Twentyseven

8.5K 755 251
                                    

Buat komennya yang luar biasa menyenangkan di chapter sebelumnya. Aku persembahkan buat kalian... hehehehe

Sampai gak bales komen buat menyelesaikan chapter ini dooong ....

Kalau ada yang udah khatam baca All about Anza sampai bab extra yang aku udah un-publish, pasti gak asing sama chapter kali ini. Chapter yang paling aku suka sebenernya, dengan berbagai revisi dan banyaaak tambahan. Semoga bisa menggambarkan galau2nya Anja bocil kesayangan kita semua... hehehehe....

Selamat baca semuanyaaa...
.
.
.



"Hai ...."

Elbi hanya mampu berkedip, mendapati Anza berdiri di depan pintu rumahnya. Selang lima detik memastikan bahwa yang ada di hadapannya adalah Anza, Elbi pun mulai tergagap. Elbi bingung harus memberi respon seperti apa. Harus menyapa balik? Atau cukup tersenyum saja? Atau ... Elbi menggigit bibirnya karena semakin bingung. Seharusnya tadi dia tidak menuruti perintah sang adik untuk membukakan pintu.

"Kakak Elbi?"

"Ah, ya ... hai, Anja!" Elbi memaksakan diri untuk tersenyum. "A-apa kabar?"

"Baik," jawab Anza singkat dengan ekspresi seperti biasa. Datar. "Boleh masuk?"

Mata Elbi kembali berkedip. Anza meminta izin untuk masuk? Elbi memastikan kalau pendengarannya tidak sedang bermasalah. Memang tadi pemuda yang masih mengenakan seragam putih abu-abunya ini meminta izin untuk memasuki rumahnya. Tapi ... untuk apa? Tidak mungkin Anza mau meralat jawaban atas pernyataan cinta Elbi seminggu yang lalu, bukan?

"Kakak Elbi, aku boleh masuk?" Anza kembali bertanya karena Elbi tidak kunjung memberi respon.

"Emm ... mau apa?" tanya Elbi secara spontan membuat Anza mengerutkan kening.

"Gimana?"

"Enggak, itu ... mau ngapain masuk. Kalau mau bicara tinggal di luar aja," kata Elbi memperjelas maksudnya. Yah, Elbi tidak akan pernah membiarkan Anza memasuki rumahnya semudah itu.

Anza terdiam. Rautnya menunjukkan kebingungan. Mulutnya sudah terbuka, untuk kembali melontarkan pertanyaan, tetapi didahului oleh teriakan dari dalam rumah. "Mas Anza!"

Sosok Binno muncul dalam hitungan detik. Begitu melihat Anza, Binno segera menarik pemuda itu tanpa mempedulikan keberadaan sang kakak. "Eh ... eh!" Elbi tanpa sadar menarik lengan Anza yang lain, berlawanan dengan arah tarikan Binno. "Kenapa Mas Anjanya disuruh masuk?"

"Mas Anza, Mbak. Pakai Z. Heran, gedean juga Mbak Elbi, kenapa malah nggak bisa bilang Z?" balas Binno. Sudah terlalu sering Binno mengomentari Elbi ketika memanggil nama Anza. Elbi heran mengapa adiknya itu tidak bosan mengomentarinya. Padahal Elbi yang mendengar saja merasa bosan.

"Terserah Mbak, yah. Mau pakai Z kek, J kek. Suka-suka. Anjanya aja nggak protes. Iya, nggak Ja?"

Anza hanya mampu menarik napasnya. Menelan kembali segala bentuk protes yang akan dirinya layangkan. Anza lelah dan ingin cepat menyelesaikan perdebatan antara Elbi dan Binno, jadi kali ini dia mengalah. Toh, biasanya Anza terima saja dipanggil Anja oleh Elbi.

"Mbak Elbi berisik," komentar Binno. "Udah sih, lepasin tangan Mas Anza. Mas Anza tuh datang buat ngajarin matematika Binno, bukan mau main sama Mbak. Jangan ngarep, deh!"

"Binno, ngomongnya ...." Anza memperingatkan sambil menggelengkan kepala.

Binno mendengkus tidak suka, tetapi tetap meminta maaf. "Maaf, Mas Anza."

Something about AnzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang