/21/

512 34 0
                                    


Dari dulu Serena tidak suka jika kesedihannya dilihat orang. Dia tidak suka di kasihani. Dia tidak suka orang tahu jika dirinya habis menangis.

Dia bukan ahlinya berbohong. Mau sekuat apapun dirinya berbohong. Tetap saja orang-orang tidak akan percaya. Dia terlalu polos. Dia terlalu mudah di tebak.

Setelah mendapatkan taksi. Serena menghubungi Kirana. Memberitahu mamanya agar tidak menunggunya pulang. Karena tiba-tiba dirinya harus menyiapkan bahan untuk besok di butik.

Itu hanya akalannya saja. Nyatanya, dia tidak benar-benar melakukan apapun di butik. Dia tidak sedang ada pesanan. Ataupun ide untuk menggambar.

Dia hanya duduk diam di dalam butik. Tanpa ada seorangpun disini.

Setidaknya, dia sedikit tenang agar bisa pulang tanpa ada pertanyaan aneh dari Kirana.

Serena tidak memiliki tempat lain untuk membuatnya tenang jika ada pikiran. Hanya butik tempat satu-satunya yang bisa membuat dirinya sedikit jauh dari masalah apapun.

Ponselnya dia matikan. Agar tidak ada satupun yang bisa menganggunya saat ini.

Dia benar-benar ingin sendiri.

Nyatanya, dia tidak benar-benar bisa sendiri.

Cahaya mobil baru saja masuk tembus membuatnya menyipit karena silau dari lampu mobil mengenai tepat matanya.

Sabiru.

Untuk apa dia datang kesini? Untuk apa dia mencarinya? Untuk apa? Setelah dia meninggalkan dirinya ditempat asing hanya untuk kekasihnya. Tanpa memikirkan dirinya pulang dengan apa.

Dan untuk apa dia marah, untuk apa dia merasa kesal? Tentu saja Nadine lebih penting dari pada dirinya. Serena menghela nafas, dia bingung dengan dirinya sendiri.

Serena mendengar gedoran pintu kaca butik. Tidak ada niatan sama sekali untuk membuka pintu itu. Masih di posisinya. Duduk. Dia mendengar teriakan Sabiru memanggil namanya.

What did he do? Kenapa dia begitu khawatir?

Perlu di ingatkan lagi. Serena, wanita yang berhati lembut. Terlalu baik. Sampai-sampai dia tidak bisa mendiami orang. Memaafkan apa yang sudah orang lakukan terhadapnya.

Serena lemah. Dia tidak tahu apa yang ada di otaknya saat ini. Kakinya melangkah menuju pintu. Memutar untuk membuka kunci. Sabiru mendengarnya. Laki-laki itu langsung mendorong pintu butik.

"Serena... Yatuhan! Kamu membuatku khawatir?" katanya.

Serena menelan ludah. "Kenapa, mas harus khawatir?"

"Hei..." Sabiru memegang kedua bahu Serena. "Aku yang membawamu pergi. Aku salah. Aku minta maaf."

Serena menyingkirkan tangan Sabiru. "Kenapa kemari?"

"Because of you."

Dahi Serena berkerut lalu kemudian dia mengangguk.  "Bagaimana Nadine? Apa terjadi sesuatu padanya?"

Sabiru diam. Dia menatap Serena.

"Mas, apa yang terjadi pada Nadine?" tanyanya lagi.

Sabiru tetap diam. Dia bingung harus berkata apa.

"Mas..." Serena memanggil lagi karena Sabiru tidak juga mengatakan apa-apa.

"Kamu. Jauh lebih mengkhawatirkan, Serena. Demi tuhan! Di saat seperti ini kamu masih memikirkan orang lain. Lalu, bagaimana dengan kamu?! Gimana kalo kamu kenapa-napa tadi saat aku tinggal?! Gimana kalo... Astaga!"

Serena terdiam. Bingung. Tiba-tiba Sabiru menaikkan nada suaranya. Terlihat sedih dan juga merasa bersalah. Serena melihatnya.

"Sekali saja pikirkan diri kamu, Sera. Oke. Aku yang salah! Aku meninggalkan kamu disana sendirian. I am so sorry."

Serena menggeleng. "It's okay..."  tanpa berpikir apapun. Serena langsung memeluk tubuh Sabiru. Membuat Sabiru tenang. Kalau dirinya baik-baik saja.

"Aku tidak apa-apa, mas..." ulangnya lagi berharap Sabiru tidak mencemaskannya. Di satu sisi dia mendengar detak jantung Sabiru. Ritmenya terdengar seperti habis berlari.

Sabiru membalas pelukan Serena tak kalah erat. Seakan dia tidak ingin kehilangan Serena. "Nadine tidak apa-apa. Dia hanya ketakutan dirumah sendirian. Mati lampu. Jadi dia menelponku. Tidak ada terjadi apa-apa. Sampai lampu menyala aku langsung pergi menjemput kamu disana." katanya.

Serena mengangkat kepalanya untuk melihat Sabiru. Laki-laki ini, kenapa tidak tetap bersama Nadine saja. Kenapa harus menemuinya lagi?

"Kenapa tidak tetap disana? Kenapa harus menemui aku lagi?" Serena tahu apa yang dia bicarakan saat ini sangatlah salah. Tapi, dia terlalu penasaran kenapa Sabiru masih mau menemuinya.

Sabiru membalas tatapan Serena. Dia menelan ludah. Wajah Serena sangat dekat. Bahkan Sabiru bisa merasakan hembusan nafas Serena.

"Karena aku merasa bertanggung jawab terhadapmu..." jawabnya masih menatap Serena.

Serena tak bergeming. Bertanggung jawab atas dirinya? Apa maksud dari kata tanggung jawab yang di ucapkan Sabiru? Kenapa dia harus bertanggung jawab padahal tidak berbuat apa-apa.

Serena bisa merasakan nafas Sabiru di area wajahnya. Posisi mereka saat ini terlalu dekat, bahkan, Serena bisa sangat jelas melihat wajah Sabiru dari dekat. Sabiru punya hidung yang sangat mancung, bibir yang sedikit tebal, alis tebal dan juga punya tatapan tajam yang meneduhkan. Ah. Serena tidak bisa melihat warna mata Sabiru. Terlalu gelap untuk bisa mengetahui warna matanya.

Mereka masih di posisi yang sama dengan tangan Serena masih melingkar erat di pinggang Sabiru. Begitupun tangan Sabiru yang masih melingkar di pinggang Serena.

Sabiru berani mengambil tindakkan. Seperti dorongan, dia memajukan wajahnya. Kini, hidung mereka saling menyentuh. Serena juga tidak ada pergerakan akan menolak. Dia diam, tanpa reaksi. Semakin membuat Sabiru memiringkan kepalanya.

Serena menelan ludahnya susah payah. Saat bibir Sabiru telah sampai di bibirnya. Nafas mereka saling beradu.

Sabiru melakukannya secara lembut.

Dan hati-hati.

Serena berteriak dalam hatinya.

Ini baru untuknya.

Seumur hidupnya. Selama 27 tahun.

Sabiru semakin memperdalam bibirnya...

Membuat Serena membatin I want more and more...

Dia hanya ingin bersama dengan Sabiru...

Merasakan setiap hembusan mereka yang saling beradu. Di malam hari. Di butik. Hanya mereka berdua.

God ... I want him, I love him.

*******

Ssssttt... Jangan ganggu. Kasih vote aja ya 🤫

Had No Choice (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang