Pagi menjelang di Desa Kampar yang terbilang tenteram dan damai. Sang surya tampak mulai menyembul di ufuk timur. Sinarnya yang terang memancar, menghangati permukaan bumi membuat embun mulai menguap tersapu oleh tarian sang bayu yang berhembus semilir.
Penduduk desa itu tampak mulai keluar dari rumah menuju sawah ladang masing-masing. Anak-anak mulai bermain sambil tertawa riang berkejaran ke sana kemari. Sementara para wanita sibuk berbenah diri membantu suami atau orangtua yang hendak bekerja.
Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun tampak berjalan tenang. Rambutnya yang pendek dan telah memutih sebagian memakai ikat kepala hitam. Dengan sebuah cangkul yang diletakkan di pundak, bisa ditebak kalau dia hendak menuju sawah ladangnya.
"Berangkat, Ki Kendil?" sapa seorang pemuda yang baru saja keluar dari pintu rumah.
Laki-laki setengah baya yang dipanggil Ki Kendil mengangguk. "Mau sama-sama, Jantara?" Ki Kendil menawarkan.
"Bolehlah...."
Setelah menerima tawaran itu, pemuda ini melambaikan tangan pada seorang wanita yang berdiri di muka pintu. Lalu dia berlari kecil, mensejajarkan langkahnya di samping Ki Kendil.
"Bagaimana istrimu? Suka tinggal di sini?" tanya Ki Kendil ketika mereka mulai melangkah bersama.
"Mudah-mudahan. Permulaan mungkin sulit, karena telah terbiasa hidup di keramaian kotaraja. Tapi sekarang kelihatannya dia mulai bisa menyesuaikan diri," sahut pemuda yang dipanggil Jantara.
"Syukurlah. Kehidupan di tempat ramai memang menyenangkan. Namun kehidupan di desa tidak kalah menyenangkan pula," sahut Ki Kendil sambil tersenyum kecil. "Mungkin saja di sana jauh dari gunung. Tapi di sini kita bisa melihatnya setiap hari. Mungkin pula di sana mereka jarang melihat sawah ladang. Tapi di sini, kita lihat setiap hari. Di sini udaranya sejuk dan baik untuk kesehatan...."
"Di kotaraja banyak orang jahat. Dan di sini belum...," timpal Jantara sambil tersenyum lebar.
Ki Kendil ikut tersenyum lebar. "Iya, belum..."
Dan kini mereka terdiam. Seolah kata-kata Jantara mengingatkan mereka akan sesuatu. Wajah keduanya berubah lebih dalam.
"Bagaimana soal ancaman itu, Ki?" tanya Jantara, hati-hati.
"Mereka tidak berhak memaksa kita!" tandas Ki Kendil.
"Orang-orang itu kelihatannya sungguh-sungguh dengan ancamannya. Kita harus berbuat sesuatu, Ki Kendil!"
"Ya! Kita memang harus berbuat sesuatu. Tapi kita juga harus menghadapi sesuatu yang selama ini belum pernah menyentuh desa kita...," sahut laki-laki setengah baya itu lemah dengan wajah murung.
"Sungguh celaka dia!" umpat Jantara kesal.
"Siapa yang kau maksud?"
"Siapa lagi kalau bukan pemberontak-pemberontak keparat itu!" desis Jantara kesal.
Ki Kendil tersenyum kecil. "Tahukah kau apa yang dilakukan Kanjeng Gusti Prabu terhadap rakyat?" tanya laki-laki setengah baya itu lagi.
"Beliau cukup baik...."
"Begitukah menurutmu?" tanya Ki Kendil, tersenyum getir. "Apa yang kita lihat selama ini? Pajak-pajak dinaikkan tanpa peduli kalau para petani gagal panen. Mereka tidak mau tahu kalau sawah-sawah kita rusak dan kekeringan. Mereka tidak mau dengar kesulitan kita. Pernahkah beliau menerima dan mendengar keluhan rakyatnya? Tidak! Beliau tetap bersenang-senang di istananya yang megah."
"Apakah Ki Kendil setuju dengan para pemberontak?" tanya Jantara.
"Entahlah.... Yah.... Mungkin saja mereka tidak puas oleh kebijaksanaan yang ditetapkan kerajaan. Atau mungkin juga pemberontakan itu didasari oleh kepentingan pribadi dari segolongan orang yang ingin berkuasa...," sahut Ki Kendil, tanpa memberi jawaban pasti. Nada suaranya terdengar mendesah pasrah.
"Lalu, apa yang bisa kita lakukan?"
"Aku telah menyuruh beberapa orang untuk menyelidiki, siapa dalang pemberontakan itu sebenarnya."
"Lalu?"
"Ada yang bilang kalau para pemberontak didalangi Kanjeng Gusti Katut Denowo...."
"Kanjeng Gusti Katut Denowo? Bukankah dia saudara Kanjeng Gusti Prabu sendiri?!" Wajah Jantara tampak terkejut. Seolah dia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
Ki Kendil tersenyum getir. "Kita hanya rakyat kawula kecil yang tidak tahu apa-apa. Yang kita inginkan hanya hidup tenteram. Itu saja...," kata laki-laki setengah baya ini.
"Menurut beberapa orang, katanya Kanjeng Gusti Katut Denowo mempunyai sifat buruk?" tanya Jantara, seperti untuk diri sendiri.
"Kita tidak bisa menilai orang dari cerita-cerita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan," sahut Ki Kendil, seperti tak setuju pertanyaan Jantara.
"Toh kini terbukti, Ki Kendil."
"Maksudmu?"
"Ancaman yang mereka lakukan padamu, serta pada semua warga desa ini..."
"Hal itu biasa terjadi, setiap ada usaha pemberontakan. Mereka ingin mendapat dukungan dari setiap wilayah. Dan untuk itu diperlukan segala cara untuk mewujudkan keinginannya," sahut Ki Kendil, yang tampaknya mengerti betul dengan ilmu ketatanegaraan.
"Meski cara itu tidak benar, dan sekaligus merugikan rakyat yang tidak berdaya?" tanya Jantara, tersenyum sinis.
"Apakah leluhur negeri Kertaloka ini mendirikan kerajaan atas dasar perdamaian?" Ki Kendil balik bertanya.
Jantara diam. Langkahnya langsung dihentikan, mengikuti orang tua itu.
"Buyutku mengatakan kalau luas Kerajaan Kertaloka tidak seberapa. Lalu pada penguasa ketiga, mereka memiliki pasukan besar dan hebat. Dari sini, haus akan kekuasaan mulai merasuki Kanjeng Gusti Prabu. Dia lantas meluaskan daerah kekuasaannya, Hhhh.... Kini hukum karma telah berlaku. Kerajaan tengah terancam. Lalu, siapakah yang menjadi korban? Kita! Kita yang tidak tahu apa-apa dan hidup menuruti kebijaksanaan mereka," jelas Ki Kendil, diiringi geram mendalam.
Kata-kata Ki Kendil itu terasa agak pedas. Bahkan keluar dari hatinya yang paling dalam. Sementara Jantara seperti terhenyak, seolah tidak percaya kalau laki-laki setengah baya yang pendiam itu bisa berucap demikian.
Untuk sesaat keduanya terdiam, seperti hanyut dalam pikiran masing-masing. Ki Kendil terhanyut oleh perasaan kesal yang ditumpahkannya. Sedang Jantara tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sementara kaki mereka terus melangkah menuju sawah masing-masing. Dan baru saja Ki Kendil akan membuka mulut kembali...
"Aaa...!" Terdengar teriakan menyayat, yang membuat Ki Kendil dan Jantara berbalik ke arah sumber suara.
"Hei?! Apa itu?!" sentak Jantara, terkejut setengah mati.
Jauh di belakang mereka terlihat asap hitam membubung tinggi ke atas. Kelihatan kalau asap itu berasal dari Desa Kampar.
"Desa kita terbakar! Astaga...!" Jantara mendesis kaget Seketika dia cepat berlari kencang mendahului Ki Kendil.
KAMU SEDANG MEMBACA
134. Pendekar Rajawali Sakti : Pemberontakan Di Kertaloka
ActionSerial ke 134. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.