Lili sekarang mondar mandir di depan cermin kamarnya, dia menatap pantulan diri nya di cermin yang sekarang menampilkan raut gelisah dan resah.
" aku butuh Liyo sekarang " putusnya.
Iya, hanya Liyo yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yg sekarang memenuhi kepala nya itu. Hanya Liyo yang mampu mengerti Lili lebih dari diri nya sendiri.***
Lili menghampiri Liyo yang tengah fokus dengan game yang belakangan ini menyita waktu Liyo,dan Lili ga suka itu.
"Yo, bisa udahan dulu ga?"
"bentar Li, nanggung nih" sahut Liyo seadanya
"kalo aku bisa jadi game enak kali ya, bisa dengan mudah menarik perhatianmu" ujar Lili dengan lirih.
Mendengar suara lirih itu Liyo segera menjauhkan hp nya dan menghadap ke arah Lili yang sekarang menampilkan raut sedih dan juga bingung.
"ada apa?" Liyo bertanya dengan suara lembut yang selama ini mampu menenangkan Lili
"kamu ga lanjutin ngegame nya? Katanya nanggung" Lili masih mode murung entah karena game di hp Liyo atau karena kebingungan yang ada dikepala nya sekarang.
"maaf ya udah mengabaikanmu." Liyo sekarang mengusap kepala Lili dengan lembut. Hal kecil yang mampu membuat Lili merasa disayangi.
Lili meluruskan pandangan ke mata coklat itu, mata jernih yang selalu bisa menenangkannya. Lili tak pernah bosan berlama-lama menatap mata itu.
"kamu lagi ada masalah?" tanya Liyo dengan lembut
"aku bingung Yo" Lili menundukkan kepalanya dengan raut bingung dan sedih yang benar-benar jelas dimata Liyo.
Liyo hanya diam menunggu Lili bercerita dengan sendiri nya, ya selalu seperti itu. Liyo tak pernah memaksa Lili untuk bercerita, tidak pernah. Liyo hanya setia mendengarkan apa yang Lili curahkan, apa yang Lili mau bagi pada nya.
" Yo, apa kamu pernah merasa kehilangan sebagian diri mu sendiri?" tanya Lili dengan serius. Liyo hanya mengkerutkan dahi dan mengangkat satu alisnya.
" Yo aku merindukan sastra-sastra ku. " sekarang kesedihan benar-benar terpancar jelas di wajah Lili.
" Yo apa kamu tahu, sastra ku sudah lama mati. Sastra ku ikut menghilang bersama dengan dia yang pergi dari hidupku" sekarang Lili sudah terisak di bahu Liyo.
Liyo mengelus pelan puncak kepala Lili, hati Liyo terasa sakit mendengar kata demi kata yang dicurahkan Lili. Sakit rasa nya melihat Lili menangis, dan lebih sakit ketika dia tahu apa yang membuat Lili menangis. Lili masih menangisi orang yang sama.
"sastramu tidaklah mati ataupun pergi. Sastra mu hanya butuh objek baru yang dapat menghidupkan nya Li"
"aku rasa sastra ku memang hanya untuk dia Yo, ketika dia pergi sastra ku pun ikut mati"
"kamu hanya butuh orang baru yang dapat melahirkan sastra-sastra baru yang kelak bisa kamu ajak merangkai kisah baru Li, percaya sama aku" Liyo melepaskan pelukan nya dan menatap lurus ke mata yang sekarang dipenuhi airmata itu. Liyo berusaha meyakinkan Lili lewat tatapan hangatnya itu.
"tapi aku hanya mau dia Yo. Hanya, dia. Hanya dia yang mampu menghidupkan sastra-sastra ku itu."
Liyo menatap Lili dengan sendu. Liyo sangat paham akan ucapan Lili. Karena Liyo jelas tahu seberapa dalam perasaan Lili pada orang itu. Entah sudah berapa ribu kali Liyo meyakinkan Lili bahwa waktu akan membawa pergi perasaan itu. Tapi entah sudah berapa juta detik pula waktu berjalan tapi perasaan itu masih sama seolah mempertegas bahwa perasaan itu tak lekang oleh waktu.
"aku harus bagaimana Yo?" tanya Lili hampir frustasi.
"kamu hanya belum menemukan pengganti dia Li. Aku yakin suatu saat nanti akan ada orang yang tepat untuk mu, untuk sastra-sastra mu itu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Liliyo
РазноеHanya rangkaian kata dari isi pikiran seorang gadis yang mencoba mencari tahu isi hati nya sendiri. Ini bukan cerita cinta yang biasa kalian baca, ini juga bukan cerita yang mampu membuat kalian berbunga-bunga. Ini hanya cerita absurd yang mewakili...