Bab 2

1.6K 246 37
                                        

"A-apa?"

Naruto nyaris tak percaya dengan yang baru didengarnya. Meski begitu, gadis di hadapannya ini memang tak memiliki tampang mencurigakan.

Lihatlah, wajah yang memerah dan sembab itu. Apakah orang jahat bisa menangis?

"Sa-saya tersesat saat mengikuti kunang-kunang." Hinata masih berusaha mengontrol ketakutannya. Apakah pria di depannya ini penculik? Kenapa dia membawa pedang yang panjang?

Untuk beberapa detik, mereka saling tatap. Naruto melihat Hinata seperti seekor anak kucing yang terjebak di tengah hujan. Tangannya gemetar, netranya membayang, bulir masih mengaliri pipinya yang tembam.

Sementara di mata Hinata, Naruto tak beda serigala yang hendak menerkam mangsa. Iris biru yang terlihat dingin, wajah yang tanpa ekspresi, dan pedang yang sama sekali tidak diturunkan.

Hanya berjarak 30 senti dari ujung dagunya, itu sama sekali tak membuat Hinata tenang. Gerakan fatal bisa membuat dagunya terbelah.

Apakah dia akan mati di sini? Ataukah, orang itu hanya menginginkan kudanya?

"Maaf membuat Anda ketakutan, Nona."

Dengan penuh kesadaran, Naruto menarik pedangnya. Memasukkan kembali ke dalam sarung berukir lilitan naga.

Naruto juga tak lupa membungkukkan bahu sebagai tanda permintaan maaf.

"Biarkan saya mengantar Anda pulang."

Netra Hinata mengerjap beberapa kali. Adakah kata yang luput dari indra dengarnya selain,
'biarkan saya mengantar Anda pulang'? Mungkinkah yang dimaksud pulang ialah pergi ke rumah pemuda itu? Hinata sampai dibuat terdiam, hingga sekali lagi pertanyaan mengatensi telinganya.

"Anda tersesat, 'kan?"

Tidak menjawab, bibirnya justru mencebik. Dia menangis kencang.

.

Belum pernah Naruto terjebak dalam malam yang sehening ini. Kamp kemiliteran—tempatnya bersembunyi mengincar musuh—dirasa sedikit lebih bising dari sekarang yang hanya ditemani suara langkah kaki kuda.

Jika seseorang melihatnya, dia akan tampak seperti pria yang bersalah. Bagaimana tidak? Gadis di sampingnya tengah sibuk menyeka air mata.

Dedaunan bergemeresik. Atmosfer dari cuaca sendiri memang lagi kurang bagus. Tak beda irama jantungnya yang sedikit meningkat karena ada perasaan aneh timbul setelah menggenggam tangan seorang gadis untuk pertama kali.

Rasanya ... seperti menggenggam jemari anak kecil; permukaan tangannya begitu halus, jari-jarinya cukup mungil. Bila dia memejamkan mata, hati Naruto pasti percaya jika yang sedang ia tuntun bukanlah seorang wanita.

Langit menyajikan kegelapan yang sesungguhnya. Gegana hitam berarak seperti berikrar bila badai akan datang.

Kuda mereka berjalan beriringan di bawah payung malam. Naruto menggenggam tangan gadis itu, meyakinkan bila dia tidak sendirian.

Hahhh .... terdengar helaan napas panjang. Pemuda berambut pirang tersebut awalnya terkejut karena perempuan itu tiba-tiba menangis. Terlebih, baru kali ini dia menghadapi seorang gadis secara langsung. Biasanya, dia hanya melihat mereka dari kejauhan.

"Anda sama sekali tak ingat jalan yang pernah Anda lalui?"

Hinata memilih menyembunyikan parasnya untuk menghindari kontak mata. Malu. Malu sekali. Bagaimana bisa dia membiarkan seorang tak dikenal menyentuh tangannya? Jika posisi bisa ditukar balik, maka Hinata lebih memilih jadi kuda.

Pfff ....

Naruto tiba-tiba tertawa. Sembari menutup bibirnya dengan jari tangan, dia menggoda Hinata. "Jika Anda benar-benar tak ingat jalannya, itu hal yang buruk." Ekor matanya tampak melirik pipi Hinata yang memerah.

The Wheel of FortuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang