BAGIAN TIGA PULUH ENAM

42 3 0
                                    

HARI kedua ujian berjalan lancar. Aku pun keluar dari ruangan meski lumayan gelisah. Pasalnya pagi tadi aku terbelenggu oleh masalah berat dan sekarang aku baru selesai mengerjakan ujian. Apakah kalian kalau ada diposisiku masih mau berangkat sekolah dan memasang topeng baik-baik saja?

"Oi." aku menoleh. Tapi aku langsung kembali pada kegiatanku memakai sepatu.

"Sombong lo," dari tepi mataku, dia berjalan mendekat.

"Hai?"

"ASTAGA, DIRMA!"

Dirma terkekeh dan jongkok didepanku. Dia menjauhkan tanganku yang sibuk melipat tali sepatu.

"Biar gue aja."

Aku sempat menolak tapi Dirma menahan tanganku yang ingin mendorongnya untuk menjauhiku.

"Jangan gini, Dir. Gue nggak nyaman."

"Gue nyaman kenapa lo nggak?"

"Tolong ngertiin posisi gue, Dir!"

"Apa, sih, lebay banget lo. Tugas gue selesai," Dirma bangkit kemudian menarik tanganku, "Sekarang ayo ikut gue."

"Mau kemana?!" teriakku sambil memelototinya.

"Banyak omong lo!"

"Dih!"

Tanpa banyak bicara lagi, Dirma menyeretku dan entah akan kemana dia membawaku pergi.

Kurasa dia ingin membawaku ke kelas. Dia mendorongku untuk masuk. Aku sempat bingung dan ingin menanyakan itu padanya.

"Gue pergi dulu ya!" ujarnya lalu berlari meninggalkanku secepat kilat.

Aku menatap kepergiannya. Dia meninggalkan berbagai pertanyaan dalam hatiku. Melupakan Dirma, aku memilih untuk masuk ke kelas. Betapa terkejutnya aku saat melihat Fajar sedang duduk di meja sambil memainkan ponselnya.

"Sini," katanya lembut. Dia menatapku sekilas lalu fokus lagi ke ponselnya.

Meski ragu aku tetap maju. Melangkahkan kaki ini untuk lebih dekat dengannya. Mendekati orang yang tega meninggalkanku tanpa alasan.

"Mau tanya apalagi?"

Fajar menggelengkan kepalanya pelan. Dia menepuk meja disisinya dan menyuruhku untuk duduk disana. Aku hanya menurut saja.

"Pakai." dia memberikan sebelah earphonenya padaku. Awalnya aku bingung tapi kupakai saja. Percayalah, jantungku berdebar sangat kencang. Detakannya sampai terasa diseluruh tubuhku.

Kemudian terdengar lagu yang kurasa pernah dinyanyikan Dirma saat aku mengajaknya di Cafe malam itu. Lagu dengan judul melamarmu. Bulu kudukku meremang saat lagu itu mengalun indah di gendang telinga. Menggelitiki hatiku yang dulu pernah dia hancurkan.

"Katakan, mau lo apa?" tanyaku gemetar.

"Udah gue dapetin."

"Apa?"

"Lo ada disamping gue."

Jantungku terasa semakin gila detakannya. Pasti wajahku memerah saat ini. Sial! Lagi-lagi aku terjebak oleh sikap manisnya. Sikap yang hampir tidak pernah dia berikan untukku selama ini. Bisa dihitung dengan jari kapan dia bersikap selayaknya pacar untukku.

Mengingat semua kenangan itu membuatku kalut. Bolehkah sekali lagi aku berkata kalau Fajar itu kejam?

"Jangan bikin gue stres. Gue nggak suka sama sikap lo yang kayak gini." aku melepas earphone dan melemparkan ke tangannya.

Aku mendongak untuk menghembuskan napas yang terasa sangat berat ini.

"Gue lagi belajar buat nggak cuek sama lo, La. Belajar jadi cowok yang lo mau."

Seharusnya lo belajar bilang mau balikan sama gue. Batinku terluka saat mengatakannya

"Ngapain lo bahas itu?"

"Nggak ada pembahasan lain selain bahas soal ini."

"Tapi gue menolak pembahasan ini. Ngerti?" sentakku sambil menaikkan sebelah alisku. Ekspresi angkuh ini seharusnya tidak ada. Aku menyesal telah melakukannya.

Untuk itu aku segera angkat kaki dan menghilang dari hadapannya. Aku terlalu bodoh tidak tahu harus bersikap seperti apa saat bersama Fajar. Padahal Fajar bersikap sangat santai, kenapa aku tidak? Aku lupa akan hal itu. Dia terlalu menyakitkan untuk dihadapi.

Tak kusangka dia berlari mengejarku dan kini langkah kami sejajar.

"Masih ada pintu maaf buat gue?"

Aku tidak berniat membuka mulut. Jujur saja mulutku terasa kaku. Fajar pikir aku terlalu dingin akhir-akhir ini. Zella yang dia kenal adalah sosok cewek yang ramah meskipun mudah marah. Kali ini aku memang berbeda.

"Kalau masih ada, boleh gue masuk kesana? Kalau lo pikir gue mau kembali sama lo, itu salah."

Sebentar. Dia sedang bercanda, 'kan?

"Karena nggak ada yang baik kalau kita kembali bersama. Gue tetep bakal kehilangan lo."

Sulit untukku membungkam mulut Fajar yang semakin menyakiti hatiku. Dia bukan cowok biasa, dia cowok luar biasa, luar biasa jahatnya.

"Mungkin dengan menjadi orang asing adalah keputusan yang tepat. Tapi gue nggak janji bisa lupain lo."

Tepat saat itu juga aku menghentikan langkahku. Memberanikan diri untuk menatap matanya. Aku semakin luluh oleh tatapan hangatnya itu. Rasanya dunia tidak adil memberikanku nasib seperti ini.

"Fajar." aku mengambil udara sebanyak-banyaknya, "Makasih udah pernah hadir dalam hidup gue. Makasih."

Sekarang aku yakin semuanya akan selesai. Urusanku dengan cowok brengsek itu akan selesai hari ini. Dengan semua kalimat memuakan itu dapat dipastikan dia tidak akan berani untuk menghubungiku apalagi mendekatiku lagi. Kalau dia masih nekat, artinya dia sudah merendahkan harga dirinya sendiri.

Apa yang bukan menjadi milikku tidak akan pernah bisa aku miliki. Dia bukan milikku, entah itu untuk sekarang atau selamanya.

-<<<FAJAR>>>-

FAJAR [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang