15 | Don't Call Me Again

369 32 0
                                    

​Setelah seharian menemani Lily, Luke pun mengantarkan Lily ke rumah Yocelyn. Ia singgah disana selama dua setengah jam untuk makan malam dan berbincang sebentar sebelum akhirnya ia pulang dan baru saja ia sampai di rumahnya. Tepatnya pada pukul delapan malam.

Luke pun memutuskan untuk mandi dan kemudian berganti pakaian dengan pakaian yang lebih santai. Setelah itu, Luke bersantai di ruang kerjanya. Ia mengambil beberapa dokumen perusahaannya yang perlu ia teliti. Apalagi, hari ini ia tak sempat masuk ke perusahaannya. Terbersit sesaat di pikiran Luke kalau pekerjaannya yang double seperti ini membuatnya kewalahan. Tapi, mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi tanggung jawabnya. Lagipula, dia juga mempunya kaki tangan yang dapat diandalkan di perusahaan ketika dia tidak bisa hadir di perusahaan.

Kemudian, Luke membuka tabnya untuk mengecek jadwalnya di rumah sakit dan perusahaan besok. Di rumah sakit, dia memiliki jadwal operasi dua pasien pada pagi hari. Jadi, ia dapat menghadiri rapat pada siangnya. Setelah itu, ia akan tetap berada di kantornya untuk memantau perusahaannya dan mengerjakan beberapa tugas yang tertinggal.

Berbicara tentang jadwalnya di rumah sakit, tiba-tiba saja ia teringat oleh Courtney. "Kira-kira, apa yang sedang ia lakukan sekarang, ya?" Luke bergumam sambil tersenyum-senyum sendiri.

Kemudian, tanpa berpikir panjang lagi, Luke langsung mengambil ponselnya dan mencari nama Courtney di kontaknya. Setelah itu, ia pun memencet tombol menelpon perempuan yang memenuhi pikirannya itu.

Sambungan pertama. Lama tidak ada jawaban, akhirnya sambungan pun terputus.

Percobaan kedua. Luke mencoba menelpon lagi. Tapi, hasilnya masih sama.

Dahi Luke berkerut heran. "Dia semakin membuatku penasaran saja," gumamnya yang tiba-tiba tersenyum-senyum sendiri. "Astaga! Apa aku baru saja tersenyum seperti orang gila?!"

***

Di malam yang dingin, Courtney duduk termangu di balkon kamarnya dengan selimut kecil yang melapisi dirinya yang memeluk badannya sendiri. Ia menghela nafasnya menatap ponselnya yang daritadi berbunyi karena seseorang menelponnya. Ia tahu siapa penelponnya. Dan tentu saja sebelum ini ia sudah mendapatkan nomor ponsel Luke dari pihak rumah sakit atau lebih tepatnya dari temannya, dr. Jennie.

Courtney membiarkan telepon itu berbunyi terus tanpa ada niat untuk menjawabnya. Terhitung sudah empat kali laki-laki itu meneleponnya.

"Buat apa dia meneleponku? Urusan kita sudah selesai sesaat setelah aku keluar rumah sakit," ucap Courtney pada dirinya sendiri.

"Kenapa teleponnya tidak diangkat?"

Courtney sedikit terperanjat ketika adiknya, George, bertanya padanya. Entah sejak kapan adiknya itu berdiri bersandar pada pintu balkon sambil membawa gelas berisi susu putih kesukaannya.

"Sejak kapan kau ada disitu?" tanya Courtney.

George memainkan matanya kesana kemari seolah-olah tengah berpikir. "Entahlah. Mungkin sejak kau mengabaikan teleponmu yang sudah berbunyi sejak awal tadi?" ujar George lagi sambil mengendikkan bahunya.

"Kau tidak tahu caranya mengetuk pintu, ya?" ujar Courtney kesal. Namun, George hanya mengabaikannya. Ia kemudian duduk di kursi panjang yang ada di samping kursi Courtney dan bersandar di kursi itu.

"Pintunya terbuka saat aku melewati kamarmu. Jadi, aku tidak salah," ujar George santai.

Courtney tidak menggubrisnya lebih lama lagi, karena ia sedang tidak berada dalam kondisi yang tepat untuk berdebat. Jadi, ia mendiamkan adiknya dan hanya menatap lurus-lurus ke depan.

Terdapat dua orang di balkon itu. Tapi, tidak ada yang berbicara. Hanya keheningan di malam yang dingin. Namun, sesekali Courtney melirik ponselnya yang kini sudah tidak berdering lagi sambil menghela nafasnya beberapa kali di setiap lirikannya.

15 Seconds - Bachelor Love Story #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang