Manusia, memang tempatnya salah dan lupa. Beribu cara digunakan untuk berbuat baik, namun sejuta satu macam pula bujuk rayu sang durjana datang merasuk, "Kak, cukup! Nanti ada yang masuk!"
"Makannya kamu bantuin kocok aja, Sayang. Aku nggak lama kok. Suer, aku ngga lama," sahut Aldi begitu bergairah. Ia memaksa Inna untuk membantunya berejakulasi, mengesampingkan rasa malunya sejauh mungkin.
Degupan jantung Inna nyaris melompat keluar, bahkan hingga berulang kali akibat kegilaan Aldi, "Kak, jangan begini. Kamu harus ingat masa depanmu juga."
"Aku tahu, Sayang. Tapi ini tuh sakit banget, In. Belum lagi kondisi hatiku yang sudah kamu patahkan kemarin. Tolong, Sayang. Sekali ini aja," Dan hal tersebut tampaknya belum akan berakhir, mana kala sang obgyn semakin gencar merayu.
Tatapan mata keduanya bersirobok, menukar hasrat hati melalui bahasa tubuh, "Kakak janji ini yang pertama dan terakhir, kan?"
"Sayang, aku serius. Aku cinta sama kamu, In. Oh, God. Kamu harus tahu ini adalah hal tergila yang pernah aku perbuat. Please, Sayanggg..."
"Ya udah." Lalu satu di antaranya pun luluh, lebih cepat dari dugaan sebelumnya.
Jemari lentik itu menciptakan gesekan magis di kulit kejantanan Aldi, membuat birahi pemiliknya semakin meningkat, lalu kembali mendesah, "Ssttt... Innaaa..."
Bersama kabut gairahnya, Aldi bukan hanya menyebut nama Inna, melainkan sibuk meraba bagian depan tubuh sang pujaan hati, membuatnya ikut bergejolak pula, "Ssttt... Kak, jangannn..."
Bukan tanpa alasan Aldi melakukannya. Dokter obygn itu merasa aneh dengan wajah datar yang Inna tampilkan di sana, sehingga pemanasan tersebut menjadi bagian untuk tetap mempertahankan hawa panas dari dalam dirinya, "Ini biar cepat keluar, Sayang. Bakalan lama kalau aku nggak pegang-pegang kam--"
"Ssttt... Kakkk..." Benar saja. Pelan tapi pasti, Inna mulai menikmati apa yang Aldi perbuat padanya.
Baju tidur dengan tiga kancing yang berada di bagian depan itu, memudahkan Aldi untuk semakin jauh bergerak, "Laura, cukup! Aku-- Ahhh..."
"Sentuh aku sekali lagi, Torra! Aku udah nggak bisa menahannya," Dan di tempat lain, hal serupa tampak tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di rumah sakit.
Semua bermula dari tindakan Laura yang memaksa masuk ke dalam kamar hotel, tempat Aldi menginap selama acara deklarasi bakal calon Wali Kota Kupang dari partainya berlangsung.
Torra mengizinkan karena Theresa ikut bersama Laura mengunjungi dirinya. Memang di awal bertemu, Torra begitu terkejut dengan keberadaan sang ibu dan hal pertama yang ia tanyakan tentu saja keadaan istrinyan, tetapi tanggapan yang diberikan oleh Theresa terdengar menjengkelkan untuknya.
Torra bahkan bersiap untuk keluar dari kamar hotel, meninggalkan keduanya di sana, namun ibunya berkata Laura memiliki hal penting yang perlu dibicarakan berdua saja. Theresa dengan cepat berdiri, meninggalkan mereka tanpa mau menunggu persetujuan dari putranya. Selanjutnya, kisah panas pun terjadi di sana.
Seperti seekor Singa betina di padang Sabana, Laura tak ubahnya demikian. Laura menyerang Torra lebih dulu, memaksa ketika pria itu memberi penolakan,"Aku udah menikah, Ra."
"Dia cuma pelarian kamu, Tor. Kita masih sama-sama saling mencintai! Tatap mataku, Torra. Lihat dan katakan jika kau memang sudah nggak cinta sama aku!"
"Ra..."
"Apa, Sayang? Aku sudah kembali. Aku sudah lulus dengan nilai baik seperti yang kamu mau, Tor. Kita berjuang bersama, tapi kenapa ini balasan dari usahaku?"
"Mungkin kita belum ditakdirkan bersama, Ra."
"Tapi kamu masih mencintaiku!"
"Ya, kamu benar. Aku memang masih mencintaimu, Ra. Lalu apa?"
"Sentuh aku, Tor. Kumohon..."
"Hanya untuk kali ini!"
"Lakukan, Sayang. Sentuh dan pu-- Hemph!"
Dan Laura pun mendapatkan apa yang ia inginkan.Torra membungkam bibir wanita berambut pirang itu di sepersekian detik kemudian, membuat sejumlah kupu-kupu seolah berterbangan dari dalam perutnya.
Kira-kira satu menit lamanya, keduanya pun larut terbawa arus menuju ke masa lalu. Degupan jantung Torra berpacu bersama pasokan oksigen di paru-parunya yang mulai menipis, sebelum pada akhirnya leher jenjang Laura menjadi sasaran berikutnya.
Status perkawinan sepertinya memang sudah tak ada lagi dalam benak Torra kala itu, sebab semakin lama gairah primitifnya semakin tajam menuntut. Ya, sabda kali ini menjadi sebuah kebenaran yang belum terungkap untuk seorang Torra Mahardika.
Roh memang penurut, tetapi daging lemah. Manisnya madu yang Laura tawarkan diterima begitu saja tanpa pertimbangan apapun, bahkan Torra seperti sedang menjilat ludahnya sendiri dengan berkata demikian, "Aku juga mendinginkanmu, Raaa..."
"Lakukan, Tor. Buat apa yang sudah seharusnya kamu lakukan, karena aku adalah milikmu. Sampai kapanpun, Tor. Sampai nanti aku akan tetap menjadi milikmu," sahut Laura penuh penekanan, ketika tatapan mata keduanya tak sengaja bertemu.
Inna Bastari. Di sana entah mengapa nama lengkap istrinya itu terlintas di benak Torra. Sedetik Torra sempat menghentikan pergerakan jarinya di antara kancing demi kancing kemeja Laura, hanya untuk memandang dan meyakinkan diri.
Sayangnya pilihan kalimat yang Torra gunakan sangat tidak tepat, "Aku sangat mencintaimu, Ra. Bagaimana ini?"
"Jangan berhenti, Sayang. Cinta itu anugerah ilahi. Kita tidak salah, Tor. Kau dan aku hanya mengikuti jalan takdir yang untuk saat ini sedang tersesat. Nanti kalau anakmu sudah lahir, yang perlu kamu lakukan hanyalah mendapatkan hak asuhnya dan menjadikan aku sebagai ibu juga."
Cup
"Benarkah?"
"Apapun asalkan kamu bahagia, Tor. Bahagia bersamaku." Menyebabkan tugas si peri putih dalam diri Torra menjadi sia-sia belaka.
Melanjutkan aksinya di kancing kemeja Laura, gejolak panas itu pun semakin meningkat tajam, mana kala wanita itu memilih untuk mengambil alih keadaan. Tentu saja gerakan cepat Laura membuka semua kain yang melekat di tubuhnya, menjadi pemicunya.
Jakun Torra bergerak seiring dengan irama degupan jantungnya, dan sepertinya sudah semakin cepat, saat buah dada ranum milik Laura tidak ditutupi lagi.
Torra bergerak mendekat, semakin merapatkan tubuhnya pada Laura ketika rok pensil wanita itu terbebas ke lantai kamar hotel. Seharusnya Torra tak memperbolehkan bibirnya memuji, namun ia melakukannya sembari menyentuh gundukan daging yang menggantung di dada Laura, "Kamu cantik, Laura."
"Ak..ku milikmu, Torra..."
"Bagaimana jika aku nggak bisa berhenti, Ra?"
"Ahhh... Ma..ka jangan berhenti, Sayanggg... Ak..ku nggak keberatan."
"Kenapa, Ra?"
"Sstt... Ka..karena aku mencintaimu, Torrr..." Dan terus menggoda dengan gerakan-gerakan panasnya.
Pelan tapi pasti Laura pun ikut melakukan yang sama di pangkal paha Torra, membuka serta berusaha membelainya, "Raaa... Oh, shit! Aku... aku nggak mau kamu sakit nantinya, Ra."
Kalimat Torra membuat jeda tiga detik itu terjadi di antara mereka, "Perempuan itu yang akan sakit, Tor! Bukan aku ataupun kamu!"
"Tapi--"
"--Pegang, Sayang. Sentuh aku semakin dalam, masuk dan jangan pernah berhenti lagi-- Ough, yesss...!" Namun tak lebih dari tiga detik, karena setelahnya kegilaan menggebu itu terjadi juga.
Torra dan Laura saling membelai, berbagi kehangatan terlarang yang seharusnya tidak mereka lakukan, tetapi jangan lupakan tentang kedua anak cucu Adam lainnya, yang juga saling bertukar kisah panas di dalam ruangan rawat inap, "Aku mau keluar, Innaaa... Oh oh oh... lagi lagi lagi... Isap, Inn... Bibir kamu enak bangettt...!"
Inna bahkan sudah terlena dengan memasukkan kejantanan keras Aldi, memberikan tarian lidah menggunakan bibir yang terasa nikmat untuk dokter kandungan itu.
Berharap hal tersebut menjadi yang pertama dan terakhir untuk mereka berempat, namun waktu belum tentu berkata demikian. Sanggupkah? Hemmm... Jangan banyak bertanya!
***
JANGAN LUPA FOLLOW DAN KASIH TAP LOVE KE SEMUA CERITAKU YANG ADA DI APLIKASI DREAME YA? TERIMA KASIH...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...