[CHAPTER 4]

109 16 0
                                    

Ibu Jihoon tengah menonton acara televisi ketika bel rumahnya berbunyi. Wanita paruh baya itu bangun dari sofa ruang tengah untuk membukakan pintu dan menemukan sosok Soonyoung berdiri di depan pintu apartemen dengan nafas terengah, seakan habis berlari jauh sekali.

"Oh, Soonie? Kau kenapa terengah seperti ini?" tanya ibu Jihoon seraya menggeser tubuhnya, mempersilahkan Soonyoung untuk masuk.

Soonyoung masuk ke apartemen keluarga Jihoon lalu berjalan mengekori ibu Jihoon menuju ruang tengah.

"Kau kesini untuk menjenguk Jihoonie?" tanya ibu Jihoon dan dibalas anggukkan kepala oleh Soonyoung karena ia masih menetralkan nafasnya yang terengah karena habis berlari.

Setelah Soonyoung mengantar Wonwoo pulang, ia langsung berlari menuju apartemen Jihoon. Entah apa yang ia pikirkan hingga memilih berlari, padahal ia bisa naik bus dari halte di dekat rumah Wonwoo kesini, tapi pikiran kalutnya membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Seharian ini ia memang bersama Wonwoo, tapi hati dan pikirannya berada di tempat lain, lebih tepatnya mengarah ke Jihoon. Soonyoung terlalu khawatir pada sahabatnya itu, tapi tidak ingin membuat kekasihnya kecewa.

"Masuk saja ke kamarnya. Tapi dia sedang kedatangan tamu sejak sore tadi." Kata ibu Jihoon, membuat Soonyoung mengerutkan dahinya bingung.

Kedatangan tamu? Siapa?

Tanpa bertanya lebih jauh, Soonyoung berjalan menuju kamar Jihoon. Tanpa mengetuk pintunya lebih dulu, Soonyoung langsung membuka pintu kamar Jihoon dan seketika tubuhnya melemas ketika melihat ke dalam. Ia melihat Jihoon berada di pelukan Kim Mingyu. Sementara Mingyu yang duduk menghadap pintu kamar Jihoon, mau tidak mau bertatapan mata dengan Soonyoung yang berdiri di depan pintu kamar Jihoon.

Soonyoung tidak tahu apa yang terjadi padanya, tapi kakinya tiba-tiba berjalan mundur lalu pergi dari sana. Memberi alasan tidak ingin mengganggu Jihoon yang sedang istirahat, Soonyoung pamit pada ibu Jihoon.

Sepanjang perjalanannya menuju rumah, kepala Soonyoung terus terisi dengan apa yang ia lihat di apartemen Jihoon tadi. Hatinya berdenyut sakit, tapi ia tidak tahu kenapa. Ia marah, tapi ia tidak tahu kenapa ia marah dan marah pada siapa. Ia juga kecewa, tapi tidak tahu kenapa ia kecewa dan kecewa pada siapa.

.

.

Sejak hari dimana Jihoon sakit, Jihoon berubah. Jihoon mulai menjauhi Soonyoung. Ia juga tampaknya tidak mau lagi bicara dengan Soonyoung. Sekeras apapun Soonyoung mencoba mengajaknya bicara, Jihoon hanya akan membalasnya dengan singkat, tidak seperti biasa. Bahkan kadang Jihoon akan menyibukkan dirinya sendiri agar Soonyoung tidak mengajaknya bicara.

Sementara itu, berbanding terbalik dengan hubungan Jihoon dan Soonyoung, hubungan antara Jihoon dan Mingyu justru semakin dekat. Bahkan sampai ada desas-desus kalau Jihoon dan Mingyu berkencan. Walaupun mereka sama sekali tidak peduli dengan rumor receh seperti itu, tapi mereka juga tidak menyangkalnya sama sekali. Mingyu sebenarnya ingin menyangkal rumor itu, tapi Jihoon menahannya. Jihoon membiarkan semua orang memiliki persepsinya sendiri tentang hubungannya dengan Mingyu. Termasuk Soonyoung.

Mengenai rumor itu, Soonyoung sendiri sudah mendengarnya dari teman-temannya, termasuk dari kekasihnya sendiri dan Soonyoung sama sekali tidak mau mengeluarkan komentarnya tentang hubungan Jihoon dan Mingyu. Sebenarnya jauh di dalam hatinya, ada rasa sedih bercampur marah. Tapi sekali lagi, Soonyoung tidak tahu sedih dan marah karena apa dan pada siapa.

Kemudian di suatu hari Sabtu sore, Soonyoung tak sengaja bertemu dengan Jihoon di perpustakaan kota. Hari itu Soonyoung ingin mengerjakan tugas sendirian di sana dan ia melihat Jihoon tengah duduk manis di salah satu kursi perpustakaan sambil membaca buku. Soonyoung memperhatikan Jihoon dalam diam, sama sekali tidak berani untuk mendekat. Ada rasa sedikit sesak di dadanya ketika ia tahu kalau ia dan Jihoon sudah tidak seperti dulu. Mereka berubah, Jihoon berubah.

Soonyoung masih setia memperhatikan Jihoon dari jauh, tiba-tiba ia melihat sosok Kim Mingyu menghampiri Jihoon dan duduk di hadapan Jihoon. Pemuda jangkung itu menyunggingkan senyum lebar sambil mengatakan sesuatu yang tidak bisa Soonyoung dengar, tapi Soonyoung bisa melihat jelas bagaimana ekspresi Jihoon berubah menjadi secerah matahari musim panas. Senyum lebar tersungging di bibir Jihoon. Senyum yang dulu hanya bisa dilihat oleh Soonyoung. Kini senyum itu bukan lagi tersungging untuknya, dan entah kenapa Soonyoung merasakan dadanya semakin sesak.

Sebenarnya ada apa dengannya? Bukankah ia harusnya senang ketika sahabatnya sendiri bisa dekat atau bahkan berkencan dengan orang lain? Bukankah ia harusnya bisa bahagia bersama sahabatnya? Tapi kenapa bukan rasa senang dan bahagia yang ia rasakan, justru malah rasa sesak dan sedih yang ia rasakan? Bukan ini yang harusnya ia rasakan, kan?

"Kau sangat menyedihkan, Soonyoung." batin Soonyoung.

.

.

TBC

Hai, makasih ya buat yang udah baca work ini:) 

Maaf kalau aku suka lama buat update. Soalnya aku juga lagi ada project kerjaan dan aku harus ngebagi waktu untuk ngerjain itu. Aku juga lagi ngerjain work baru buat dipublish setelah work ini selesai (yang semoga bisa tepat waktu).

Aku juga bakal sangat menghargai kalau kalian mau tinggalin komen atau kasih bintang buat work ini:) Karena komen yang kalian kasih bisa bikin aku makin semangat buat update.

Tapi aku tetep terima kasih karena udah baca work aku ini:) Terima kasih.

13.07.2020 

Bestfriend | Soonhoon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang