- Part 22 -

5 2 0
                                    

Rean menutup pintu rumah rapat. Ia mendorong ibunya menuju kamarnya.

"Tidak bisakah kita bersembunyi selama sisa satu hari ini?" Tanya Rean. Wajahnya menunduk. Bellina menarik Rean ke pelukannya. Ia mengusap puncak kepala Rean.

"Tak apa.... Mungkin ia merindukan masakanku?" Tebak Bellina. Kepala Rean mendongak. Matanya berkilat.

"Ibu bukan chefnya! Ibu istrinya," Seru Rean tak terima. Bellina mengangguk.

"Iya, ibu tahu," Ucap Bellina pelan.

Ting.... Tong....

Rean terlonjak ketika mendengar suara bel dari pagar mansion berbunyi. Suara itu menyiratkan bahwa seseorang berada di depan gerbang. Tanpa ayah Rean tahu, dia sudah mengubah sistem keamanan rumah. Rean memakai sistem sidik jari pada tombol di depan pagar mansion dengan sidik jarinya. Jadi karena hal ini, Rean sudah bisa memastikan bahwa yang di depan pagar adalah ayahnya.

"Ibu, ayo masuk ke kamar," Pinta Rean. Bellina mengangguk pelan. Rean mendorong ibunya menuju kamarnya. Setelah berada dalam kamar, Rean mulai menekan sesuatu pada jam tangannya.

••••

Seorang laki-laki menggoyangkan pagar mansion dengan kasar. Ia berteriak keras, namun anehnya tak ada yang keluar dari dalam mansion. Padahal dirinya sudah memberi informasi kedatangannya.

"Kenapa sihh ini?" Gumamnya tak paham.

Tiba-tiba pintu pagar terbuka secara otomatis. Laki-laki itu mundur beberapa langkah ke belakang. Terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi tak menunggu lama, ia segera masuk ke dalam rumah. Langkahnya yang besar dan berat, beserta teriakannya membangunkan tingkat kewaspadaan Rean.

"Anak brengsek! Siapa yang menyuruhmu mengubah sistem di mansion ini!?" Suara teriakan laki-laki itu semakin keras ketika sudah memasuki ruang tamu. Keringat mulai membasahi pelipis Rean.

"Hei, Lina! Mana makananku!?" Teriak laki-laki itu sembari duduk di kursi ruang keluarga.

Sementara itu, Bellin menyatukan tangan di atas pahanya. Matanya menatap pintu cokelat yang tertutup di depannya. Rean menoleh ke belakang tepat sang ibu sedang ketakutan.

"Tak apa, ia akan segera pergi," Ucap Rean berjalan menuju sang Ibu. Bellin mengangguk cepat.

Prang...

Rean dan Bellin menoleh ke depan. Terdengar sebuah pecahan kaca. Saat ini Rean bisa pastikan bahwa ayahnya berada di bar mininya.

"Kalau ibu keluar sekarang, ibu akan disakiti," Ucap Rean ketika melihat Bellin berdiri. Bellin menangkup wajah puteranya. Ia mengusap pipi Rean lembut.

"Ibu sudah terbiasa," Jawab Bellin, ibunya Rean. Langkah kakinya melebar ketika keluar dari pintu kamar Rean.

"Mom!!! Itu bahayaa!" Teriak Rean keras. Kini ia tak peduli ayahnya mendengarnya atau tidak. Sesaat sunyi dari luar kamar. Rean berencana keluar ketika mendengar suara teriakan sang Ibu. Tapi, telinganya sama sekali tak mendengar apapun.

"Kau pikir kau bisa sembunyi, jalang!?" Mata Rean melebar ketika pendengarannya menangkap kata makian diiringi sebuah teriakan.

Rean mengepalkan tangan. Ia hendak berdiri, namun tiba-tiba kakinya kebas. Rasanya sangat berat, dan sakit. Ia mengumpat kenapa saat seperti ini kakinya tidak bisa diajak bekerjasama.

Jdug... Brak....

Suara tabrakan dan tendangan mulai terdengar. Air mata Rean mulai memenuhi pelupuk matanya. Ia memukul pahanya agar segera berdiri. Tapi nihil, yang ia tidak merasakan apapun. Kakinya seakan tahu ada bahaya di luar kamarnya, tapi bukan berarti ia tidak ingin menyelamatkan Ibunya.

Rean meraba pinggir ranjang. Ia berpegangan pada kaki ranjang, "kumohon kaki, kau tidak boleh menjadi pengecut!" Ia berpegangan pada pinggir ranjang untuk berdiri. Menekan bagian atas tubuhya agar kakinya bangkit. Tak memakan waktu lama, dengan cara seperti itu Rean keluar dari kamar. Ia terus berpegangan pada benda di sampingnya hingga kakinya benar-benar sanggup berdiri.

"Hentikan, brengsek!" Teriak Rean. Ia menatap sosok laki-laki dewasa yang ingin melempar gelas kaca pada ibunya yang tergeletak di lantai. Di sekeliling juga terlihat pecahan piring yang berserakan, dan juga beberapa makanan ringan.

"Apa?" Laki-laki itu menaruh gelas kaca di meja. Ia berjalan menuju ke arah Rean.

"Brengsek? Kau menggunakan kata itu pada ayahmu?" Tanya laki-laki itu. Rean menelan salivanya. Jantungnya berdegup kencang. Kakinya otomatis mundur beberapa langkah.

"Siapa yang mengajarkan hal itu, huh!?" Teriak laki-laki itu. Ia sudah berada tepat di depan Rean.

"Apa perempuan jalang itu?" Tanyanya sekali lagi. Mata Rean terbelalak. Ia mengepalkan tangan.

"Dia isterimu!!" Balas Rean tak kalah keras.

Plak...

Tepat seketika itu, sebuah tamparan mendarat sempurna di wajah Rean. Ia meringis sakit. Pipinya tampak berwarna merah karena bekas tamparan itu.

Kaki laki-laki itu mulai menendang perut Rean. Dan setelahnya tubuh kurus Rean menabrak tembok putih di belakangnya. Napas laki-laki itu memburu.

"Katakan siapa yang mengajarimu!?" Seru laki-laki itu. Rean meringis kesakitan. Tangannya menyentuh tubuhnya yang menabrak tembok kasar.

"Kau.... Tidak perlu tahu," Ucap Rean terbata-bata. Sakit kini mendominasi tubuhnya.

Laki-laki itu terkejut. Ia mengepalkan tangan dan berjalan menuju Rean. Langkahnya yang besar membuat nyali Rean ciut.

Bughh.... Bughh...

Rean membuka mata. Ia tidak merasakan sakit apapun. Dan Ia sangat terkejut ketika melihat seorang wanita yang tubuhnya dipenuhi luka sedang memeluknya. Punggungnya menjadi pelindung bagi Rean.

"Ibuuu!" Teriak Rean sembari memeluk ibunya. Pukulan laki-laki itu juga berhenti. Sepertinya ia baru tersadar bahwa pukulannya tidak terlampiaskan ke korban.

"Kalian membuatku kesal saja....," Gumam laki-laki itu sembari berlalu.

"Kenapa sihh aku mempunyai istri dan anak yang tidak berguna seperti kalian!?" Gumam laki-laki itu lagi. Tetapi nada bicaranya kali ini lebih keras. Tangannya membawa pergi botol minuman keras. Kakinya sudah melangkah keluar dari rumah. Rean menggertakan giginya. Ia kesal, tapi ia seperti anak kecil yang tidak bisa melindungi ibunya.

"Ibu.... Ibu tak apa?" Tanya Rean sembari menuntun ibunya berdiri. Bellin mengangguk lemah. Rean memapah sang ibu ke kamar, dan menidurkannya.

"Kemana dia pergi?" Tanya Bellin setelah berada di ranjang. Rean mengangkat bahu.

"Entah, mungkin berpesta?" Tebak Rean asal. Ia menaruh kotak obat-obatan di samping ibunya. Tangannya dengan teliti mengoleskan obat merah ke luka sang ibu.

••••••

Ada yang dah bisa nebak? Huhuu~ kalo belum gpp kok. Bar2 yaa Ran kalo dah nulis gini? Hmmm ini belum semua keungkap kayaknya mengenai Rean. Hehe. Oke aku secara jujur benci bapaknya Rean hmmm.... Kalian?

Aku lelah nyuruh kalian voted dan comment. Dah nikmati aja ceritanya, kalo suka voted, dan kalo ada yg menarik comment... Babaiii. Huhu besok dah masuk. Padahal masih mau bucin Nana pek (╥ω╥') Besok pake seragam lagi, dan history foto seragamku keapus (ಥ ͜ʖಥ)



15 Juli 2020, 18:26

MINE  [ HIATUS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang