Kisah Keempat

501 86 9
                                    

Kebetulan-kebetulan rasanya selalu datang menghampiri Renjun. Yang entah itu kebetulan bertemu Jeno, ataupun kebetulan bertemu Jisung—teman dari adiknya. Seperti saat ini, keduanya bertemu sacara kebetulan di taman tak jauh dari tempat Renjun berkerja. Renjun yang tengah menikmati angin sepoi-sepoi di sore hari, mendapatkan seseorang menyentuh pundaknya dan duduk di sampingnya. Rupanya itu Jisung. Untuk kesekian kalinya, kedua orang itu bertemu.

"Sedang apa?" remaja jangkung itu bertanya. Matanya tak lepas memperhatikan Renjun yang masih menutup mata, menengadah seolah sangat menikmati angin yang berterbangan menerpa wajahnya.

Jisung paham, sepertinya lelaki di sampingnya tidak ingin berbicara dahulu untuk sesaat. Alhasil dia hanya terdiam, turut menikmati angin yang membuat surainya menari-nari ringan.

Beberapa kali dipertemukan oleh takdir, Jisung sudah mulai tahu siapa Renjun. Pemikiran bahwasanya sosok Renjun merupakan seorang pemulung rupanya salah saat lelaki itu mengatakan sesungguhnya. Keduanya sudah mulai bercerita banyak, bahkan hubungan Renjun dengan Chenle sekalipun. Awalnya Jisung tidak terlalu percaya, namun saat melihay dengan mata kepalanya sendiri bahwasanya Chenle keluar dari rumah yang sama dengan teman barunya itu, Jisung mempercainya. Selama ini Chenle berbohong, entah itu kepada dirinya ataupun dengan orang banyak.

Chenle sering mengatakan dirinya dari golongan orang kaya. Ayahnya pembisnis, sedang ibunya seorang desainer. Saat Jisung dan teman-temannya mengantar Chenle pun lelaki itu akan menuntun mereka menuju perumahan orang kaya, tanpa mengizinkan mereka mengetahui di mana letak rumahnya yang sesungguhnya. Meskipun begitu, rasa suka Jisung terhadap Chenle tidak pernah berkurang sedikit pun. Seberapa banyak Chenle membohonginya, Jisung tetap menyukai lelaki itu. Jisung telah jatuh terlalu dalam dengan sosok teman sepermainannya tersebut.

'Bagaimana kabar Chenle?'

Selembar kertas yang diberikan oleh Renjun sudah dapat ditebak, bahwasanya lagi-lagi temannya itu tidak kembali ke rumah. Renjun mendesah pelan. Sebenarnya dirinya juga tidak tahu bagaimana kabar orang yang dicintainya itu. Terakhir bertemu saat dua hari lalu, setelahnya dia benar-benar tidak tahu.

"Baik. Chenle sedang bersama Daehwi." Lagi-lagi Jisung hanya dapat berbohong. Dia tidak ingin kakak dari orang yang dicintainya itu sedih. Jisung cukup tahu kondisi keluarga orang di depannya tidaklah baik. Mendengar semua kisah—baik dari mulut Renjun ataupun temannya—Haechan dan Hendery, Jisung menjadi sangat iba. Meskipun dirinya tidak merasakan, akan tetapi rasa yang ditanggung Renjun seakan menjalar juga kepadanya. Beruntunglah dia dikenalkan dengan kedua teman sosok di sampingnya kini, dengan begitu dia dapat merasakan apa yang Renjun rasakan. Renjun terlihat tegar dan selalu tampak gembira, walau pada nyatanya Jisung tahu semua hanyalah topeng belakang.

Haechan bilang Renjun hanya tidak ingin melihat orang-orang di sekitarnya turut sedih, maka dari itu dia selalu tersenyum, walau pada nyatanya hatinya sangatlah pedih.

"Kamu sudah makan?" setelah cukup lama hanya diisi keheningan, Jisung bersuara. Hari telah siang, waktunya untuk makan siang.

Gelengan diterima. "Mau makan bersama? Ayo kita ke kedai dekat sini!" Jisung berujar riang, namun lagi-lagi gelengan kepalalah yang diterima. "Nga, usah! Cung ajha, kuenyang."

'Tidak usah, Jisung saja, aku kenyang' Jisung tersenyum miris. Bagaimana bisa kenyang jika dia belum makan? Renjun itu terlalu keras kepala.

"Tadi pagi kamu habis bekerja, 'kan?" Renjun mengangguk mendengar pertanyaan Jisung. "Jaemin memberikanmu makanan?" Renjun terdiam. Tidak ingin menjawabnya.

ꜱᴜɴʏɪ ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang