Piece of 11 [B]

44 4 0
                                    

Di meja melingkar sudut toko, West termangu dengan sepotong sandwich besar. Pria itu sengaja lebih pagi ke toko agar bisa bertemu Mayang. Kejadian semalam bikin khawatir. West takut terjadi sesuatu pada Mayang. Namun tampaknya penungguannya sia-sia, sampai pukul 08.30, Mayang tak nongol.

Setelah sarapan, West memutuskan menata petakan bunga paling depan. Tentu tujuannya untuk memastikan kedatangan Mayang.

"Apa yang kau perhatikan East?" tanya Bu Miary—setelah memperhatikan West yang lebih sering memantau keluar. "Kau sedang mengkhawatirkan sesuatu?"

"Jam segini Mayang belum datang," tukas West.

"Kamu khawatir Ibu memotong gajinya?" sangka Bu Miary. "Kamu kan sudah jadi jaminan di sini?"

"Bukan itu."

"Lalu?"

"...."

"Awalanya Ibu mikir, Mayang kasih tahu kamu kalo gak masuk."

West langsung condong badan ke meja kasir—tempat Bu Miary berada. "Mayang memberi tahu ibu?"

"Tidak," sahut Bu Miary. "Tapi jika dia datang telat, biasanya dia tidak akan masuk. Paling sore sms," jelas Bu Miary. "Ada sesuatu yang terjadi pada kalian?"

West tidak menjawab.

Bu Miary lantas geleng-geleng meninggalkan meja kasir. "Minggu lalu ketika kau menghilang, Mayang mencarimu. Sekarang sebaliknya. Aneh!"

Pikiran West jadi ke mana-mana sekarang. Bisa saja Mayang mengurung diri, tidak makan seharian. Atau bisa jadi dia frustrasi lalu melakukan hal-hal buruk. Bunuh diri misalnya, tidak! Agama Mayang kuat, mustahil melakukan hal itu. Barangkali dia juga marah padaku karena merahasiakan identitas Paman Bien....

Siangnya setelah pergantian shift, West ke rumah sakit. Pria itu menjenguk Paman Bien. Semalam setelah Mayang mengusirnya West kembali ke rumah Paman Bien. Dia cemas akan Paman Bien yang meringis menahan dada sebelum menyuruhnya mengejar Mayang. Ternyata benar, Paman mengalami masalah dengan jantungnya lagi. Syok dengan menghadapi dua anaknya.

Malam itu juga West berinisiatif membawa Paman Bien ke rumah sakit.

Berbeda dengan kejadian lalu, kali ini Paman tidak terlalu parah. Menurut dokter, beliau hanya kaget sesaat sehingga mempengaruhi oksigen di pembuluh darah.

West menguak pintu ruang inap.

Paman Bien yang tidak menyangka kedatangan West, buru-buru menghapus air mata. Beliau membenarkan punggung yang terandar di kepala ranjang. "Baru datang?" Paman Bien pura-pura bertanya.

West yakin pertanyaan Paman Bien ini sengaja menutupi sedih. Pria itu bahkan masih dapat menemukan bahasa tubuh Paman Bien yang kentara sedih.

"Gimana kabar Mayang?" tanya Paman Bien lanjut.

"Mayang tidak masuk kerja hari ini."

Paman Bien menekuk kepala, lama beliau menatap selimut yang menutupi kaki. "Paman sudah prediksi hal ini sejak awal. Dia sulit menerima semua. Merasa dibohongi."

"Paman tidak perlu menyalahkan diri sendiri," West mendekati ranjang. "Mayang hanya syok."

"Meski berbeda dengan Rinja, tetap saja Paman khawatir," kesah Paman. Beliau kembali berkaca-kaca. "Mayang tidak akan melakukan hal buruk kan? Dia akan baik-baik saja kan?"

Kaca-kaca di bola mata Paman Bien, membuat iba. West memilih tidak menjawab pertanyaan Paman Bien. Dan itu efektif menghentikan keluh Paman Bien.

Satu menit berlalu.

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang