"Satrio, Ibu tau kamu ngga terima dengan ide ini. Tapi Eyang Uti sudah memutuskan. Kamu mau kan, kenalan dulu, sama perempuan yang akan dijodohin?"
Satrio, laki-laki berkaos abu-abu itu duduk di salah satu gerbong kereta yang akan mengantarnya menuju Yogyakarta. Rumahnya, tempat asalnya. Sedikit bercerita, ia masih memiliki garis keturunan ningrat dengan Keraton Solo. Meski begitu, sejak kecil ia sudah tinggal di Yogyakarta. Satrio tidak mempublikasikan fakta ini, baginya asal-muasal keluarga hanya tercermin dari perilaku.
Beberapa hari yang lalu, Satrio mendapatkan panggilan telepon dari sang ibunda. Sebuah topik pembicaraan selama hampir tiga tahun terakhir yang belum usai; perjodohan. Satrio masih belum mengerti mengapa Eyang-nya sangat mendorongnya melakukan perjodohan. Selama tiga tahun ia berhasil mengelak terus-terusan. Tapi sekarang, ia dipaksa untuk menarik minat dengan ide perjodohan ini. Di luar itu, Satrio sedikit paham kekhawatiran Eyang-nya. Satrio adalah satu-satunya cicit laki-laki. Selainnya, ia tidak memiliki sepupu laki-laki sama sekali. Generasinya diisi oleh perempuan. Mungkin itu alasan sang Eyang sangat perhatian sekaligus menekan Satrio.
Mengingat ucapan sang ibu, Satrio kembali dibuat menghela napas. Sebentar lagi ia akan sampai di stasiun Tugu, tapi batinnya menolak pulang. Ia enggan pulang jika yang harus dihadapinya adalah perjodohan.
"Sesaat lagi kereta akan tiba di Stasiun Tugu, bagi anda yang akan turun di Stasiun Tugu untuk mempersiapkan barang bawaan, jangan sampai ada yang tertinggal ataupun tertukar."
Satrio bersiap, ia menghela napas dalam seolah beban yang dipikulnya sekarang bukan hanya tas ransel di punggung. Cepat atau lambat, ia tau harus menghadapi ini.
️️ ️️
️️ ️️
️️ ️️
ㅤㅤ
️️ ️️
️️ ️️️️ ️️
️️ ️️
️️ ️️
ㅤㅤ
️️ ️️
️️ ️️"Assalamualaikum, Eyang, Buk."
"Waalaikumsalam, Ya Gusti cah bagus."
Satrio tersenyum lembut saat menerima pelukan dari wanita lanjut usia. Wajahnya dipenuhi keriput, namun masih menyisakan gurat kecantikan yang menandakan masa kejayaannya dahulu. Beralih, Satrio menerima pelukan dari wanita yang paling dirindukannya, sosok ibu yang bersahaja.
Tidak banyak kata yang dikeluarkan Ratna, sang ibunda. Ia tahu perkara kepulangan, tujuan Satrio pasti ingin menyelesaikan perjodohan yang direncanakan. Tanpa itu, mungkin anak laki-lakinya akan berlama-lama di ibukota. Tapi di sisi lain, Ratna mendukung Satrio dengan lapang dada.
"Istirahat dulu, kamar kamu udah disiapin Mbok."
Satrio melirik Eyang yang masih menatapnya dengan welas asih, lalu senyuman lembut lainnya terukir di bibir. "Eyang, Satrio mandi dulu, nanti baru temenin Eyang lagi." Suara beratnya masuk ke pendengaran siapapun yang ada di ruang tamu nan asri itu. Jendelanya terbuat dari kayu, atapnya tinggi sehingga selalu terasa sejuk. Di depan rumah terdapat pekarangan luas, tanah yang dimanfaatkan untuk memelihara beberapa ekor ayam dan berbagai tanaman.
Sang Eyang mengangguk, mengizinkan cicitnya beristirahat sejenak usai perjalanan melelahkan. Satrio pamit, masuk lebih dalam ke rumah yang dulu dijadikan tempatnya bertumbuh. Kamarnya masih terjaga dengan rapi, di sisi kiri rumah yang dekat dengan ruang keluarga. Memasuki ruangan tersebut, Satrio menghempaskan diri di ranjang. Hal pertama yang dilakukan adalah mengeluarkan ponsel dari saku celana dan membuka aplikasi obrolan. Ruang obrolannya dengan Dara muncul di layar, Satrio menghela napas singkat. Pasalnya Dara belum membalas pesannya sejak tiga jam lalu.
Sejak ajakannya untuk membawa Dara ke Yogyakarta ditolak tempo hari, gadis itu jadi mengulur intensitas komunikasi mereka. Terkadang Dara membalas pesannya lima jam sekali, atau lebih. Satrio hanya bisa menebak kesibukan Dara, mengingat Mapala dalam persiapan pendakian. Tapi sudut batinnya mengatakan bahwa gadis itu sedang menjauhinya.
Satrio.
Dara.
Lagi sibuk?
Rindu.Satrio menaruh ponselnya di nakas, ia ingin tidur sebentar untuk mengembalikan energinya. Setidaknya untuk menghadapi segala situasi yang tidak terduga nanti, Satrio harus punya persiapan mental dan keberanian.
Tepat pukul lima sore, Satrio sudah segar kembali seusai mandi. Wajahnya yang sempat lesu kini tampak lebih bersemangat. Sejauh ini, Satrio menikmati segala interaksi dengan keluarga yang dirindukannya. Pun dengan sang Eyang, belum ada singgungan terkait perjodohan. Satrio merasa lega, berharap bahwa untuk malam ini ia bisa terbebas dari kemungkinan buruk.
"Udah adzan, sholat dulu." Ratna mengingatkan. Suara adzan sudah berkumandang di masjid-masjid sekitar rumah. Satrio ingin pamit untuk beribadah, namun dihadang sejenak oleh Eyangnya.
"Sekalian siap-siap, kita makan malam sama keluarganya Sekar."
"Sekar?"
"Iya, Sekar."
Satu per satu sel otaknya terhubung dan menciptakan sebuah asumsi, Sekar adalah perempuan yang akan dijodohkan dengannya. Sekar, nama yang tidak asing. Di hidup Satrio, ada beberapa nama 'Sekar' yang dikenal. Sebagian merupakan kawan sejawat di kampus, atau rekan organisasinya. Dari segelintir kenalanannya, Satrio yakin salah satunya bukanlah 'Sekar' yang akan dijodohkan dengannya.
"Nggih, Satrio sekalian siap-siap."
Setiba kembali di kamar, Satrio menyempatkan diri untuk lagi-lagi mengecek ponselnya. Ternyata ada notifikasi pesan, yang akhirnya dari Dara.
Dara.
Kak Satrio,
Jangan lupa makan ya.
Makasih udah kangenin gue.Sebilah senyum muncul di bibirnya. Dada Satrio seketika merasa lega, beban menunggu kabar Dara telah terangkat. Tekadnya bulat untuk menghentikan perjodohan ini dengan cara baik-baik dan santunㅡmengingat latar belakang keluarganya. Satrio tau bahwa ia dan Dara masih sekedar teman, tapi perasaan yang akhir-akhir ini hadir di lubuk hatinya bukanlah bercandaan atau bohongan.
Jodoh memang tidak ada yang tau, tapi tidak ada salahnya memperjuangkan perempuan yang sudah menumbuhkan rasa sayang di hatinya. Atau, setidaknya itulah yang ia inginkan.
️️ ️️
️️ ️️
ㅤㅤ
️️ ️️Waktu seketika terasa bergulir lebih cepat. Satrio sudah berada di ruas jalan, mobilnya terisi 4 orang; ia, Ratna, sang eyang putri, dan supir. Beberapa kali ia menghela napas diam-diam, malam ini mungkin akan terasa panjang. Setiba di restoran klasik dengan ornamen ke-Jawa-an, Satrio tersadar dari lamunan dan keluar dari mobil. Ia harus menjaga ucapannya agar tidak ada pihak yang tersakiti, terlebih mungkin 'Sekar' punya pemikiran berkebalikan dengannyaㅡmeski ia berniat untuk membujuk nantinya.
"Satrio, ayo masuk."
"Iya, Bu."
Kakinya melangkah mantap memasuki restoran yang lebih terlihat sebagai medan perang di mata Satrio. Ia berdeham pelan agar lebih tenang, sekarang ia terlihat sangat gusar. Usai merasa lebih baik, pandangannya jatuh ke meja di sisi kanan restoran itu yang telah terisi tiga orang. Melihat Eyang dan Ratna menuju ke sana, Satrio tahu bahwa tiga orang itu yang harus ditemui. Sambil memperlambat langkah, ia menatap satu per satu orang yang ada di sana.
Ah, ternyata dia.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," suara ringan dan lembut seperti angin memasuki telinganya beserta senyum yang tidak asing itu. "Rio, lama ngga ketemu."
Itu dia, Sekar, perempuan yang hampir tumbuh bersamanya. Teman masa kecil Satrio.
◇◇◇◇◇
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] 2958 Mdpl
ФанфикDi puncak Gunung Gede dengan ketinggian 2.958 Mdpl, dia malah menyatakan cinta di saat yang gue butuh adalah kopi panas. #ㅡenam pagi ; 1. photo cover by fullfeeled.