41. Sebahagia itu bersamanya

8.9K 1.7K 229
                                    

Yang sebel sama Pakde, tapi kangen, mana suaranya?

Benci dan cinta emang setipis itu bedanya #tsaahhh

* * *

Haris mematikan mesin mobilnya di halaman sebuah rumah setelah berkendara selama 3.5 jam. Ia melakukan gerakan kecil untuk melemaskan ototnya, kemudian menoleh pada gadis yang duduk di sebelahnya.

Gadis itu tampak cantik seperti selalu. Tapi ekspresinya nampak gugup. Dan Haris dapat memahami alasannya.

Haris mengulurkan tangannya dan meremas tangan gadis itu. Membuat gadis itu menoleh padanya.

"Iva baik-baik saja?" tanya Haris lembut.

"Bapak... saya takut," jawab Haiva dengan suara mencicit.

"Saya mengerti," kata Haris sambil kembali meremas tangan Haiva. "Maaf, Iva jadi harus menghadapi semua ini. Tapi terima kasih sudah bersedia menemani saya kesini. You are such a brave girl."

Haiva bukan jenis orang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Dia lebih suka mengalah dan tidak terlihat, daripada harus berkonflik dengan orang lain. Bergabung dalam klub debat saat kuliah, serta menjadi Quality Inspector, barangkali berhasil meningkatkan sedikit kepercayaan dirinya dalam mengemukakan pendapat. Meski demikian, karakter dasarnya sejak lahir memang tidak mudah berubah. Tapi demi Haris, gadis itu harus memaksakan diri melakukan banyak hal yang bertentangan dengan sifat aslinya. Hal itu membuat Haris tersentuh.

"Apa saya pernah bilang? Saya beruntung memiliki Iva."

Wajah Haiva yang sangat mudah berubah merah, dengan pipinya yang sebulat bakpao ini benar-benar menggemaskan. Andai Haris tidak sadar bahwa mereka berada di halaman rumah Ikram, putra sulung Halida, barangkali Haris sudah menciumnya.

Haiva akhirnya setuju untuk mencoba bertemu dengan keluarga Halida pada acara akikah cucunya yang pertama. Hari Sabtu pagi itu Haris menjemputnya dan langsung bertolak ke Bandung. Haris tahu bahwa kemungkinan Haiva belum tentu betah jika harus menginap di rumah Hana (apalagi di rumah Halida) atau di hotel bersamanya, sehingga Haris memilih pulang-pergi saja ke Bandung, tanpa menginap.

"Penampilan saya cukup sopan kan Pak? Make-up saya nggak lebay kan Pak?"

"You are perfect, as always," kata Haris sambil tersenyum, mencoba menenangkan.

"Ih gombal!" Haiva protes. Tapi senyumnya merekah.

Haris tertawa. Lalu menatap gadis itu, berusaha menguatkan. "Saya akan selalu di samping Iva."

Haiva mengangguk. Dan setelah menarik napas beberapa kali lagi, Haiva mengangguk pada Haris, dan keluar dari mobil tersebut.

Mereka berjalan bersisian masuk ke dalam rumah yang pintunya sudah terbuka. Sejumlah tamu terlihat sudah datang lebih dulu, barangkali karena Haris dan Haiva baru tiba setelah lewat siang hari.

Tidak jauh dari pintu masuk yang terbuka itu, Haiva bisa melihat Halida, dan seorang laki-laki seusia Haiva berdiri di sampingnya. Meski Halida tidak pernah benar-benar bersikap buruk pada Haiva, tapi karena Haiva tahu bahwa Halida tidak menyukainya, ia jiper juga. Langkahnya jadi berat.

CERITA YANG TIDAK DIMULAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang