Unscented Flowers - Oneshot

1K 174 11
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto
(Saya tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfiksi ini)

SasuHina

Hanahaki troupe, oneshot, angst, romance, memory loss, open ending, alternate reality

Unscented Flowers

Ironis. Hanya kata itu yang mampu menggambarkan kondisi Sasuke saat ini. Pemuda itu terbatuk pelan, lantas meraih sehelai kelopak berwarna keunguan yang menyeruak keluar dari celah bibir pucat pasinya. Dia berdiri di balik dinding, menatap ke seberang, membingkai sosok Hinata yang tengah bersimpuh seraya memuntahkan banyak kelopak berwarna oranye. Darah, air mata, dan helaian kelopak kenikir berbaur di atas rerumputan. Tak ada seorang pun di sekitar sana. Hanya ada Hinata dan dia, Sasuke, yang telah menjadi saksi bisu sejak beberapa saat lalu, mengekor sang gadis yang sontak berlari pergi dari kerumunan usai bertemu dengan sejoli baru Konoha, yakni Naruto dan Sakura.

Jantung Sasuke berdenyut nyeri. Senyeri kerongkongan yang kini memekarkan lavandula di mulutnya.

Hanahaki. Siapa sangka penyakit yang semula orang kira sebagai mitos ternyata betul terjadi? Sasuke dengan sharingan-nya bahkan tak menyangka. Hal seperti ini adalah hal di luar nalar ninja dengan segala tetek-bengek kemungkinan mereka.

Semua ini bermula ketika dia dan Hinata menjalankan misi berdua sepekan lalu. Mereka harus mengantarkan seorang kepala desa kembali ke desa terpencilnya di dekat Oto. Sekembalinya dari sana, tepat di tengah hutan pinus, mereka dihadang segerombolan perampok dan salah satu dari mereka memiliki darah klan khusus yang mampu menginfeksi tubuh orang yang terkena percikan darahnya. Korbannya akan terkena hanahaki, kondisi ketika seseorang akan memuntahkan kelopak bunga (bahkan bunga utuh) jika cintanya bertepuk sebelah tangan. Meski sekilas terlihat remeh, tapi penyakit ini bisa membunuh seseorang perlahan. Hanya ada dua pilihan penawar hanahaki. Pertama, tidak bertepuk sebelah tangan. Kedua, menjalani operasi otak untuk melupakan sosok yang dicintai.

Tak ada obat lain yang mujarab untuk hanahaki selain dua opsi di atas.

Tentu awalnya Sasuke hanya terkekeh getir. Tak ambil pusing dengan ancaman sang musuh. Sasuke selalu kembali pulih seberat apa pun luka dan racun yang menghampiri tubuhnya. Hanahaki bukan masalah serius untuknya.

Namun, selang beberapa hari saat tiba di Konoha, Sasuke menemukan Hinata terbatuk-batuk. Sadar tengah ditatap seseorang, sepasang iris mutiara dan oniks berserobok. Kala itu, untaian kelopak kenikir berwarna oranye terjatuh perlahan dari sela bibir ranum sang gadis.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Hinata sangat tergila-gila pada Naruto. Sasuke, meski beberapa tahun absen dari Konoha ketika menjadi buronan, tetap mengetahui kenyataan itu. Karena jujur saja, kenyataan itulah yang menjadi salah satu alasan kuatnya untuk meninggalkan Konoha. Sasuke menyukai Hinata. Hinata menyukai Naruto. Naruto menyukai Sakura dan gadis berambut merah muda itu justru menyukai Sasuke. Cinta segiempat yang rumit, bukan? Namun, publik tak tahu kehadiran cinta segiempat tersebut. Mereka hanya tahu cinta segitiga hadir di antara Hinata, Naruto, dan Sakura. Sasuke adalah sebuah pengecualian yang bukan pengecualian.

Berbeda dengan tiga orang lain, Sasuke lebih pandai membungkus perasaannya. Bersikap biasa saja di depan semua gadis sampai orang-orang tak tahu pada gadis yang mana hatinya tertambat. Dia pintar memasang poker face dan orang lain tak perlu turut campur dalam urusan romansanya.

Sekali lagi, kisah cinta mereka berempat adalah bentuk realistis dari ironi.

Sampai akhirnya, Sakura menerima penyataan cinta Naruto dan kabar bahagia itu disambut suka cita oleh penduduk Konoha, terkecuali tentu saja Hinata.

Gadis itu menderita seorang diri. Baik Hinata maupun Sasuke, keduanya sama-sama tutup mulut soal hanahaki yang mereka idap. Sasuke tahu Hinata mengidap hanahaki karena Naruto. Namun, tak seorang pun, termasuk Hinata, mengetahui bahwa Sasuke tengah bergulat dengan hanahaki karena Hinata.

**

Tubuh Sasuke jatuh terduduk. Punggung tegapnya bersandar pada dinding. Dari jarak yang tak terpaut cukup jauh, Sasuke masih bisa mendengar isakan Hinata, suara parau sang gadis yang terus menceloskan nama pemuda oranye. Gigi-geligi Sasuke bergemeletuk. Persetan dengan hanahaki!

Menyusut darah di sisi bibir, sang pemuda bangkit dan menghampiri Hinata, membangunkan sang gadis dan menyandarkan kepalanya di bahu.

Jemari lentik Hinata yang gemetaran mencengkeram erat pakaian yang Sasuke kenakan, seraya berpesan pada sang pemuda, “Jangan tinggalkan aku. Aku tak ingin sendirian saat ini. Hanya kau yang tahu soal hanahaki yang kuidap.”

Sasuke mendongak ke langit, mencari jawaban untuk ucapan Hinata. Namun, tak ada kalimat yang terajut. Sasuke memilih meminjamkan bahunya dalam diam.

“Aku selalu tahu Naruto-kun menyukai Sakura-san. Mereka terlihat serasi. Sama-sama sosok yang luar biasa dan menjadi inspirasi banyak orang. Aku tidak seharusnya menempatkan diriku di antara hubungan mereka. Aku bukanlah siapa-siapa. Seharusnya … seharusnya aku lebih tahu diri.”

Lavandula terasa memenuhi kerongkongan pemuda Uchiha dan susah payah ditelannya kembali dalam-dalam. Telinganya terus-menerus mendengarkan pujian gadis yang dicintainya, pujian yang diberikan bukan untuk Sasuke.

**

Kali pertama Sasuke tidak dapat lagi menahan lavandula berjatuhan dari mulutnya adalah ketika dia menjenguk Hinata di rumah sakit. Gadis itu tampak begitu kuyu. Tubuhnya semakin kurus. Lingkaran hitam menghiasi mata sang gadis, seperti rembulan yang menyembul tipis ditutup awan hitam.

Yukata yang biasanya membalut pas tubuh sang gadis kini terlihat longgar, menampakkan klavikula yang tampak menonjol.

Meski dengan kondisi fisik menyedihkan, gadis itu masih bisa memamerkan senyuman ramah, mempersilakan Sasuke masuk ke ruangan dan menduduki kursi di sisi ranjang. Oniks tertegun, tak kuasa mengalihkan pandangan ke lain arah, selain pada Hinata.

Rasa bersalah menggerogotinya. Seharusnya, beberapa saat lalu Sasuke bisa melindungi Hinata sebelum musuh sialan itu. Seharusnya, Sasuke bisa melumpuhkannya tepat sebelum dia menempelkan ibu jari penuh darahnya ke pipi Hinata.

Seharusnya, Sasuke membunuh mereka semua.

Namun, Hinata melarangnya. Hinata melarang Sasuke memakai jalan pintas dengan mengatasi segala permasalahan melalui cara membunuh. Sasuke bukan lagi kriminal. Sasuke kini berstatus sebagai ninja. Hinata ingin Sasuke hidup dengan jalan ninja, yang pada akhirnya melembekkan kekejaman sang Uchiha dan membiarkan mereka semua melarikan diri.

Mereka masih bisa menghirup udara bebas. Sementara di sini, di ruangan ini, Sasuke dan Hinata bertarung dengan hanahaki yang menghalangi kerongkongan mereka.

Sasuke bukan Naruto. Dia tidak seharusnya terlalu berpegang pada prinsip ninja yang masih memiliki belas kasih. Namun, Sasuke sadar, jauh di lubuk hatinya, dia berharap bisa menjadi seperti Naruto jika dengan begitu Hinata bisa berpaling padanya.

“Hinata—“

Saat itulah, kelopak lavender termuntahkan dari mulut sang pemuda, tepat di hadapan Hinata, layaknya berguguran dari tangkainya.

Kala itu, Hinata menyadari bahwa bunga lavandula bersemayam dalam tubuh Sasuke. Sasuke terkena hanahaki dan memiliki kisah cinta yang kandas seperti dirinya.

Kenikir oranye termuntahkan dari mulut Hinata tepat di hadapan wajah Sasuke, seolah mereka tengah berbagi kisah cinta yang sama-sama terbenam, seolah mereka tengah bercerita tentang rasanya bertepuk sebelah tangan. Andai saja penyebab munculnya bunga-bunga yang kini memenuhi ranjang Hinata bukanlah hanahaki, tentu pemandangan yang tersaji saat ini merupakan pemandangan yang indah—ranjang putih yang bertaburan kelopak bunga.

“S-Sasuke-kun? Kau …? Siapa gadis yang kau cintai?”

Sasuke merapatkan bibir sekuat yang dia bisa. Jangan. Dia tidak boleh meloloskan nama sang gadis sekarang. Jika tahu bahwa Hinata-lah orang yang Sasuke cintai, dengan kondisi seperti ini, Hinata akan memikul beban sendirian. Dia akan menyalahkan dirinya sendiri.

“Apakah kau menyukai Sakura-san?”

Sasuke ingin menelengkan kepala. Sasuke ingin menyangkal pertanyaan tersebut sebelum menjadi sebuah penyataan.

Namun, tidak. Sasuke memilih mengangguk. Pemuda itu memilih berdusta.

Di luar dugaan, Hinata melingkarkan tangan di leher Sasuke, membawa kepala Sasuke bersandar pada bahu ringkih sang gadis. Mata Sasuke terpejam, refleks menyesap aroma obat-obatan yang menguar dari sang gadis.

Sasuke hanya pernah menangis tiga kali dalam hidupnya, yaitu ketika klannya dibantai, selepas bertarung dengan Naruto setengah mati, dan saat Itachi gugur.

Kini, Sasuke menangis untuk yang keempat kali dalam hidupnya.

**

“Beraninya kau datang kemari, Dobe,” ujar Sasuke dengan sengit.

Uchiha muda itu harus menahan diri untuk tidak meludahi wajah calon hokage Konoha itu, tepat ketika dia berdiri di ambang pintu. Sulur surai merah muda menyembul di balik bahu sang pemuda, menandakan bahwa dia datang bersama kekasihnya.

Untuk apa mereka datang menengok Hinata berdua? Memamerkan hubungan mereka pada korban kisah cinta mereka? Naruto memang tidak tahu apa-apa soal hanahaki yang diidap Hinata. Namun, tidak mungkin pemuda itu begitu bebal sampai-sampai tidak sadar bahwa Hinata menyukainya, bukan? Kini, dia berani menampakkan batang hidung di depan Hinata yang sakit dengan membawa Sakura. Di mana kepekaan pemuda itu sebagai manusia? Sasuke mempertanyakan.

Andai saja Naruto lebih peka dan membalas perasaan Hinata, gadis itu tak perlu sengsara seperti ini.

Jantung Sasuke berdenyut.


Apakah itu yang dia inginkan? Apakah Sasuke benar-benar bisa merelakan Hinata untuk Naruto?

Bukankah jika itu kesampaian yang paling menderita adalah Sasuke sendiri?

Sasuke tak keberatan. Mati karena hanahaki pun tak masalah jikalau itulah bayaran setimpal untuk kebahagiaan Hinata. Sasuke selalu bersiap menggadaikan emosi dan perasaannya. Sasuke siap mengorbankan segalanya. Toh, sejak awal dia memang tak memiliki siapa pun dan apa pun. Tinggal dialah Uchiha yang tersisa di dunia ini. Tak ada keluarga yang menantikan keturunan. Tak ada keluarga yang bisa menjadi wali dalam pernikahannya.

Lain halnya dengan Hinata.

Hiashi pasti mengidam-idamkan bisa menggendong seorang cucu, bukan?

“Aku hanya ingin menjenguk Hinata. Lagipula, kenapa kau ada di sini, Sasuke? Pantas saja kau tidak ada di rumah. Aku berniat mengajakmu juga, tapi rumahmu kosong.”

Sasuke mengerling pada Hinata. Gadis itu mulai terlihat panik, seakan berusaha menelan kembali kelopak kenikir yang mulai memenuhi rongga mulutnya, merambat meronta keluar dari mulutnya.

Sasuke bersyukur kejadian kemarin tidak diketahui siapa pun dan keduanya membereskan kelopak yang memenuhi ranjang untuk menghilangkan barang bukti. Namun, bukankah lebih baik Naruto tahu apa yang telah dia perbuat karena kebebalannya? Bukankah lebih adil jika Naruto dihantui rasa bersalah karena telah menjatuhkan kemalangan pada Hinata?

Tangan Sasuke tanpa sadar terkepal. Sang pemuda berusaha mengatur napas, menghindari perkelahian di ruang inap yang akan berujung pada diusirnya dia dan Naruto.

“Hinata butuh istirahat. Pergilah, Dobe.” Biarlah Sasuke yang mengusir pemuda rubah itu, sebelum emosi Sasuke terlampau mendidih dan ruang inap ini menjadi arena pertarungan.

Meski tak terima, toh, Naruto dan Sakura lekas undur diri dari sana.

Sasuke mengalihkan pandangan pada Hinata dan sang gadis terkikik kecil sembari geleng-geleng kepala.

“Terima kasih, Sasuke-kun. Terima kasih sudah menyelamatkan perasaanku.”

**

Keluarga Hinata dan beberapa penghuni rumah sakit baru mengetahui hanahaki yang diidap Hinata satu minggu kemudian. Saat sang gadis memuntahkan darah dan bunga kenikir utuh dari mulutnya usai meneguk pil tidur. Hiashi dan Hanabi terpaku. Hanabi sigap memanggil dokter, sedangkan Hiashi mematung menatap sang gadis yang jatuh tak sadarkan diri dan Sasuke yang berusaha mengguncangkan tubuh Hinata.

Hiashi memberikan ultimatum kepada sang anak, menyegerakan dokter untuk melakukan operasi otak dan mengeliminasi ingatan Hinata.

“Kumohon, Ayah! Jangan lakukan operasi itu! Aku tak mau melupakan Naruto-kun! Ayah! jangan rebut ingatan tentang Naruto-kun dariku! Jangan rebut ingatan ini, Ayah!” Hinata berusaha meronta dari tangan-tangan perawat, memohon pada sang ayah yang tak bergeming sekalipun Hinata tengah mengiba sedemikian rupa.

Sasuke yang berdiri di sisi Hiashi hanya bisa menyaksikan dalam diam saat tangan-tangan Hinata berusaha menggapai sosok sang ayah, meminta sang ayah membatalkan operasinya. Suara raungan tangis dari sang gadis terdengar begitu pilu, terdengar begitu putus asa.

Hiashi tentu tak punya pilihan lain. Jika dibiarkan, Hinata akan mati. Sebagai ayah, Hiashi tak ingin melihat anaknya menderita lebih lama lagi dan mati begitu saja. Dia sudah kehilangan istri yang dia cintai dan keponakan yang seharusnya dia jaga. Hiashi tak ingin menambah deretan kehilangan orang yang terkasih lebih dari itu, terlebih dia tak mau kehilangan Hinata.

Selama ini, Hiashi telah gagal menjadi ayah yang adil bagi Hinata. Hiashi masih ingin menebus kesalahannya. Karenanya, Hiashi menulikan telinga dari teriakan sang anak. Hiashi berusaha bersikap dingin ketika jemari-jemari Hinata berusaha menarik lengan yukata yang dikenakannya.

Satu hal yang Hiashi tidak duga adalah keberadaan sosok Uchiha yang semenjak beberapa minggu lalu menjadi lebih dekat dengan sang gadis. Sasuke meminta maaf padanya sembari bersujud. Hiashi tidak benar-benar menyalahkan Sasuke. Sasuke tidak lalai menjaga Hinata karena sejak awal, Sasuke tak punya kewajiban menjaga sang anak. Mereka berdua adalah ninja profesional dan melindungi diri sendiri adalah hal dasar yang diajarkan di akademi. Namun, kepala pongah milik Uchiha itu bersujud padanya. Seorang Uchiha bersujud minta maaf pada seorang Hyuuga. Lelucon apa ini? Wajah Fugaku pasti tengah merah padam saking malunya.

“Angkat kepalamu, Sasuke. Aku mengerti kenapa semua ini terjadi. Aku juga paham kenapa kau tidak bisa berkata terus terang soal hanahaki yang Hinata idap.” Itulah yang Hiashi katakan kala itu.

Apakah rasa bersalah yang membuat Sasuke merendahkan diri dengan meminta maaf pada Hiashi dan menemani Hinata selama di rumah sakit?

Kebingungan Hiashi terjawab tak berselang lama. Usai suntikan menidurkan sosok sang gadis, sosok Sasuke tiba-tiba limbung. Sebelum tubuhnya menyapa lantai, kelopak lavandula menyeruak keluar dari mulut sang pemuda.

Rupanya, pasien hanahaki tak hanya Hinata. Ada orang lain yang terkena hanahaki dan berjuang melawan penyakit itu sendirian.

Hiashi tak mengenal dekat sosok para Uchiha, termasuk Sasuke. Namun, sang pria mau tak mau merasa iba pada pemuda malang yang kini tak sadarkan diri.

**

Sasuke terperanjat dari ranjang dan bergegas menyibak selimut. Apa yang telah terjadi pada dirinya? Kenapa dia tertidur di ranjang rumah sakit? Kenapa tubuhnya dipasangi selang infus?

Jangan bilang, dia pun menjalani operasi otak untuk menghilangkan ingatan gadis yang dia cintai?

Hinata? Bagaimana dengan Hinata? Ah, spontan tubuh Sasuke kembali terhempas ke ranjang. Syukurlah. Sepertinya, dia masih mengingat Hinata. Itu artinya, dia tidak menjalani proses operasi otak. Dia masih bisa mengingat pemilik surai indigo itu dengan jelas. Suaranya, senyumannya, dan … raungan getir sang gadis sesaat lalu.

Pintu kamar rawat sang pemuda Uchiha terbuka, membuat Sasuke bersikap waspada. Namun, saat melihat sosok yang menjenguknya adalah pemilik bola mata mutiara, Sasuke terbelalak.

Hinata menghampirinya seraya menyapa. Wajahnya tampak berbinar dengan senyuman berseri-seri.

“Hinata? Kau … kau ingat siapa Naruto?”

Air muka Hinata tiba-tiba berubah bingung. “Naruto? Siapa itu?”

Begitu, ya. Jadi, Hinata sudah menjalani operasi otak dan melupakan sang pemuda yang dia cintai. Dengan demikian, Hinata sudah sembuh dari hanahaki. Sasuke ingin merasa lega. Namun, entah kenapa perasaannya terasa terganjal. Jika dia ada di posisi Hinata, akankah dia bahagia? Melupakan seseorang yang dicintai bukanlah hal menyenangkan, apalagi dipaksa melupakan.

Hinata duduk di sisi ranjang dan tersenyum lebih lebar.

“Aku hanya bercanda, Sasuke-kun. Aku masih ingat Naruto-kun. Aku masih ingat bahwa dia adalah calon hokage dan juga calon suami Sakura-san.”

Sasuke tersentak. Tunggu. Bagaimana bisa? Kenapa Hinata masih bisa mengingat Naruto? apakah operasinya berjalan tidak lancar dan Hinata masih bisa mengingat Naruto? Apakah … apakah Naruto dan Hinata sebetulnya saling mencintai?

Dilihat dari mana pun, kondisi Hinata seperti sedia kala. Dia terlihat jauh lebih bugar.

“Sasuke-kun, sejak kapan kau menyukaiku?”

Sasuke nyaris terjatuh dari ranjang andai saja tidak berpegangan pada tiang infus. Apa yang barusan Hinata tanyakan? Dari mana Hinata mengetahuinya?

“Sebelum menjalani operasi, ayah membisikan banyak hal padaku. Salah satunya, ayah bilang, kau tidak berhenti memanggil namaku saat aku tidak sadarkan diri. Kemudian, ayah bilang, ketika kita masih kanak-kanak, kau sering diam-diam mengintipku dari sela pintu gerbang kediaman Hyuuga. Dulu, saat masih di akademi, aku selalu menemukan setangkai bunga di depan pintu. Aku tak pernah tahu siapa pengirimnya. Ayah bilang, ayah pernah menangkap basah Sasuke-kun tengah meletakkan setangkai bunga. Setelah mendengar ucapan ayah, kerongkonganku tiba-tiba menjadi sangat lega. Aku tidak lagi memuntahkan kenikir oranye. Operasi pun dibatalkan. Kau tahu apa artinya?”

Sasuke ingin menjawab “tahu”. Otak geniusnya bisa menarik kesimpulan dari penjelasan Hinata. Namun, alih-alih berkata demikian, Sasuke menelengkan kepala, berpura-pura tidak tahu. Sasuke ingin mendengarnya langsung dari Hinata.

“Itu karena aku mulai menyukaimu. Penawar hanahaki ada dua. Pertama, cintaku dibalas. Kedua, operasi otak untuk menghilangkan ingatan. Namun sesungguhnya, masih ada satu lagi penawar hanahaki. Penawar hanahaki ketiga, yakni jatuh cinta kembali.”

Satu, dua, tiga, empat, ah! Sasuke merasakan satu per satu kelopak lavandula yang semula menempel di rongga mulutnya kini enyah. Perlahan, Sasuke merasa kerongkongannya kembali lega, seperti saat sebelum dia terkena hanahaki.

“Mulai saat ini, aku mohon bantuannya, Sasuke-kun. Kita masih harus berproses ke depan. Namun, aku bersyukur, sangat bersyukur dicintai olehmu.”

Ah, Sasuke tak bisa menahan diri untuk tidak mendekap sang gadis. Ya, memang banyak proses yang harus mereka lewati untuk menjadi pasangan kekasih. Namun, Sasuke berjanji akan mendampingi Hinata sampai dia benar-benar mencintainya. Sasuke akan mendampingi Hinata ketika dia harus berhadapan dengan Naruto dan Sakura. Sasuke bukanlah pemuda yang suka mengumbar janji. Namun, biarlah kali ini, Sasuke berjanji pada Hinata seorang dan memegang janji itu baik-baik.


Kini, Sasuke dan Hinata bisa menarik napas lega. Meski berawal dari ironi, toh, pada akhirnya mereka menemukan akhir yang bahagia juga.

Fin

Thanks for reading!

(Grey Cho, 2020)

Unscented FlowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang