kepada siapapun "memangnya kamu sudah tidak menganggap aku ada.? " tanyanya dengan nada sedikit marah, mungkin dia tidak suka dengan jawabanku yang seperti sudah tidak lagi menganggapnya ada "maaf pung" balasku dengan menunduk karena merasa bersalah "yasudah, sekarang kamu mandi sana, solat baru istirahat, jangan banyak cerita kagi" balasnya atas perminta maafanku itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

salah jalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang