Anjani segera merapikan peralatan tulisnya begitu jam pelajaran berakhir. Setelah guru mata pelajarannya benar-benar telah meninggalkan kelas, Anjani segera mendekati bangku Anza. Gadis itu tidak lupa membawa sebendel proposal perpisahan sekolah yang sudah dikoreksi olehnya. Sebagai ketua panitia pelaksanaan perpisahan kelas XII, Anjani berencana meminta saran dari Anza, siapa tahu terdapat kesalahan pada proposal yang disusun oleh timnya.
Anjani berjalan lebih cepat ketika Anza sudah berdiri sambil menenteng tas ranselnya. Kelihatannya pemuda itu berniat segera pulang. Sebelum Anza benar-benar berpamitan pada Zuhdan yang merupakan teman sebangkunya, Anjani segera memanggil pemuda itu. "Anza!"
Anza menoleh. Pemuda itu menatap Anjani dengan beberapa kerutan di keningnya. "Ada apa, Jani?"
Anjani menyukainya. Saat Anza memanggilnya Jani. Terdengar sangat akrab di telinga Anjani. Padahal sebelumnya Anjani lebih suka dipanggil lengkap "Anjani." "Aku mau konsultasi proposal perpisahan," jawab Anjani. Gadis itu melirik tali ransel yang sudah menggantung di bahu Anza. "Sudah mau pulang?"
Anza mengangguk. "Gimana kalau aku bawa pulang, terus cek di rumah? Besok kita bahas bareng," tawar Anza.
Anjani menimbang sejenak. Sebenarnya tidak masalah. Toh, masih ada waktu sampai batas penyerahan proposal. Akan tetapi, Anjani mengubah pikiriannya segera setelah melihat seseorang muncul dari balik pintu kelasnya. Elbi.
"Anjaaa!" Elbi memanggil Anza dengan manja. Anjani tidak menyukainya. "Pulang, yuk!"
Anza menoleh dan mengangguk pada Elbi. "Maaf, Anjani. Aku pulang du---"
"Anza ..." Anjani tidak tahu mengapa dirinya begitu nekat menahan Anza untuk tetap bersamanya, "... kami berencana rapat hari ini. Kamu bisa hadir?"
Kening Anza makin mengerut. "Kok mendadak?"
Anjani memang berniat rapat, tetapi melibatkan Anza merupakan spontanitas. Anjani tidak ingin Anza pulang bersama Elbi. "Aku lupa mengabari kamu," jawab Anjani beralasan. "Kamu bisa hadir, kan? Banyak hal yang ingin kami diskusikan sama kamu."
Anza tampak menghela napas sejenak. Dia menoleh kembali pada Elbi yang menatapnya tidak mengerti. "Aku antar Kakak Elbi dulu, boleh? Rumahnya nggak terlalu jauh, kok."
"Kamu akan segera kembali, kan?" tanya Anjani. Tidak masalah kalau Anza mengantar Elbi pulang terlebih dulu. Asalkan Anza kembali ... untuknya.
Anza mengangguk. "Nanti dimulai dulu saja rapatnya. Aku menyusul."
"Oke."
Setelah mendapat persetujuan dari Anjani, Anza mengalihkan pandangan pada Zuhdan yang sejak tadi hanya menjadi pendengar. "Gue duluan, Dan!"
Zuhdan tidak membalas, hanya mengangkat telapak tangannya. Pandangannya lantas dialihkan pada Anjani yang mengikuti sosok Anza yang perlahan menghilang bersama Elbi. "Lo benar-benar nggak akan menyerah walau nggak pernah akan mendapat kesempatan?"
Anjani tersenyum. Dia menoleh pada Zuhdan. Pemuda itu selalu mengomentari perasaannya. Lama-kelamaan Anjani merasa muak pada Zuhdan. Pemuda sok tahu itu, mana mungkin memahami yang Anjani rasakan? "Sudah aku bilang, jangan ikut campur."
Anjani berbalik untuk mengemas barang-barangnya kembali sebelum meninggalkan kelas. Akan tetapi, pertanyaan Zuhdan membuat Anjani menghentikan langkahnya. "Terus lo mau gimana?"
Anjani tidak membalas pertanyaan Zuhdan. Membuat Zuhdan terus mengajukan pertanyaan dan memprovokasi Anjani. "Lo mau tetep bertahan menyukai diam-diam atau lo mau mengungkapkan apa yang lo rasakan sama Anza? Lo pilih yang mana?"
Anjani tidak tahu. Perasaannya tengah berkembang. Anjani hanya ingin menikmati apa yang dirinya tengah rasakan sekarang ini. Tetapi, pertanyaan Zuhdan mengganggunya. "Bukankah pada akhirnya sama saja," ujar Anjani dengan suara nyaris tercekat. Dia sudah menyadari ini, sejak dia menyadari kalau perasaannya pada Anza semakin menguat. "Baik menyukai diam-diam mau pun mengungkapkannya, hatiku akan tetap terluka. Kamu mau bilang begitu kan, Zuhdan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Something about Anza
Fiksi Remaja"Yakin lo cuma nganggep Anza kayak Binno?" Elbi mengangguk tanpa ragu. "Yakin?" Pertanyaan diulang. Elbi mulai memikirkan kembali. Iya. Benar. Benar begitu?