Taburan Kesembilan

79 9 0
                                    

Nggak tahu mau bilang apa, hehe.

Pokoknya jangan lupa tinggalkan jejak, ya.

Selamat membaca!

Setelah kejadian di depan kelas Ora tadi, Dirga langsung pergi menuju ruang basket untuk berkumpul dengan anggota lain.

"Tumben," gumamnya saat sudah sampai di daun pintu dan menyembulkan kepalanya ke dalam ruangan itu.

Bukan tanpa alasan ia menggumamkan kata itu, sebab biasanya kumpulan akan dimulai lima menit setelah bel pulang berbunyi. Sedangkan sekarang ini sudah masuk menit ke sepuluh.

Ia bergegas masuk lantas mencari bangku yang ditempati temannya, Farhan dan Adly. Hanan tidak ikut EKSKUL basket, sebab menjadi wakil ketua OSIS saja sudah membuatnya super sibuk.

"Gimana-gimana?" tanya Adly antusias saat melihat kehadiran Dirga di bangku sebelahnya.

Dirga berdecak. "Zonk."

Adly dan Farhan mengerutkan dahi. Meminta penjelasan yang lebih detail.

Dirga yang melihat pun langsung berdecak. "Rencana tolol dari lo gak ada hasilnya. Sia-sia," ucap Dirga dengan menunjuk Adly.

"Rencana nyium Ora?" tanya Adly, dengan wajah yang sangat menyebalkan di mata Dirga.

Ya, Dirga menyudutkan Ora dengan kalimat itu adalah perintah Adly.

"Kok bisa, ya? Kan, katanya kalimat begituan ampuh banget buat cewek," ucap Farhan.

Adly mengangguk. "Bahkan kata Fira,  kebanyakan cewek di cerita fiksi yang selalu dia baca, gak ada tuh yang berani ngebantah lagi."

Farhan sedikit mengernyit. Fira?

Sedangkan Dirga mengedikkan bahu, memilih mengeluarkan ponsel di sakunya dan memainkannya.

"Ora emang aneh kayaknya," ucap Farhan.

Adly terlihat berpikir sejenak. "Kayaknya ... api dari satu batang korek kayu macem Dirga, terlalu lemah buat bongkahan es macem Ora."

Farhan berbinar. "Lo benar!"

Adly tersenyum bangga, dan itu semua tak hilang dari tatapan Dirga hingga membuatnya berdecak.

"Eh, Dly, Fira siapa?" tanya Farhan, tiba-tiba.

"Calon pacar gue yang ketiga," jawab Adly dengan memamerkan deretan giginya.

"Anterin gue pulang, Ge. Gu--" ucapan Ora terhenti saat menyadari keberadaan sosok gadis di depan Ge.

Menghela napas. "Lo anterin Jingga, abis itu anterin gue."

Gadis itu adalah Jingga, teman satu pekerjaan Ora.

Ora tidak tahu jika Ge dan Jingga sudah memiliki janji pulang bareng, jadi dia langsung ke parkiran untuk meminta Ge mengantarkannya pulang.

"Nggak, aku anterin kamu dulu. Ayo," ucap Ge, lalu memindahkan tangan yang tadinya menjulurkan helm pada Jingga, menjadi kepada Ora.

Ora berdecak. "Ap--"

"Ayo, Ra, aku ada kumpulan," ucap Ge dan langsung menyeret lengan Ora.

Ora tak ingin dalam situasi seperti ini. Tapi ... apa boleh buat?

Sedang Jingga hanya diam di tempat, memperhatikan keduanya. Mulai dari menaiki motor Dirga, lalu keluar di parkiran. Lantas, ia tersinyum simpul.

Tak apa.

Hari ini adalah hari sabtu, hari yang dicap menyebalkan oleh sebagian siswa SMA Garuda. Sebab, ketika sekolah lain libur, di sini tidak. Tidak belajar memang, hanya pengisian materi PRAMUKA, yang merupakan program wajib yang harus dilakukan di sekolah, itupun hanya sampai pukul sembilan. Dan pematerinya sendiri adalah anggota PRAMUKA Reguler.

Ora memasuki gerbang, melirik jam tangannya yang masih menunjukkan pukul 06.45. Pantas saja masih sepi, karena bahkan kebanyakan datang pada pukul 07.30.

"Ra!" seru seseorang yang Ora yakini adalah Tari.

Ora berhenti, tanpa berbalik. Tak lama Tari berada di sampingnya bersama Mitha. Rumah keduanya memang tak terlalu berjauhan, hingga sangat sering berangkat ataupun pulang bersama.

"Tumben," ucap Ora.

Tari nyengir. Ia sadar, karena biasanya setiap hari sabtu ia akan menjadi pelanggan setia sebuah hukuman dari sang Pradana Putri. Lantas ketiganya berjalan menuju kelas

"Btw, Ra, kok kemarin gak pulang bareng Dirga lagi?" tanya Tari.

"Males."

Tari menghela napas. "Ra.... "

Ora berhenti, lalu menatap Tari. "Lo tau kemarin hari apa, 'kan?"

Tari mengangguk, dan sedetik berikutnya menepuk jidat. "Oh iya, ya. Kemarin, kan, lo libur kerja."

Mitha yang tadi hanya menyimak pun mengernyit. "Loh, apa hubungannya?"

Ora dan Tari berdecak. Sebenarnya tidak aneh jika Mitha bertanya hal itu, sebab ia memang belum tahu konsep hidup seorang Ora.

"Kalo misalnya Ora libur kerja, otomatis Dirga bakal nganterin Ora nyampe rumahnya, 'kan?" tanya Tari memulai penjelasan.

Mitha mengangguk.

"Nah, nantinya Dirga bakal tahu rumah Ora. Dirga bakal tahu kehidupan Ora yang sebenarnya," ucap Tari.

Mitha semakin bingung, lalu menoleh pada Ora. "Emangnya kenapa kalau Dirga tahu? Kamu malu, Ra?"

Telak, Ora membisu. Namun di detik berukitnya, Ora tersenyum sinis. "Iya, gue malu."

Setelah itu, Ora pergi meninggalkan Mitha dan Tari.

Entah untuk apalagi, Uttam--ayahnya, menyuruh ia untuk mengetahui jam berapa Ora berangkat sekolah di hari sabtu. Menyebalkan.

Hingga saat ini, Dirga tidak tahu apa motif ayahnya menyuruh ia mengenal Ora, dan bahkan mengharuskannya mengetahi hal-hal spele mengenai Ora seperti ini.

Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Dirga berjalan santai di koridor, lagi pula ia yakin Ora belum datang. Terlalu mustahil jika orang yang selalu menyebut kata malas akan datang saat jam 06.45 di hari ini.

Tapi langkahnya memelan saat ia mendengar suara seseorang di belokan koridor perpustakaan.

"Nah, nantinya Dirga bakal tahu rumah Ora. Dirga bakal tahu kehidupan Ora yang sebenarnya."

Tari. Dirga yakin itu suara Tari. Ia berdiam diri, memilih menguping sebab namanya disebut.

"Emangnya kenapa kalau Dirga tahu? Kamu malu, Ra?"

Itu suara ... Mitha?

Sebentar, pasti Ora juga ada bersama mereka. Tapi ... kenapa ia dibawa-bawa dalam perbincangan mereka?

"Iya, gue malu."

Hah?

Dirga yakin itu suara Ora. Ia benar-benar tak bisa menyimpulkan apa yang sebenarnya mereka perbincangkan.

Dirinya tahu rumah Ora, dan Ora malu. Itulah garis besar yang ia tangkap dari perbincangan mereka.

Lalu suara langkah kaki terdengar.

"Jaga mulut lo!"

Itu juga suara Tari, kan?

Argh! Dirga kesal. Apa, sih, maksudnya?

Apa ini alasan Ora yang selalu meminta Dirga mengantarkannya ke caffe?

Tapi, kenapa harus malu?

Demi apapun, rasa penasaran Dirga benar-benar membabi buta.

Salam,
_melmaul

AURORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang