HOW IMPORTANT IS AN APOLOGY?

1.4K 230 320
                                    

Apakah sebuah maaf memang berarti sebesar ini?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Apakah sebuah maaf memang berarti sebesar ini?

Malam itu sangat gelap, lebih kelam dengan fakta tidak adanya bintang yang mengisi cakrawala seperti biasa, awan mendung pasti telah menutupinya. Lelaki bersurai lembab acak-acakan baru saja tiba di rumahnya saat itu—nyaris pukul tujuh tepat. Membelalakkan mata saat melihat sosok dekat namun tak terlalu familiar baginya. Itu hanyalah seorang wanita berumur dua puluh enam tahun yang jelas ia kenal, kakak perempuannya. "Noona? Sejak kapan ada disini?"

Wanita di depannya itu menelisik pada remaja lelaki di depannya. Perhatikan dia, bahkan pemuda disana masih lengkap mengenakan ransel dan sepatu seperti saat ia keluar rumah pagi tadi. Kim Yeonjun—begitu nama yang tertera pada name tag seragam lusuhnya. "Baru pulang, Yeonjun-ah?'

"Um. Tadi, aku banyak bermain sampai lupa waktu." Yeonjun menelengkan kepala untuk melihat pintu rumahnya yang masih tertutup. "Kenapa Noona di luar saja? Hyung belum pulang?"

"Aku tiba disini tadi sore, dan langsung keluar saat melihat kau datang dari kejauhan."

Kim Jiwoo, atau ibu dari dua bayi kembarnya itu memang sudah tak tinggal bersama lagi dengan Yeonjun serta kakak laki-lakinya. Setelah menikah dengan pria bernama Yang Jungkook lalu ditinggal lari saat kedua anaknya lahir, Jiwoo lebih memilih kabur dari rumah dan tinggal sendiri. Berharap dapat menghidupi diri dan anak-anaknya dalam pekerjaan sebagai pelayan di kafe. Itulah sebab situasi canggung nan asing disana bisa terjadi.

"Hyung sudah tahu Noona akan datang?"

Jiwoo menggeleng cepat, menarik tangan Yeonjun dan membawanya masuk ke dalam. "Kita masuk saja dulu, di luar dingin."

Di dalam rumah itu tidak ada banyak hal—serba sederhana. Apalah yang bisa dihasilkan dari Kim Junsoo, si sulung yang hanya bisa bekerja tak tetap kesana kemari. Apalagi sekarang ia tengah gencar bekerja sebagai tenaga kerja dalam proyek pembangunan gedung pencakar langit di tengah Kota. Kediaman mereka adalah rumah tanah sepetak yang hanya punya satu kamar mandi dan satu kamar tidur saja. Membuat Yeonjun telah terbiasa tidur malam harus berbagi kamar dengan sang Hyung.

Yeonjun sempat melirik kepada bingkai foto usang yang tak pernah lepas melekat di dinding, tepat saat ia menaruh ranselnya ke atas kursi kayu sana. Itu adalah sebuah foto keluarga saat ia masih bayi. Besar tanpa orang tua, membuat tiga kakak beradik itu belajar banyak tentang betapa kerasnya kehidupan.

Semuanya makin parah saat Jiwoo mulai mendapat mimpi-mimpi buruk itu.

Mimpi kelam yang tanpa ampun menghukumnya hampir tiap malam.

Jiwoo merasa bahwa ada sesuatu yang tak beres, harus segera ia selesaikan. Apakah itu?

"Yeonjun-ah?"

"Hm?" deham Yeonjun sembari membuka sepatu beserta kaus kakinya, terduduk di lantai.

Jiwoo hanya memandang dalam diam, menunggu sampai Yeonjun selesai dan kembali tegak, "Masuk ke kamar, yuk."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[✓] APOLOGYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang