Epilogue

271 24 36
                                    





────────────



[SPRING : 2013]

"KAMU menjatuhkan ini."

Sebuah bros kupu-kupu memadati visi ketika aku sedang mengencangkan tali sepatu, sontak aku mengangkat kepala dan berhadapan dengan murid idaman yang selalu ramai diperbincangkan oleh para siswi di sekolah.

Menggilir netra antara bros dan si pemuda, aku menggeleng, "itu bukan punyaku."

"Aku tahu." Dia duduk di sampingku, menyeringai imbesil sambil memugar surai eboninya ke belakang. "Ini hanya alasan agar aku bisa bicara denganmu."

Park Jimin.

Nama si pemuda pindahan dari Busan tersebut, Imogen sempat memberitahuku. Pun sebelum deklarasi atas eksistensinya tersebar luas, kami sudah pernah saling bersemuka. Pertemuan singkat yang mungkin hanya berlangsung sekitar sepuluh sekon atau lebih, Jimin yang baru saja memeriksa jadwalnya sementara aku melangkah terburu-buru karena terlambat.

Itu merupakan perjumpaan yang berantakan jika seseorang bertanya. Maksudku, aku mempermalukan diri sendiri dengan tidak memerhatikan presensinya dan hanya langsung berjalan lurus ke arahnya. Ya, sebuah klise, seorang gadis tidak sengaja menabrak si lelaki, tetapi perbedaannya, bukan aku yang terkena magis cinta pada pandangan pertama.

Aku terkekeh. "Kita berbagi kelas kalkulus yang sama."

"Yah, sepertinya aku tidak ingin hanya membahas tentang limit, diferensial atau turunan."

Pada impresi awal, tidak ada yang istimewa. Kupikir Jimin menjadi populer barangkali karena dia berbeda dalam banyak hal. Bagiku, setiap gadis sangat terpukau padanya lantaran mereka baru saja menemukan pemandangan baru. Tetapi, Jimin telah membuktikan bahwa dia lebih dari sekadar pemuda Asia yang tidak tahu apa-apa. Faktanya, dia tidak mencoba berbaur dengan semua orang, melainkan dia seolah membuat mereka berbaur dengannya. Auranya memicu vibrasi yang divergen hingga banyak orang tergiur terhadap konsep pertemanan dengan pemuda bermarga Park itu.

"Mau kubantu?" tawarnya saat aku tengah berupaya menyatukan surai agar menjadi simpul kuncir kuda. Sebenarnya, itu adalah aktivitas yang sederhana dan mudah. Tetapi, apabila seseorang menyodorkan asistensi ketika sangat kebetulan letih sedang menguasai psike, kamu tidak bisa menolak tawaran baik mereka, bukan? Jadi, aku hanya mengangguk sambil tersenyum apresiatif dan menyerahkan ikat rambutku, lalu membelakanginya untuk memberikan akses. "Haruskah aku mengatakan sesuatu tentang rumor yang beredar?"

Sesungguhnya, ada sesuatu yang masih tidak bisa kupahami tentang Jimin. Semua orang konstan melafazkan bahwa dia sangat apatis, dingin, bahkan menolak untuk mendengungkan suara indah dan halusnya kepada dunia. Dia sama sekali tidak hangat bagi kebanyakan orang.

Tetapi kepadaku? Ya, mungkin rumor itu memang benar.

"Uh, tidak—"

"Itu benar. Aku menyukaimu."

Seketika aku menahan napas, Jimin secara terang-terangan menyampaikan kalimat itu tidak membantu mengendurkan cais di jantung. Maksudku, aku sudah mengetahui bahwa dia menyukaiku berkat Taehyung dan Imogen, dan deklarasi tersebut telah menyebar dengan cepat dari rekan satu tim futbol hingga ke para pengagumnya.

Kupikir itu hanya omong kosong saja, meski sudah pernah merasai beberapa pemuda di sekolah merayu dan mengajak berkencan, aku baru memahami bahwa ternyata mereka semua berlagak demikian agar kapabel mendapatkan atensi Esme. Bukan aku untuk mereka, melainkan Esme. Tetapi, Jimin? Dia tidak melakukan itu. Aku tahu karena aku telah memerhatikan setiap kali si pemuda berada di sekitarku.

QuarterbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang